Berita dan Gosip Selebritis

Senin, 16 Mei 2011

MENGUAK MISTERI 1 OKTOBER 1965

Thank you for using rssforward.com! This service has been made possible by all our customers. In order to provide a sustainable, best of the breed RSS to Email experience, we've chosen to keep this as a paid subscription service. If you are satisfied with your free trial, please sign-up today. Subscriptions without a plan would soon be removed. Thank you!
Surat Ben Anderson dan Ruth McVey

APA YANG TERJADI DI INDONESIA?

« Oktober 1965 »

Bahan ini adalah judul surat Prof.Dr. Benedict Anderson dan Prof. Dr. Ruth McVey, tertuju kepada Editor Penerbit New York Review of Books. Surat tsb ditulis pada tanggal 9 Februari 1978. Seperti karya-karya analitis dan studi politik Ben Anderson mengenai Indonesia yang banyak ditulis dan diwawan-carainya, meskipun itu ditulis atau dikatakan di beberapa waktu yang lalu, namun, sebagian besar masih relevan. Ben melakukan studi dan analisanya mengenai politik Indonesia, secara luas dan mendalam, independen dan obyektif. Tulisannya kali ini yang saya publikasikan kembali secara berseri, ditulis bersama cendekiawan Barat lainnya, Ruth McVey, sebagai respons terhadap tulisan cendekiawan Francis Galbraith [1913-1986], berjudul "APA YANG TERJADI di INDONESIA? Suatu Pertukarfikiran."

Studi analitis Ben dan Ruth mengkonfrontasikan tuduhan Galbraith bahwa kaum Komunis, PKI, beralih ke penggunaan cara kekerasan dalam suatu kup,-- dengan kenyataan sebagaimana yang dikemukakan oleh studi dan analisis CIA. Ben dan Ruth juga mengemukakan bahwa hasil studi CIA menunjukkan bahwa fakta dan data ketika itu PKI justru menjauhkan diri dari tindakan kekerasan, dan tak pernah menantang tentara. Dikemukakan juga oleh Ben dan Ruth bahwa tuduhan tindakan kekerasan yang dilakukan orang-orang Komunis/PKI sekitar aksi-aksi di pedesaan, -- sesungguhnya itu adalah suatu gerakan untuk melaksanakan suatu program land-reform yang sudah lima tahun sebelumya diundangkan.
Selanjutnya tulisan Ben dan Ruth menggugat klaim pimpinan tentara yang menuduh PKI melakukan kup, karena kenyataannya ialah, apa yang dinamakan kup itu, bukanlah suatu gerakan untuk menggulingkan Sukarno atau pemerintahan Indonesia, tetapi suatu pembersihan terhadap dalam pimpinan Angkatan Darat dengan tujuan untuk membawa perubahan tertentu dalam komposisi kabinet.
Baiklah dimulai saja dengan menterjemahkan tulisan Ben Anderson dan Ruth McVery, sbb:
" Surat Ben Anderson dan Ruth McVey
(1)  APA YANG TERJADI di INDONESIA?"

Oleh Benedict R. Anderson, Ruth McVey.
Sebagai respons terhadap APA YANG TERJADI DI INDONESIA?
Suatu Pertukarfikiran
(9 Februari 1978).
Kepada Redaksi:
Selaku "Cendekiawan Cornell" terhadap studi yag mereka lakukan mengenai kup 1 Oktober, 1965 di Indonesia, Francis Galbraith - (1913-1986)- menyinggung dalam serangannya terhadap kritik Amnesty International mengenai pelanggaran HAM yang menyeluruh di negeri itu (lihat suratnya di Timbangan Buku The New York, 9 Februari, 1978) , kami menganggap bahwa catatan dia itu patut sedikit dikomentari.
Pandangan tuan Galbraith mengenai hal ihwal sederhana: "kup" tahun 1965, di mana 6 jendral dibunuh, adalah suatu percobaan perebutan kekuasaan komunis yang ceroboh. Ia beranggapan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) telah melakukan "berkali-kali percobaan berdarah" untuk menggulingkan pemerintahan di Indonesia, yaitu, dalam tahun 1926, 1948 dan 1965- tetapi mengabai-kan menyebut bahwa yang pertama itu tadi adalah suatu pemberontakan terhadap kekuasaan kolonial Belanda! Kegemaran Partai pada kekerasan, dikatakannya, didemonstrasi-kan sebelum terjadinya kup oleh kenyataan bahwa "ia menstimulir konflik di pedesaan Djawa Timur dengan suatu program penyitaan tanah yang dilakukan secara paksa oleh para pengikut PKI". Pembaca yang tak waspada sebaiknya dinasihatkan bahwa "program" ini, yang dilaksanakan dalam tahun 1964 adalah suatu perocbaan untuk memperoleh kerelaan (compliance) dengan ketentuan-ketentuan land-reform dan bagi-hasil, yang sudah diundangkan lima tahun sebelumnya. Banyak dari kekerasan sesungguh-nya dalam tahun 1964 adalah resultat dari ulahnya tuantanah untuk secara (ilegal) menarik sewa tanah yang biasa tinggi waktu itu dalam menghadapi perlawanan kaum tani yang meningkat.
Sesudah kup, tulis Tuan Galbraith, "PKI memimpin percobaan tinkgat-dua untuk menguasai Indone-sia. Mereka membunuh siapa saja yang menentang mereka; kaum non-Komunis memukul balik".
Yang terjadi sesungguhnya bukanlah itu, bila seandainya kita percaya pada versi sejarah kup menurut CIA, yang oleh Tuan Galbraith direkomendasikan sebagai sesuatu yang "memberikan penjelasan yang baik sekali mengenai apa yang terjadi dan mengapa". (Catatan Ben dan Ruth: CIA, Directorate of Intelligence, Indonesia - 1965: The Coup That Backfired, <1968> cukup aneh, satu-satunya studi CIA mengenai politik Indonesia yang pernah dipublikasikan atas inisiatif badan itu (CIA) sendiri). Karena meskipun adanya pandangan tinggi Tuan Galbraith terhadap usaha historiografi CIA, tampak-nya aneh, ia seperti tidak mengetahui pendapat-pendapat (CIA) itu.
Kenyataannya, studi CIA itu sangat spesifik mengenai ketiadaan kekerasan yang dipicu oleh kaum Komunis. Dalam komentarnya mengenai kegiatan PKI ketua Aidit di Jawa Tengah segera setelah terjadi kup, CIA mencatat bahwa ia (Aidit) memperingatkan orang-orang bawahannya:
Apapun yan terjadi tidak mengizinkan PKI diprovokasi melakukan tindakan kekerasan demikian dinyatakannya kepada orang-orang yang berkumpul mendengarkannya bahwa tidak boleh ada demonstrasi mendukung kup. Suatu kehe-ningan yang tegang dan siaga terasa dimana-mana, tetapi tidak ada tanda-tanda kegiatan PKI dimanapun (Halaman 77-79)
Di Sumatra, demikian laporan CIA menyatakan, kaum komunis "tidak pernah menantang tentara dalam kekerasan besenjata apapun yang ternyata adalah penuturan tentang PKI menyerah pada tentara di seluruh Indonesia sesudah kup". (halaman 63).
Kenyataannya, berlawanan dengan klaim Tuan Galbraith, studi CIA itu berulang-kali, secara tidak berhati-hati mengungkap tentang ketidak-mungkinan (the implausibilities) terjadinya hal itu dalam versi resmi tentang kup dalam versi pemerintah Suharto. Satu hal, terdapat problim mengenai sumber-sumber. Penguasa militer Indonesia telah menyebarkan ribuan halaman "bahan-bahan" mengenai kup, sedikit sekali yang bisa dipercaya dan tidak ada yang tanpa purbasangka. Studi CIA itu semua-nya menggunakan dan menambahkan bahan koleksi yang dubius ini.
Umpamanya, bahan itu mengutip "statement-statement" oleh para pemimpin tinggi komunis Nyono dan Sakirman sebgai bukti bahwa rapat-rapat Politbiro PKI yang dikatakan memutuskan untuk melancarkan kup itu (halaman 225-227). Bahwa 'pernyataan' Nyono itu bertentangan sekali dengan kenyataan yang jelas-jelas tentang gerak-gerik Aidit, dan bahwa "pernyataan" -nya itu bersumber dari suatu "pengakuan", begitu tidak masuk akalnya sehingga itu harus digantikan dalam jangka waktu beberapa jam saja, oleh suatu versi yang sudah "disempurnakan" dibiarkan saja berlalu tanpa disebut-sebut lagi. (Catatan Ben dan Ruth: Mengenai hal ini, lihat A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indoneisia  Ithaca, Cornel Modern Indonesia Project, 1971, halaman 157-162).
Studi itu mengemukakan bahwa "statement" Sakirman dinyatakan di pengadilan; bila betul begitu, maka itu dilakukan secara posthumus, karena penguasa militer Indonesia menyatakan bahwa ia (Sakirman) sudah ditembak mati "ketika mencoba untuk melarikan diri" segera sesudah ia ditangkap.
Seperti halnya rezim Suhartro, studi CIA itu gagal untuk menghasilkan suatu penjelasan yang mungkin terjadi mengenai tujuan-tujuan para pencetus kup yang dimaksudkan itu; penjelasannya memang secara tak disadari meruntuhkan kasus anti-komunis yang menurut imajinasinya sedang disusunnya itu.
Ambillah misalnya soal mengapa PKI ujung-ujungnya kok menempuh kekerasan. Dalam situasi dimana Indonesia sedang meluncur lancar kearah kiri, dengan Sukarno dan PKI dalam posisi memim-pin, saatnya tampak dekat sekali dimana kaum Komunis akan mengambil alih negeri - bisa terjadi dengan meninggalnya Sukarno, atau bahkan sebelum itu. Kebanyakak peninjau di Barat mengakui ini. Orang-orang Indonesia tampaknya pasrah. Tentu saja, PKI punya alasan kuat mempercayainya.
Pada tanggal 12 Oktober 1964 [Aidit]menjawab serentetam pertanyaan mengenai PKI dan revolusi Indonesia dengan suatu klaim yang tak pernah terjadi sebelumnya bahwa "Diantara partai-partai Komunis di dunia PKI adalah satu-satunya partai yang paling punya otoritas untuk bicara mengenai 'peralihan secara damai' ke sosialisme, karena PKI ambil bagian dalam pemerintahan baik di pusat maupun lokal dan punya potensi nyata untuk melaksanakan politiknya." [Halaman 168-170].
Ataukah suatu faktor yang tak terduga - seperti keadaan sakitnya presiden karisma-tik Indonesia, Sukarno, penyokong PKI - mendorong para pemimpin Komunis untuk melakukan komplot kup? Laporan CIA mengedepankan kemung-kinan ini kemudian meninggalkannya mengingat keadaan segar-bugar Sukarno dan kenyataan bahwa "tidaklah mungkin bahwa partai(PKI) akan bergerak karena asumsi bahwa Sukarno bagaimanapun akan mati". (halaman 260)
Suatu alasan kedua yang mungkin bagi PKI untuk beralih ke kekerasan ialah, bahwa partai khawatir suatu perebutan kekuasaan oleh pimpinan tentara, oponen utama PKI. Para perwira muda yang akutil membunuh para jendral, bukankah, mengumumkan bahwa mereka "melindungi" Sukarno dari suatu kup yang akan segera dilancarkan oleh Dewan Jendral yang diukung oleh CIA. Tetapi bila suatu kup tentara akan segera terjadi, mengapa Aidit - yang secara politik dekat dengan Sukarno, dan selalu berhubungan dekat dengannya (halaman 234-5) tidak memberikan sinyal-bahaya kepada Presiden mengenai bahaya yang mengancam mereka berdua, terbanding mengambil tindakan sendiri? Dan bila Sukarno tidak melibatkan dirinya dalam kup (studi CIA berspekulasi bahwa mungkin ia terlibat), mengapa ia bertindak demikian, dalam suatu cara yang tidak menggunakan apapaun dari otoritasnya yang legitim dalam jabatannya, atau dukungan popula-ritasnya yang begitu besar dan yang tak bisa tidak mempersatukan opini dalam tentara menentangnya?
Meskipun adanya teka-teki (enigma) ini, studi CIA memastikan bahwa dalam bulan November 1964 PKI mendirikan suatu organisasi rahasia untuk menyusup dan melakukan subversi terhadap kekuatan bersenjata Indonesia. Namanya Biro Khusus, katanya dikepalai oleh seseorang bernama Sjam. Biro Khusus ini memang amat rahasia: Tampaknya, hanya sejumlah kecil orang saja di Politbiro yang tahu tentang adanya Biro Khusus ini; samasekali tidak jelas apakah ada orang lain kecuali Aidit yang tahu tentang identitas orang yang mengepalai organisasi tsb. [Halaman 265-266, dan cf halaman 101].
Karena Aidit sudah mati, otoritas CIA mengenai adanya Biro ini hanyalah Sjam sendiri - yang namanya barangkali tidak tepat mengucapkannya, Sham. Untung, dia ternyata adalah "saksi yang paling koperatif". "Begitu Tentara bisa membikin Sjam bicara, tampaknya ia juga ingin sekali menceriterakan segala sesuatu yang ia ketahui tentang kup itu - hampir-hampir dari perasaan bangga, tampaknya" [halaman 76 dan 76a, note]. Barangkali sikapnya yang suka ngomong itu ditimbulkan oleh pengalaman 10 tahun sebagai informan profesional untuk intel militer tentara, yang melaporkan tindak-tanduk PKI dan parpol-parpol lainnya (halaman 107). CIA mengambil fakta-fakta ini untuk menunjukkan begitu meng-gemparkan-nya penetetrasi PKI ke dalam aparat militer -- tetapi dengan sendirinya itu bukan satu-satunya cara hal itu bisa diartikan. Apa tujuan manipulasi subversif Biro Khusus terhadap perwira-perwira militer? Mengejutkan sekali, tampaknya, bukan untuk merebut kekuasaan: Karena sekarang jelas bahwa kup Indonesia itu bukanlah suatu tindakan untuk menggulingkan Sukarno dan/atau mendirikan pemerintah Indonesia [sic!]. Hakikatnya , tindakan itu adalah suatu pembersihan terhadap pimpinan Angkatan Darat, yang dimaksudkan untuk terjadinya suatu perubahan tertentu dalam komposisi kabinet. Dalam pengertian ini, adalah lebih tepat untuk menyatakannya sebagai suatu pembersihan, dan bukan suatu kup. [N.p.; dari kata pengantar oleh John Kerry King, Kepala DDI Special. Research Staff; dan cf. halaman 29-30].
(2) APA YANG TERJADI DI INDONESIA?
Oleh: Prof.Dr. Benedict Anderson dan Prof. Dr. Ruth McVey
Sabtu ini saya publikasikan bagian-2 bahan berjudul "Apa yang terjadi di Indonesia". Bagian pertama telah disiarkan pada tanggal 25 Agustus y.l.
Bahan tsb adalah sepucuk surat yang dikirimkan oleh Prof.Dr. Benedict Anderson dan Prof. Dr. Ruth McVey, tertuju kepada Editor Penerbit New York Review of Books. Surat tsb ditulis pada tanggal 9 Februari 1978. Seperti karya-karya analitis dan studi politik Ben Anderson lainnya mengenai Indonesia yang banyak ditulis dan diwawancarainya, meskipun itu ditulis atau dikatakan beberapa waktu yang lalu, namun, sebagian besar isinya masih relevan. Bahkan amat relevan ketika saat ini sedang dalam suasana mengingat kembali Peristiwa Tragedi Nasional dalam tahun 1965. Luas diketahui di kalangan dunia penelitian politik internasional maupun Indonesia, studi dan analisa Ben Anderson mengenai politik Indonesi,dilakukannya secara luas dan mendalam, independen dan obyektif. Maka, meskipun tulisan tsb dibuat 27 tahun y.l., namun, isinya tetap relevan.
Di bagian (2) ini menarik dan patut diperhatikan apa yang disimpulkan oleh Ben dan Ruth McVey dari studinya sekitar APA YANG TERJADI DI INDONESIA pada bulan Oktober 1965, sbb: (Saya kutip lengkap bagian ini, I.Isa):
Hakikatnya, problim utama bagi Suharto pada tanggal 1 Oktober bukanlah grup kup itu, tetapi Presiden Sukarno, yang menentang klaim Suharto untuk memimpin tentara dan mengedepankan Pranoto yang lebih dipercayainya -- saingan lama Suharto.
Tidak sekali Ben Anderson mengemukakan bahwa apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965, akhirnya adalah suatu tindakan "pembersihan" di kalangan tentara Indonesia, yang berakhir pada penumbangan Presiden Sukarno dan penghancur-kan samasekali PKI dan kekuatan Kiri lainnya yang mendukung Presiden Sukarno.
Tulisannya kali ini yang saya publikasikan kembali secara berseri, ditulis bersama cendekiawan Barat lainnya, Ruth McVey, sebagai respons terhadap tulisan cende-kiawan Francis Galbraith [1913-1986], berjudul "APA YANG TERJADI di INDONESIA? Suatu Pertukarfikiran."Berikut ini adalah sambungan surat Ben Anderson daRuth McVey, kepada Editor NY Book Review:
"Pembersihan" ini -- pembunuhan terhadap enam jendral tingkat atas -- terlaksana pada lewat tengah malam oleh Letkol Untung yang tak terkenal dan satu batalyon pasukan (halaman 64). Suatu cara drastis aneh yang dimaksudkan untuk menjamin suatu perombakan kabinet; aneh sedikit orang untuk menjamin imunitas terhadap retribusi oleh sesame perwira. Komentar Studi CIA tidak kurang meng-herankan:
Ia memperlihatkan, baik sukses program Biro Khusus melakukan subversi di dalam AD sehingga PKI bisa berbuat seperti melakukan penculikan seluruh komando tertinggi Tentara, maupun terjadinya suatu keadaan dimana terlihat situasi umum ketidak-siapan [sic] PKI pada saat menhadapi tantangan-menyeluruh dari fihak militer. (halaman 180).
Sebagai kompensasi terhadap ketiadaan kekuatan militer yang menyedihkan itu, orang mestinya menantikan para pelaku kup itu akan menggunakan semaksimal mungkin nama dan otoritas Sukarno. Namun, anehnya, mereka tidak berbuat demikian, bahkan tidak dalam siaran mereka pada saat kemenangan pertama. Analisis CIA itu bingung oleh kenyataan ini: Hampir tidak dapat dibayangkan bahwa siapapun yang melakukan kup di Indonesia dalam tahun 1965, tidak akan mencoba untuk menggunakan otoritas Sukarno untuk merebut dukungan umum di belakang gerakan itu
Kenyataan bahwa Sukarno disebut hanya sebagai seseorang "yang dilindungi" (oleh grup pelaku kup) menciptakan suatu kesan yang samar-samar bahwa kup tsb mungkin anti-Sukarno. (halaman 22).Suatu kesalahan aneh yang dibuat kaum komunis yang dilindungi Sukarno. Lebih aneh lagi, sebagaimana halnya dibikin jelas oleh studi CIA itu, para pelaku-kup tidak memobilisasi dukungan massa sesuatu yang dapat dilakukan oleh kaum Komunis:
Bila PKI yang melakukan kup itu. mengapa ia gagal untuk melancarkan propaganda menyeluruh untuk mendukungnya. PKI mampu sekali untuk itu, untuk memobilisasi opini umum di Indonesia  (halaman 128).
SAatu-satunya pengecualian terhadap kepasifan yang menimbulkan tanda tanya ini,ialah munculnya editorial dalam suratkabar PKI pada tanggal 2 Oktober, yang, dengan membenarkan tindakan para pemimpin kup telah "memberikan tentara dokumen justifikasi bagi kemusnahan PKI sendiri" (halaman 67). Adalah meng-herankan bahwa tajuk rencana tanggal 2 Oktober itu, munculnya sesudah kup itu gagal, begitu tergesa-gesa, sedangkan pada hari sebelumnya koran-koran Komunis jelas behati-hati. Laporan CIA itu berasumsi bahwa para redaktur berfikir kup masih berjalan lancar ketika suratkabar itu diletakkan di atas percetakan pada sore tanggal 1 Oktober (Halaman 68), namun di tempat lain diberitakan bahwa pada petang hari telah jelas bahwa kup itu telah gagal. Lebih aneh lagi ialah, munculnya surat kabar itu tidak distop oleh Jendral Suharto, yang pada malam hari tanggal 1 Oktober telah menguasai ibukota dan telah menempatkan semua media di bawah kontrol militer yang ketat. Bagaimana bisa editorial yang memberatkan /melibatkan itu muncul di kiosk-kiosk penjualan koran pada keesokan harinya? Laporan CIA tsb mengarahkan bahwa editorial itu dibuat sebelumnya (halaman 68). Barangkali itu yang terjadi, tetapi tidak mesti hal itu dilakukan oleh pimpinan Partai.
Bila, seperti bukti-bukti itu menyarankannya, kup itu dimaksudkan bukan untuk memperluas, tetapi sebaliknya untuk menghancurkan kekuatan kaum Komunis, maka tidak masuk akal bahwa manuver seperti itu diluncurkan oleh pimpinan tentara, hal mana berakhir dengan kematian-berdarah yang bersangkutan. Tetapi eselon yang lebih tinggi tentara Indonesia keadaannya jauh dari bersatu. Salah seorang dari jendral senior yang tidak dimasukkan dalam klik-klik sekitar dua jendral tertinggi Nasution dan Yani -- adalah orang yang oleh kup dinaikkan ke singgasana kekuasaan, yaitu Jendral Suharto. Suharto ketika itu komandan KOS-TRAD, tentara cadangan strategis pilihan, dan sesudah Yani, adalah jendral yang paling senior yang sedang dinas aktif. Ia hanya memelihara hubungan yang sangat dingin dengan Nasution dan Yani. (Catatan Ben dan McVey: Bertindak atas dasar informasi yang diperoleh oleh Pranoto, kepala staf Suharto, Nasution telah memecat Suharto dari jabatannya sebagai komandan divisi Jawa Tengah (maksud-nya Divisi Diponegoro -- I.Isa) dalam tahun 1959 karena ia (Suharto) terlibat penyelundupan. Lihat Harold Crouch, "Tentara Indonesia dalam Politik: 1960-1971 (tesis PH.D, Monash University, 1975), halaman 164,207 dan 228.
Seperti yang dicatat oleh CIA, ia (Suharto) bukan orang yang disasar oleh grup yang melakukan kup -- "pasti merupakan kesalahan besar para perancang kup". Ini teristimewa menarik karena tiga yang diatas dari perancang kup itu punya alasan khusus untuk mengetahui Suharto itu orang yang seperti apa dan mengapa KOSTRAD itu begitu penting: Letkol Untung, Brigjen Supardjo dan Kolonel Latief pernah atau masih berada langsung di bawah Suharto. Beberapa saat sebelum kup, Latif memimpin latihan-latihan gabungan untuk menguji pertahanan ibukota -- maka tidaklah mungkin bahwa ia tidak tahu instalasi-instalasi apa yang vital bagi penguasaan militer atas kota.
Namun Suharto tidak diganggu. Benar sekali, tidak ada percobaan apa-apa untuk menduduki atau mengepung Markas Besar KOSTRAD, dimana Suharto menegak-kan komando kontra-kupnya. Dan meskipun pasukan-pasukan kup merebut instalasi-instalasi sipil pusat, mereka tidak mencoba untuk menguasai komunikasi KOSTRAD yang amat canggih, suatu sistim darurat militer utama, dengan mana Suharto langsung mengumpulkan kendali kekuasaan di tangannya sendiri.
Hakikatnya, problim utama bagi Suharto pada tanggal 1 Oktober bukanlah grup kup itu, tetapi Presiden Sukarno, yang menentang klaim Suharto untuk memimpin tentara dan mengedepankan Pranoto yang lebih dipercayainya -- saingan lama Suharto.***
Marilah kita ikuti bagian terakhir dari surat Ben dan Ruth tsb:
(3) *APA YANG TERJADI DI INDONESIA, Oktober 1965 ?
Surat Prof Dr Ben Anderson dan Prof. Dr. Ruth McVey* <9 Februari 1978>
Ini adalah bagian terakhir surat Ben Anderson dan Ruth McVey, pakar Indonesianis berbangsa Amerika yang ditujukan kepada New York Times Book Review. Isinya mengkritisi tanggapan pakar lainnya bernama Francis Galbraith yang secara sederhana menarik kesimpulan gampang-gampangan mengenai apa yang terjadi di Indonesia, pada tanggal 1 Oktober 1965. Ben dan Ruth malah menunjukkan fakta-fakta bahwa analisis CIA lebih patut diperhatikan, karena mengandung fakta-fakta yang banyak orang kurang memperhatikannya.
Dalam bagian terakhir dari surat Ben dan Ruth, mereka minta perhatian pada kenyataan, bahwa apa yang terjadi di Indonesia sesudah 1 Oktober 1965, setelah dibunuhnya 6 jendral dan seorang perwira menengah, -- adalah p e m b a n t a i a n m a s a l, pembunuhan besar-besaran yang tidak ada taranya dalam sejarah Indonesia. Tetapi yang oleh pemerintah Indonesia sampai saat ini seperti terlupakan saja. Tak ada yang dimintai pertanggungan-jawabnya mengapa ratusan ribu, bahkan lebih satu juga manusia Indonesia yang tak bersalah, telah dibunuh, tanpa proses pengadilan apapun.
Sungguh sulit dimengerti, bahwa begitu lama dunia politik, kalangan ilmuwan, khususnya ilmu sejarah di Indonesia bisa bungkam begitu lama mengenai masalah tsb. Kalau ada sesuatu yang teramat serius yang merupakan problim besar dalam hati nurani dan bawah-sadar bangsa ini setelah 60 tahun hidup sebagai bangsa merdeka, ialah k e b u n g k a m a n n y a terhadap pelanggaran HAM terbesar yang terjadi pada dirinya sendiri.
Surat Ben dan Ruth itu ditulis 27 tahun yang lalu. Problim-problim dan analisis yang mereka ajukan masih tetap relevan. Masih tetap saja belum terjawab. Ada berita gembira bahwa baru-baru ini dinyatakan oleh kalangan yang bersangkutan mengenai arsip negara, bahwa mereka akan mengadakan penelitian dan pelaca-kan, dimana surat asli yang terkenal dengan nama SUPERSEMAR itu ? Namun, yang lebih penting lagi ialah berusaha mencari kebenaran, mengadakan penelitian dan studi yang mendalam oleh yang bertanggung-jawab, oleh pemerintah, mengenai masalah ini: APA YANG TERJADI DI INDONESIA pada 1 OKTOBER 1965. Demi penulisan sejarah bangsa ini, untuk menjadi pelajaran di masa depan, khususnya bagi generasi baru kita: Adalah tanggung jawaba seluruh masyarakat, terutama penguasa, pemerintah dalam usaha mencari jawaban terhadap masalah tsb; sampai dimana penguasa, aparat, terlibat dan bertanggungjawab atas pelanggaran HAM demikian kolosalnya pada tahun-tahun 1965, 1966 dan 1967?
Dalam kenyataannya, problim utama Suharto pada tanggal 1 Oktober bukanlah grup yang melakukan kup itu, tetapi Presiden Sukarno., yang menolak klaim Suharto untuk menjadi pemimpin tentara dan sebaliknya mengajukan Pranoto yang lebih dipersacaya - seorang saingan lama Suharto.
Namun akhirnya, -- setelah mengepung pangkalan udara dimana Sukarno berlindung, dan setelah ia memberikan hakikatnya suatu ultimatum kepada Presiden Sukarno - Suharto memperoleh apa yang dikehendakinya. Apakah perha-tian CIA terhadap semua ini? Barangkali hanya menyerupai suatu keprihatinan historiographis yang keilmiah-ilmiahan. Atau barangkali Lembaga itu (CIA), memiliki koneksi yang lebih erat terbanding pada apa yang disimpulkan oleh analisisnya sebagai yang dikatakan "mungkin terbukti merupakan salah satu peristiwa terpenting pada periode pasca [Perang Dunia II]. Dampak (repercusions) politik dari kup tsb tidak hanya telah mengubah seluruh arah sejarah Indonesia tetapi ia merupakan efek mendalam terhadap cakrawala(scene) politik dunia, khsususnya yang menyangkut Asia Tenggara" (halaman 70).
Memang, bagi CIA, tampaknya hal itu punya nilai tanpa suatu risiko kecil untuk mengakhiri "menggelundungnya dengan lancar ke Kiri" satu bangsa yang kelima besarnya didunia, khususnya pada saat dimana Amerika Serikat sedang sibuk melakukan perlawanan terhadap kemajuan menyeluruh kaum Komunis di Vietnam.
Bila memang begitu, Lembaga itu (CIA) rendah hati sekali mengenai apa yang dicapainya. Tetapi hal itu mungkin bisa dimengerti, karena move itu tidak hanya melibatkan enam orang jendral, tetapi, melibatkan suatu pogrom (pengejaran) yang menyertainya, yang merupaikan salah satu dari pembantaian terbesar dalam zaman kita.
Sebagaimana disimpulkan oleh analisa CIA: Dalm hal jumlah yang telah dibunuh, pembantaian anti-PKI di Indonesia merupakan salah satu dari pembunuhan masal yang paling buruk pada abad keduapuluh, sama seperti pembersihan yang dilakukan Sovyet dalam tahun 1930-an, pembunuhan masal Nazi selama Perang Dunia II, dan pertumpahan darah Maois pada permulaan tahun 1950-an.
Pada tanggapan kedua, kup Indonesia itu pasti merupakan salah satu dari peristiwa yang paling penting di abad keduapuluh, jauh lebih penting terbanding peristiwa-peristiwa lainnya yang telah memperoleh banyak publisitas. [halaman 71, nota].
Benedict Anderson
Profesor of Government
Cornel University, Ithaca, New York
Ruth McVey - Reader in Politics, School of Oriental and African Studies, London, England.
******************************
Sumber: TEMPO Edisi 1-7 Maret 2004
REVISI KUHP: JAUH DARI SEMANGAT REKONSILIASI
Oleh:  Bambang K. Prihandono*
"Nichts ist so erschuetternd wie Schweigen". Tak ada yang menggetirkan seperti kebungkaman, ungkap Leo Baeck, presiden Reichsvertretung-Jerman Yahudi. Ia, yang menjabat presiden di era kepahitan sejarah bangsa Yahudi 1933-1943, mesti mendokumentasikan dan mengungkapkan kepedihan sejarah holocaust (Zygmunt Bauman, Dialektik der Ordnung, 2002). Mungkin, ia tak pernah membayangkan bahwa sejarah peradaban umat manusia di berbagai belahan bumi, atas nama ideologi dan kepentingan ekonomi-politik, selalu menunjukkan konflik berdarah. Politik barbar. Jutaan manusia mesti lenyap dari muka bumi karena menjadi „yang lain" atau the other. Ia tak juga membayangkan bahwa di tahun 60-an, di negeri yang demikian jauh dari ladang pembantaian Auschwitz tercipta ladang-ladang baru pembantaian. Di sungai, di jalanan, di depan rumah, bahkan di kantor-kantor resmi penguasa keamanan telah berubah menjadi ruang jagal. Itulah, Jawa dan Bali pada masa pancaroba politik 1965-1966.
Kepentingan politik, ekonomi dan ideologi adalah pemicu konflik, yang berujung pada pembantaian jutaan manusia (tertuduh) komunis. Sebuah ketetapan, Tap MPRS XXV 1966, pun menjadi landasan „moral" pembungkaman nurani kemanusiaan. Bertahun-tahun kemudian, sejarah pahit itu terpendam, dengan segala kegetirannya. Pasca kejatuhan rejim Orde Baru, tuntutan akan keadilan bagi korban mulai bermunculan secara terbuka. Tema rekonsiliasi menjadi agenda yang diupayakan berbagai kalangan. Anehnya, ditengah kecenderungan arus gerakan rekonsiliasi, justru ada „perlawanan" dari pemerintah dengan adanya rencana Revisi KUHP. Salah satu tema pokok „revisi" adalah tetap mencantumkan ideologi Komunisme dan Leninisme sebagai paham terlarang. Maka, pertanyaannya, nalar apakah yang bersembunyi dibalik gagasan tersebut? Dan apa pula implikasinya?
Pelarangan Ideologi.
Secara sederhana, ada dua hal yang selalu menjadi perdebatan tentang pelarangan ideologi Komunisme/ Leninisme. Pertama, ideologi bisa atau tidak dipidanakan; kedua, landasan „trauma sejarah" di masa lalu. Kita perlu menelisik lebih jauh, untuk menemukan sesuatu yang berada di seberang (beyond) pelarangan ideologi. Maka, penelusuran akan definisi „ideologi" pun penting untuk dikerjakan, demi memperoleh keluasan perspektif.
Mengacu pada Philosophisches Wörterbuch (1997), ideologi adalah imagi dan kesadaran dari individu atau kelompok yang berkembang sesuai dengan konteks historis masyarakat. Ideologi juga memerankan sebuah fungsi sosial di masyarakat, yaitu sebagai pemicu motivasi. Maka, Komunisme, Kapitalisme dan bahkan Agama bisa dikategorisasikan sebagai ideologi. Seiring dengan perkemba-ngan historis masyarakat, maka ideologi pun mengalami kerumitan dan keragaman tafsir. Semula, ideologi dianggap netral, namun sejak Marx memblejeti wataknya, terbukti bahwa ideologi juga menyimpan kepalsuan. Marx membongkar ideologi sebagai moda kekuasaan, yang sering digunakan oleh kelas penguasa politik dan kapital untuk menyembunyikan kepentingan-kepentingan kelasnya. Ideologi tak lebih sebagai "kesadaran palsu", di mana selalu menyembunyikan kebenaran demi kepentingan politik-ekonomi. Ideologi lalu menjadi pembenar dari ambisi kekuasaan. Dalam konteks ini, agama yang sering dianggap berada dalam "langit suci", bisa pula terjebak menjadi ideologi yang menipu penganutnya sendiri. Penyebabnya adalah elite agama dan politik, yang selalu mengeks-ploitasi agama demi keuntungan kelasnya sendiri. Sejarah Eropa abad pertengahan dengan peran gereja dan negara yang bercampur menunjukkan kasus tersebut.
Tafsir ideologi tersebut, tentu berbeda dengan ideologi kapitalisme, yang mengajar-kan bahwa persaingan bebas perlu untuk kemajuan umat manusia. Implikasinya, sistem kepemilikan, alat-alat produksi, dan hak-hak kebebasan pribadi perlu dijamin. Ideologi, dengan demikian, berwajah multi-tafsir dan abstrak (lihat Kurt Lenk, Ideologiekritik und Wissenssoziologie, 1972).
Jika ideologi bermain dalam wilayah kesadaran dan multi-tafsir, maka menjadi ganjil dan demikian sulitnya hal itu dipidanakan. Meski demikian, bagi kalangan "pro-revisi", ideologi (Komunisme dan Leninisme) bisa dipidanakan dan dikriminalkan. Landasan argumennya pun bukan terletak pada konsepsi ideologi, namun mencari pada basis "trauma-sejarah", bahwa masa lalu Partai Komunis menciptakan teror dan konflik sosial. Benarkah?
Trauma sejarah akan kekerasan adalah hal yang tak terelakkan, jika sebuah bangsa mengalami peristiwa getir, kejam, dan pelecehan hak-hak azasi manusia di masa lalu. Hanya, bila yang diingat hanya "kekejaman" satu pihak dan melupakan kekejaman pihak lain, hal itu adalah manipulasi sejarah. Itulah yang dikerjakan terus-menerus oleh rezim Orde Baru: mereproduksi terus menerus wacana "anti-komunis". Rezim simulacra. Hasilnya, rezim ORBA menarasikan bahwa „si komunis" adalah „yang lain", sosok pengancam atau penghancur tatanan sosial politik. Dunia kehidupan "si komunis" mesti pula dibedakan dan dibungkam (Budiawan, When Memory Challenges History, 2000).
Lebih jauh, di sana tak hanya terjadi pemalsuan sejarah, namun bersarang pula "penalaran sejarah". Penalaran itu adalah "logika politik" yang dibangun dengan mengabaikan dimensi korban dan tindakan politik barbar. Pembungkaman atas lawan politik dianggap sebagai "kewajaran". Pembunuhan atas jutaan manusia adalah wajar, politik yang mengenyahkan lawan adalah kenormalan. Salah satu jalan „penetralan" atau „penormalan" sebuah peristiwa kekejaman adalah dengan institusionalisasi hukum, sebagai bagian tak terpisahkan dari birokrasi. Ketetapan MPRS XXV Th. 1966 pun menjadi bukti, bahwa atas nama hukum, penyingkiran dan pelupaan „yang lain" menjadi legitim.
Pada titik ini, hukum tidak menjalankan fungsinya sebagai pendorong dan penjaga gawang proses demokrasi, namun hukum lebih menampilkan sebagai pelayan dan pelegitim dari kelompok kepenti-ngan. Rencana Revisi KUHP yang tetap memper-tahankan pelarangan ideologi Komunisme dan Leninisme, pun dapat dibaca tak sekedar sebagai ideologi dapat diadili atau tidak, namun disana bersarang nalar „berpolitik". Nalar yang mengklasifikasikan antara „kami" dan „yang lain". Nalar yang mengesahkan bahwa „yang lain" wajar untuk dibungkam dan dilenyapkan.
Semangat Rekonsiliasi yang Menjauh.
Rekonsiliasi adalah agenda sebuah bangsa yang punya pengalaman sejarah pahit, untuk membangun peradaban baru. Negeri-negeri pasca-otoritarian, yang selalu haus akan korban, menuntut bahwa peradaban yang lebih baik hanya akan tercapai lewat jalan rekonsiliasi. Jalan ke titik rekonsiliasi biasa melalui proses hukum dan proses kultural. Proses hukum bertujuan untuk memperoleh keadilan bagi korban dan sanksi bagi pelaku kekerasan. Niscaya, proses hukum ini tak bisa berjalan tanpa adanya proses kultural. Proses penyembuhan luka-luka batin. Pada titik inilah perlunya pengakuan, proses "mendengar" jeritan luka-luka batin. Hal ini penting, sebab para korban telah kehilangan jati-dirinya sebagai manusia akibat pembung-kaman dan pengkambing-hitaman. Marta Minow (Between Vengeance and Forgiveness: Facing History after Genocide and Mass Violence 1998 dalam Budiawan 2003) secara gamblang menyebut, bahwa membiarkan korban bercerita dan memaknai cerita sebagai testimoni adalah sebuah penghargaan dan bantuan untuk korban menemukan jati dirinya kembali.
Jika rekonsiliasi mensyaratkan dua hal tersebut, maka pelanggengan larangan ideologi Komunisme dan Leninisme pada rencana Revisi KUHP jelas semakin "membisukan" para korban. Maka, persoalannya bukan pada ancaman bangkitnya sebuah ideologi, namun lebih ancaman akan pembrangusan proses rekonsiliasi. Kita bisa membayangkan, bahwa para korban tak akan mampu bersuara, sebab beban masa lalunya tetap menjadi "tertuduh", "kambing hitam" dan biang kerok "kekejaman". Ketakutan yang tetap menjerat "dunia batin" para korban kekerasan.
Hilangnya empati pada korban, tentu berimplikasi pada hilangnya proses memba-ngun demokrasi. Hal ini disebabkan karena kungkungan nalar, bahwa "yang lain" adalah musuh telah menjadi kabut penghalang ke arah pencerahan-pencerahan budi. Jauh-jauh hari Theodor Adorno (1971), seorang filsuf dan sosiolog Yahudi yang selamat dari kekejian NAZI, telah merefleksikan bahwa generasi baru (Jerman) mesti tidak lagi mengulangi tindakan barbar. Belajar pada sejarah pahit kamp pembantaian Auschwitz dan "refleksi diri" adalah cara pencapaian pencerahan untuk membangun pendidikan "kedewasaan" (Erziehung zur Muendigkeit). Sebuah pendidikan yang menghargai harkat kemanusia-an.
Meminjam refleksi Adorno untuk meneropong kasus-kasus kekerasan di Indonesia, kita menemukan bahwa empati pada korban masih jauh dari harapan. Alih-alih menghormat para korban, kita masih menyaksikan sebuah peristiwa pembongkaran makam korban kekerasan 1965 pun diserang dengan makian, kekerasan dan penolakan. Dan kini, kita pun dikejutkan kembali oleh gagasan untuk melanggengkan pelarangan ideologi. Maka, gagasan pelarangan itu tak lebih sebagai kontradiksi proses demokratisasi, bahkan semakin menjauhkan diri dari proses rekonsiliasi.
Akhirnya, sejarah pahit, memang, mesti menjadi pelajaran berharga untuk memba-ngun peradaban. Jika kita berdiri pada posisi "korban", tentu korban para kiai atau non-komunis tidak dibenarkan, demikian pula korban terhadap orang-orang (tertu-duh) komunis ditolak untuk dilanggengkan. Kita tidak bisa lagi berdalih bahwa proses politik bunuh-membunuh terjadi karena dalam situasi "dibunuh atau membunuh". Kita memerlukan pendidikan politik yang mencerahkan, yang menerobos kebekuan dendam. Semuanya demi generasi baru Indonesia sendiri.
* Penulis, staf pengajar tetap Program Studi Sosiologi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
*************** 0 0 0 0 0 0******************
Soebandrio;

Kesaksianku tentang G30S
BAB I:PROLOGG-30-S
KONFLIK KUBU
Indonesia 1960-an termasuk negara yang tidak disukai oleh blok Barat pimpinan Amerika Serikat (AS). Di era Perang Dingin itu konflik utama dunia terjadi antara Kapitalis (dipimpin AS) melawan Komunis (RRT dan Uni Soviet). AS sedang bersiap-siap mengirim ratusan ribu pasukan untuk menghabisi komunis di Korea Utara. Sementara di Indonesia Partai Komunis (PKI) merupakan partai legal. Saat kebenci-an AS terhadap Indonesia memuncak dengan menghentikan bantuan, Presiden Soekarno menyambutnya dengan pernyataan keras: Go to hell with your aid.. Seba-gai pemimpin negara yang relatif baru lahir, Presiden Soekarno menerapkan kebija-kan berani: Berdiri pada kaki sendiri.
Dasar sikap Soekarno itu jelas: Alam Indonesia kaya raya. Minyak di Sumatera dan Sulawesi, hutan maha lebat di Kalimantan, emas di Irian, serta ribuan pulau yang belum terdeteksi kandungannya. Semua itu belum mampu dieksplorasi oleh bangsa kita. Kekayaan alam ini dilengkapi dengan lebih dari 100 juta penduduk yang merupakan pasar potensial, sehingga ada harapan sangat besar bahwa pada suatu saat Indonesia akan makmur tanpa bantuan Barat. Ini pula yang mengilhami sikap konfrontatif Bung Karno: Ganyang Nekolim (neo-kolonialisme & imperialisme). Bung Karno menyatakan, Indonesia hanya butuh pemuda bersemangat untuk menjadi bangsa yang besar.
Akibatnya, sikap AS juga menjadi jelas: Gulingkan Presiden Soekarno. Sikap AS ini didukung oleh komplotannya, Inggris dan Australia. Sejak AS menghentikan bantuan-nya, mereka malah memba-ngun hubungan dengan faksi-faksi militer Indonesia. Mereka melengkapi dan melatih para perwira dan pasukan Indonesia. Melalui ope-rasi intelijen yang dimotori oleh CIA, mereka menggelitik militer untuk merongrong Bung Karno. Usaha kudeta muncul pada bulan November 1956. Deputi Kepala Staf TNI AD Kolonel Zulkifli Lubis berusaha menguasai Jakarta dan menggulingkan pemerintah. Namun usaha ini dipatahkan. Lantas, di Sumatera Utara dan Sumatera Tengah militer berupaya mengambilalih kekuasaan, tetapi juga gagal. Militer – dengan pasokan bantuan AS -seperti mendapat angin untuk menganggu Bung Karno. Namun, Bung Karno masih mampu menguasai keadaan, karena banyak perwira militer yang sangat loyal pada Bung Karno, kendati usaha AS menjatuhkan Bung Karno terus dirancang.
Sayangnya, konstelasi politik dalam negeri Indonesia pada saat itu juga tidak stabil. Bung Karno berupaya keras menciptakan kestabilan, namun kondisi memang sangat rumit. Ada tiga unsur kekuatan yang mendominasi politik Indonesia, yaitu:
1.Unsur Kekuatan Presiden RI
2.Unsur Kekuatan TNI AD
3.Unsur Kekuatan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Unsur kekuatan Presiden RI, yakni Presiden RI sebagai Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Perdana Menteri, Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden seumur hidup, yakni Ir. Soekarno yang akrab dipanggil Bung Karno. Anggota Kabinet Dwikora masuk dalam unsur kekuatan ini.
Unsur kekuatan TNI AD ada dua kubu: Kubu Yani (Letjen TNI Ahmad Yani) dan Kubu Nasution (Letjen TNI Abdul Haris Nasution). Soeharto awalnya termasuk dalam Kubu Nasution, walaupun kelak mendirikan kubu sendiri.
Sedangkan unsur PKI berkekuatan sekitar tiga juta anggota. Itu didukung oleh sekitar 17 juta anggota organisasi-organisasi onderbouw PKI seperti BTI, SOBSI dan Gerwani. Dengan jumlah itu PKI merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRT dan Uni Soviet. Dalam Pemilu 1957 PKI menempati urutan ke-4. Dan, sebagaimana umumnya partai besar, PKI juga memiliki anggotanya di kabinet. Mereka adalah DN Aidit, Menko/Ketua MPRS, Lukman sebagai Menko Wakil Ketua DPRGR dan Nyoto Menteri Urusan Land-reform.
Sebenarnya, sejak 17 Oktober 1952 pemerintahan Soekarno sudah mulai digoyang. Kubu Nasution membentuk Dewan Banteng dan Dewan Gajah di Sumatera Selatan. Yang disebut dewan ini hanya penggalangan massa oleh kubu Nasution, namun mereka terang-terangan menyebut diri sebagai pemerintahan tandingan. Penyebab utamanya adalah karena mereka tidak suka melihat kemesraan hubungan Soekarno-PKI.
Gerakan Kubu Nasution tidak cukup hanya menggalang massa sipil, namun juga mempengaruhi militer agar ikut mendukung gerakannya. Sebagai petinggi militer, bagi Nasution, itu adalah hal mudah.
Caranya, antara lain, Perjuangan Pembebasan Irian Barat digunakan untuk membentuk Gerakan Front Nasional yang aktif di kegiatan politik. Inilah awal usaha melibatkan militer ke dalam kegiatan politik yang kelak dilestarikan oleh Orde Baru. Di sisi lain, Kubu Nasution menggalang simpati rakyat dengan membentuk BKS yang melibatkan para pemuda, partai politik, para petani, yang menyatu dengan militer di bawah payung TNI AD.
Saat itu saya langsung membuat kesimpulan: Inilah doktrin perang tingkat regional (karena memanfaatkan Perjuangan Pembebasan Irian Barat) hingga tingkat desa (melibatkan petani). Maka, lengkaplah suatu gerakan menentang pemerintah yang terencana dengan rapi, cerdik dan memiliki kekuatan cukup potensial. Berdasarkan laporan intelijen saya, CIA berada di belakang Nasution
Presiden Soekarno akhirnya mengetahui gerakan menentang pemerintah itu. Soekarno tahu bahwa pemerintah sedang terancam. Ia juga tahu bahwa biang keroknya adalah Nasution. Maka, Soekarno pun langsung menghantam ulu hati persoalan dengan cara membatasi peranan Nasution. Jabatan Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata tetap dipertahankan, tetapi peranannya dibatasi. Nasution diberi tugas oleh Soekarno dalam urusan administratif pasukan. Nasution dilarang ikut campur urusan operasional prajurit. Itu sama artinya Nasution dimasuk-kan ke dalam kotak.
Gerakan Presiden itu diimbangi dengan pengangkatan Letjen A. Yani sebagai Menpangad. Tugasnya, secara formal, jelas memimpin pasukan TNI AD, namun di balik itu Yani mendapat misi khusus dari Presiden agar membatasi desakan Kubu Nasution terhadap pemerintah. Ini semacam operasi intelijen. Akibatnya, hubungan Nasution dengan Yani memburuk.
Mulanya, konflik Nasution-Yani tidak tampak di permukaan. Hanya kalangan elite saja yang memahami situasi yang sebenarnya, sejak Yani diangkat. Tetapi, bebe-rapa waktu kemudian Yani mengganti beberapa Panglima Daerah Militer (Pangdam). Para Pangdam yang diganti kemudian diketahui bahwa mereka adalah orang-orangnya Nasution. Karena itu, tampaklah peta situasi yang sesungguhnya.
Itu gerakan militernya. Sedangkan gerakan sipilnya, Presiden Soekarno bersama Wakil Perdana Menteri I, Dr. Soebandrio (saya) memindahkan kedudukan Nasution dari Kepala Staf Angkatan Bersenjata ke Penasihat Presiden. Itu terjadi menjelang akhir tahun 1963. Tentu saja Nasution harus tunduk pada perintah Presiden. Tidak ada alasan dia untuk mbalelo. Sebab, di kalangan tentara sendiri sudah khawatir terjadi perpecahan ketika hubungan nasution dengan A. Yani memanas, sehingga jika seandainya Nasution melakukan tindakan membangkang, pasti tidak akan didukung oleh pasukan di tingkat bawah. Dan, kemungkinan ini pasti sudah dihitung secara cermat oleh Nasution. Itu sebabnya ia tunduk.
Langkah selanjutnya bagi Soekarno yaitu tinggal menggunduli sisa-sisa kekuatan Kubu nasution. Antara lain, PARAN (Panitia Retooling Aparatur negara, sebuah komisi penyelidik anti korupsi yang dibentuk Nasution) dibubarkan pada awal tahun 1964. Sebagai gantinya, Soekarno membentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KOTRAR) yang dipimpin oleh orang kepercayaan Soekarno, Dr. Soebandrio (saya). Untuk memperkuat, Yani ditunjuk oleh Presiden menjadi Kepala Staf KOTRAR.
Dari perpektif Soekarno, retaknya hubungan antara Yani dan Nasution sudah merupakan kemenangan. Apalagi, kemudian Nasution dicopot dari posisi strategis dan dimasukkan ke dalam kotak. Dengan begitu, politik Negara dalam Negara yang sempat diciptakan oleh Nasution berubah menjadi sangat lemah.
Melihat kondisi demikian, para pimpinan Angkatan Bersenjata justru cemas. Mereka khawatir, konflik antara Nasution dan Yani itu akan merembet ke prajurit di lapisan bawah. Kalau itu terjadi, tentu akibatnya bisa fatal. Kekhawatiran ini lantas disampai-kan kepada Presiden. Karena itu, Presiden Soekarno menugaskan beberapa perwira senior, termasuk Mayjen Soeharto dan Pangdam Jawa Timur Basuki Rahmat, untuk menemui Nasution. Tugasnya, menyarankan kepada Nasution agar menyesuaikan diri dengan jalur yang sudah digariskan oleh Presiden Soekarno. Jangan sampai ada pembangkangan.
Dua kubu yag berkonflik itu pada dasarnya sama-sama anti-PKI. Meskipun Yani berada di pihak Bung Karno, namun Yani tidak menyukai PKI akrab dengan Bung Karno. Sementara, Soeharto yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Nasution dan Yani, cenderung berpihak kepada Nasution.
Konflik antara Nasution dan Yani itu ternyata tidak gampang didamaikan. Suatu hari di awal tahun 1965 ada pertemuan penting yang dihadiri 12 jenderal AD di Mabes AD. Sebenarnya Nasution dan Yani juga diundang dalam pertemuan itu, namun keduanya sama-sama tidak datang. Mereka diwakili oleh penasihat masing-masing. Padahal, pertemuan itu diselenggarakan dalam upaya mendamaikan Nasution dengan Yani. Alhasil, pertemuan penting itu tidak mencapai tujuan utamanya, karena mereka yang berkonflik tidak datang sendiri dan hanya diwakili.
Pada pertengahan April 1965 ada pertemuan yang lebih besar lagi. Kali ini pertemuan dihadiri oleh sekitar 200 perwira militer di Mabes AD. Dalam pertemuan itu Nasution dan Yani juga tidak datang. Namun pertemuan itu melahirkan doktrin baru yang diberi nama:Tri Ubaya Sakti. Pencetusnya adalah Soeharto. Intinya berisi tiga janji jujur dari jajaran AD. Saya sudah lupa isi lengkapnya, namun substansinya demikian: TNI berhak memberikan saran dan tugas politik tak terbatas kepada Presiden RI.
Doktrin itu menimbulkan kecemasan baru di kalangn elite politik dan masyarakat intelektual, karena dengan begitu semakin jelas bahwa AD mempertahankan politik Negara dalam Negara yang sudah dirintis oleh Nasution. Ini juga berarti bahwa Kubu Nasution menang terhadap Kubu Yani yang didukung oleh Presiden Soekarno.
POLITIK MUKA DUA
Soeharto, salah satu perwira yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dan Nasution, berada di posisi yang tidak enak, karena Soeharto memiliki memori buruk dengan Nasution maupun Yani. Penyebabnya adalah perilaku Soeharto sendiri yang buruk. Itu terjadi saat Soeharto masih di Divisi Diponegoro.
Ceritanya, saat di Divisi Diponegoro Soeharto menjalin hubungan dengan pengusaha Cina, Liem Sioe Liong (kelak mendapat perlakuan istimewa dari Soeharto, sehingga Liem menjadi pengusaha terbesar Indonesia). Perkawanan antara Soeharto dan Liem ini, antara lain, menyelundupkan berbagai barang. Soeharto pernah berdalih bahwa penyelundupan itu untuk kepentingan Kodam Diponegoro. Berita penyelundupan itu cepat menyebar. Semua perwira saat itu mengetahuinya. Bahkan terungkap bahwa penyelundupan itu bukan untuk kepen-tingan Kodam, tetapi duitnya masuk kantong Soeharto dan Liem.
Saat mengetahui ulah Soeharto, kontan Yani marah. Pada suatu kesempatan Yani bahkan sampai menempeleng Soeharto, karena penyelundupan itu dinilai memalu-kan korps. AH Nasution lantas mengusulkan agar Soeharto diadili di mahkamah militer dan segera dipecat dari AD. Namun, Mayjen Gatot Subroto mencegah, dengan alasan bahwa perwira ini masih bisa dibina. Gatot lantas mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar Soeharto diampuni dan disekolahkan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung.
Presiden Soekarno setuju saja. Karena itu, Soeharto masuk Seskoad dan diterima oleh Dan Seskoad Brigjen Suwarto. Saat itu Seskoad tidak hanya mengajarkan pendidikan kemiliteran, tapi juga bidang ekonomi dan pemerintahan. Para perwira di Seskoad berfungsi sebagai guru teori Negara dalam Negara.
Karena itulah, saat Soeharto ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dengan Nasution, ia berada di posisi serba tidak enak. Yani pernah menempelengnya, sedangkan Nasution pernah mengusulkan agar dia dipecat dari AD dan diadili di Mahkamah Militer. Tetapi, toh Soeharto memilih berpihak ke Nasution, sehingga yang kelihatan adalah bahwa Soeharto berada di dalam Kubu Nasution.
Namun akhirnya Soeharto membangun kubu sendiri. Kubu Soeharto terbentuk ketika kepercayaan AS terhadap Nasution mulai luntur. Ini disebabkan oleh fungsi Nasution terhadap pemberontakan Permesta, kampanye pembebasan Irian Barat dan slogan Ganyang Malaysia tidak efektif. Tiga hal itu membuat kepentingan AS terhadap Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya, terganggu, sehingga AS tidak lagi akrab dengan Nasution. Keakraban AS dengan Nasution - dari perspektif AS – awalnya perlu untuk mengimbangi kebijakan Bung Karno yang cenderung lunak pada PKI. Di saat kepercayaan AS terhadap Nasution luntur dan Soeharto sudah menjadi Pangkostrad, Soeharto membangun kubu sendiri.
Awal Januari 1965 di kantor Kedutaan Besar RI untuk Yugoslavia di Beograd, datang sepucuk surat yang ditujukan kepada Dubes RI untuk Yugoslavia, Yoga Soegama (kelak dijadikan Kepala Bakin oleh Soeharto). Pengirimnya adalah Pangkostrad Soeharto. Isinya: Yoga ditawari pulang ke Jakarta dengan jabatan baru: Kepala Intelijen Kostrad. Tawaran itu menarik bagi Yoga. Karena itu, pada 5 Februari 1965 Yoga sudah tiba di Jakarta, langsung menghadap Panglima Kostrad di rumahnya, Jalan H Agus Salim. Mereka bermusyawarah di sana. Itulah awal terbentuknya Kubu Soeharto.
Pemanggilan Yoga Soegama dari Beograd oleh Soeharto itu mengandung tiga indikasi: Pertama, Yoga kembali ke Indonesia tidak melalui jalur normal. Seharusnya penarikan Yoga dari jabatan Duta Besar RI untuk Yugoslavia di Beograd dilakukan oleh Menpangad Yani, sebab Yoga adalah perwira AD. Tetapi, kenyataannya Yoga ditarik oleh surat panggilan Pangkostrad Mayjen Soeharto. Kedua, tujuan kepula-ngan Yoga ke tanah air adalah bersama-sama Soeharto menyabot (sabotase) politik-politik Bung Karno. Ketiga, mereka bertujuan menghancurkan PKI. Tiga indikasi ini bukan kesimpulan saya. Tetapi, ini diungkapkan oleh Ali Moertopo (salah satu anggota trio Soeharto-Yoga) dengan rasa bangga dan tanpa tedeng aling-aling (secara blak-blakan). Ali mengungkap hal itu dengan gaya seperti orang tidak berdosa.
Bagi Soeharto, menarik seorang pejabat dengan cara begitu adalah hal biasa. Padahal dia sudah melangkahi garis hubungan hierarki dan komando. Dengan cara yang melanggar aturan itu dia membentuk kubunya. Pokok-pokok masalah yang menjadi perhatian kubunya sama sekali tidak menyangkut hal yang berkaitan dengan Panglima AD, tetapi menyangkut politik nasional dan internasional. Perhatian kubu itu tertuju pada Bung Karno dan PKI.
Kubu Soeharto disebut juga Trio Soeharto-Yoga-Ali. Untuk selanjutnya kita sebut Kelompok Bayangan Soeharto. Mereka bersatu dengan cara-cara tersamar. Mereka bergerak di bawah permukaan. Awalnya teman lama dan sudah merupakan satu tim kompak ketika sama-sama berada di Kodam Diponegoro. Kekompakan trio ini sudah teruji saat mematahkan rencana pimpinan AD memilih Pangdam Diponegoro. Kekompakan mereka dilanjutkan di Jakarta.
Tentang kekompakan trio Soeharto mematahkan rencana pimpinan AD, ceritanya demikian: Saat itu pimpinan AD mencalonkan Kolonel Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro. Rencana pencalonan Bambang itu kemudian diketahui oleh para perwira di sana. Soeharto yang saat itu masih berpangkat Letnan Kolonel, juga mendengar. Hebatnya, meskipun pangkat Soeharto lebih rendah dibanding Bambang Supeno, namun ia berani merebut posisi Pangdam. Caranya, dengan menggunakan strategi yang kotor namun terselubung.
Di saat rencana pengangkatan Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro bocor, ada sebuah rapat gelap di Kopeng, Jateng, yang dihadiri beberapa perwira Kodam Diponegoro. Rapat itu dikoordinir oleh Soeharto melalui salah satu anggota trionya, Yoga Soegama. Tetapi, Soeharto sendiri tidak hadir. Intinya, rapat memutus-kan bahwa Soeharto harus tampil sebagai Pangdam Diponegoro. Jika tidak, Yoga dan Soeharto akan manggalang kekuatan untuk bersama-sama menolak pencalonan Bambang Supeno. Saat itu pencalonan Bambang menjadi Pangdam belum ditandatangani oleh Presiden, sehingga Soeharto yang berupaya merebut jabatan itu harus berpacu dengan waktu.
Namun, ternyata skenario Soeharto (melalui Yoga) ini tidak didukung oleh para perwira peserta rapat. Dari puluhan perwira yang hadir, hanya seorang perwira kesehatan Kolonel dr.Suhardi yang menandatangani, tanda setuju atau mendukung pernyataan sikap itu. Yang lain tidak.
Yoga semula mengaku bahwa pertemuan itu tidak diberitahukan lebih dulu kepada Soeharto. Ini bisa diartikan bahwa bukan Soeharto pembuat skenario. Ketika dua orang utusan Kodam Diponegoro hendak ke Jakarta untuk meminta tanda tangan Presiden tentang pengangkatan Bambang Supeno, barulah rapat gelap itu disebar-kan.
Berdasarkan memori Yoga yang terungkap kemudian, rapat itu adalah gagasan Soeharto. Pengakuan awal Yoga bahwa Soeharto tidak mengetahui rapat tersebut – dikatakan Yoga – agar ridak menimbulkan kecurigaan dari Jakarta bahwa Soeharto menggalang kekuatan, menolak pencalonan Bambang Supeno. Tetapi, tentang hal ini tidak ada konfirmasi, apakah benar rapat gelap itu dikoordinir Soeharto melalui Yoga atau atas inisiatif Yoga sendiri.
Sebagai pembanding: salah seorang anggota trio Soeharto, Ali Moertopo, menyata-kan bahwa pada saat itu ia adalah komandan pasukan Raiders yang diminta mem-bantu Yoga melancarkan operasi intelijen. Tidak dirinci bentuk operasi intelijen yang dimaksud, namun tujuannya adalah mengusahakan agar Soeharto menjadi Panglima Diponegoro. Tetapi, Ali sama sekali tidak menjelaskan siapa yang meminta dia, Yoga atau Soeharto. Atau mungkin kedua-duanya.
Terlepas dari apakah Yoga berbohong atau tidak soal koordinator rapat gelap itu, tetapi rangkaian pernyataan Yoga dan Ali Moertopo itu menunjukkan adanya suatu komplotan Soeharto. Komplotan yang bergerak dalam operasi intelijen. Soeharto adalah dalang yang sedang memainkan wayang-wayangnya. Tentu, dalangnya tidak perlu terjun langsung.
Akhirnya, nasib mujur bagi para wayang tersebut, karena komplotan ini berhasil. Bambang Supeno tidak jadi Pangdam, melainkan Soeharto yang tampil menjadi Pangdam Diponegoro. Dari proses komplotan itu bekerja, bisa digambarkan jika seandainya Soeharto tidak jadi Pangdam dan skenario rapat gelap itu terbongkar sehingga diketahui pimpinan AD, maka pasti Soeharto akan terhindar dari jerat hukum. Ia bisa dengan mudah berkhianat sebab ia tidak ikut rapat gelap itu. Yang paling berat risikonya tentu adalah Kolonel dr. Suhardi.
Saya menyimpulkan demikian, sebab hal itu pernah dilakukan oleh Soeharto dan komplotannya ketika ia melakukan percobaan kudeta pada 3 Juli 1946. Namun kudeta itu gagal dan Soeharto berbalik arah mengkhianati komplotannya sendiri. Soeharto menangkap komplotannya dan berdalih mengamankan negara.
Soal itu, sekilas saya ceritakan sebagai berikut: Percobaan kudeta 3 Juli 1946 dilancarkan di bawah pimpinan Tan Malaka dari Partai Murba. Tan Malaka mengajak kalangan militer Jawa Tengah, termasuk Soeharto. Yang akan digulingkan adalah Perdana Menteri Sjahrir. Awalnya, 20 Juni 1946 PM Sjahrir dan kawan-kawan diculik di Surakarta. Penculiknya adalah kelompok militer di bawah komando Divisi III dipim-pin oleh Sudarsono. Soeharto selaku salah seorang komandan militer Surakarta terlibat dalam penculikan itu.
2 Juli 1946 kelompok penculik berkumpul di markas Soeharto sebanyak dua batalyon. Pasukan lantas dikerahkan untuk menguasai beberapa sektor strategis seperti RRI dan Telkom. Malam itu juga mereka menyiapkan surat keputusan pembubaran Kabinet Sjahrir dan menyusun kabinet baru yang sedianya akan ditandatangani oleh Presiden Soekarno di Istana Negara Yogyakarta, esok harinya.
SK dibuat dalam empat tingkat. Keputusan Presiden dimuat dalam maklumat nomor 1, 2 dan 3. Semua maklumat mengarah ke kudeta. Misalnya, maklumat nomor dua berbunyi demikian: Atas desakan rakyat dan tentara dalam tingkatan kedua terhadap Ketua Revolusi Indonesia yag berjuang untuk rakyat, maka kami atas nama Kepala Negara hari ini memberhentikan seluruh kementrian negara Sutan Sjahrir. Yogya-karta, 3 Juli 1946, tertanda: Presiden RI Soekarno.
Tetapi percobaan kudeta ini ternyata gagal. Para pelakunya ditangkap dan ditahan. Persis pada saat itu Soeharto berbalik arah. Ia yang semula berkomplot dengan penculik, berbalik menangkapi komplotan penculik. Ia berdalih, keberadaannya sebagai anggota komplotan penculik merupakan upaya Soeharto mengamankan penculik.
Itulah karakter Soeharto dan ia bangga dengan hal itu. Soeharto tidak merasa malu berbalik arah dari penjahat menjadi menyelamat. Malah, dalam buku otobiografinya, Soeharto menyebut sekilas peristiwa itu, tetapi menurut versi dia yang tentu saja faktanya dia balik sendiri. Pada awal Indonesia merdeka itu Soeharto sudah menerapkan politik Bermuka Dua.
EMBRIO DEWAN JENDERAL
Pada akhir tahun 1963 saya selaku Waperdam dan Menlu berkunjung ke RRT. Ini kunjungan kenegaraan, saya mewakili Presiden Soekarno. Di sana saya disambut hangat. Bisa jadi sambutan itu karena Indonesia punya PKI. Saya diterima sekaligus oleh tiga pimpinan puncak, Perdana Menteri Chou En-Lai, Presiden Mao Tse-Tung (Liu Shao-Chi?) dan Menlu Chen Yi. Kami tahu, mereka menaruh simpati pada Presiden Soekarno. Kepemimpinan Bung Karno dikagumi oleh banyak pemimpin negara-negara lain. Konferensi Asia-Afrika di Indonesia yag sukses, gerakan negara-negara Non-Blok ide Bung Karno, membuat beliau dikagumi oleh para pemimpin dunia, termasuk pemimpin RRT.
Inti pembicaraan kami, pimpinan RRT menawarkan kepada Indonesia bantuan peralatan militer untuk 40 batalyon tentara. Ini peralatan lengkap, mulai dari senjata manual, otomatis, tank dan kendaraan lapis baja. Hebatnya, semua itu gratis. Juga tanpa syarat.
Mendapat tawaran itu, saya atas nama Presiden mengucapkan terima kasih. Tetapi saya belum bisa menjawab, sebab bukan kapasitas saya untuk menerima atau menolak. Saya harus melaporkan hal ini kepada Presiden. Dan begitu tiba di tanah air, tawaran itu langsung saya laporkan kepada Bung Karno. Saya lihat, tanpa banyak pikir lagi Bung Karno menyatakan: Ya, diterima saja. Menurut pandangan saya pribadi memang seharusnya begitu. Terlepas apa kepentingan RRT memberikan persenjataan gratis kepada kita, asal bantuan itu tidak mengikat, mengapa tidak diterima?
Pernyataan Presiden Soekarno menerima bantuan RRT itu lantas saya sampaikan kepada pimpinan RRT. Mereka gembira mendengarnya. Mereka menyatakan bahwa akan segera menyiapkan barang tersebut. Mereka juga meminta konfirmasi kepada kami, kapan barang bisa dikirim. Hal ini saya sampaikan kepada Bung Karno. Namun, masalah ini macet sampai di sini. Bung Karno tidak segera menjawab, kapan barang itu bisa dikirim. Pihak RRT juga tidak mengirimkan barang tersebut.
Baru sekitar awal tahun 1965 Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tujuannya adalah untuk menampung bantuan senjata dari RRT. Saat itu persenjataan untuk empat angkatan (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian) dianggap sudah cukup. Karena itu, agar bantuan senjata tersebut bisa dimanfaatkan secara maksimal, Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima. Jika persenjataan yang dikirim cukup untuk 40 batalyon, maka Angkatan Kelima berkekuatan sekitar itu. Sebab tujuannya memang untuk memanfaatkan maksimal pemberian senjata gratis RRT.
Tetapi – ini yang sangat penting – Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan Kelima. Beliau hanya mengatakan demikian: Angkatan Kelima tidak sama dengan angkatan yang sudah ada. Ini adalah pasukan istimewa yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan angkatan lain. Hal ini perlu saya tegaskan, karena kemudian beredar isu bahwa Angkatan Kelima adalah para buruh dan petani yang dipersenjatai. PKI memang pernah mengatakan hal ini, tetapi Bung Karno belum pernah merinci, bagaimana bentuk Angkatan Kelima itu.
Setelah Bung Karno jatuh dari kekuasaannya, isu ini dijadikan bahan sejarah. Bahkan masuk di dalam buku sejarah yang dipelajari di sekolah. Tentu Bung Karno tidak dapat membantah isu tersebut sebab sejak beberapa waktu kemudian praktis Bung Karno menjadi tawanan Soeharto sampai beliau meninggal dunia.
Bung Karno sudah menjadi pihak yang terkalahkan, sehingga masyarakat tidak lagi berpikir jernih melihat Bung Karno. Kalau masyarakat berpikir jernih, pasti muncul analisis, hanya pimpinan bodoh yang mempersenjatai buruh dan petani di negara yang relatif baru lahir, karena jelas hal itu akan membuat negara dalam kondisi sangat berbahaya. Semua tahu bahwa Bung Karno tidak bodoh. Atau, bisa jadi masyarakat saat itu ada yang berpikiran jernih, tetapi mereka tidak berani mengungkapkan. Bukankah pada zaman Orde Baru bicara politik – apalagi membahas sejarah versi Orba – bisa membuat yang bersangkutan tidak lagi bisa pulang ke rumahnya?
Meskipun saat ide tersebut dilontarkan oleh Bung Karno belum ada embel-embel buruh dan petani dipersenjatai, tetapi kalangan militer tidak setuju. Menpangad Letjen A Yani sudah menyampaikan langsung kepada Presiden bahwa ia tidak setuju dibentuk Angkatan Kelima. Para jenderal lainnya mendukung sikap Yani. Mereka tidak setuju ada angkatan lain. Empat angkatan dianggap sudah cukup.
Setelah Yani menyampaikan sikapnya kepada Presiden, masalah ini kemudian menjadi pembicaraan di kalangan elite politik. Dan pembicaraan tentang itu menjadi berlarut-larut. Juga muncul banyak spekulasi tentang bentuk Angkatan Kelima. Muncul pula berbagai praduga tentang penolakan Yani terhadap ide Bung Karno itu. Sementara, Bung Karno sendiri tetap tidak menjelaskan secara rinci bentuk Angkatan Kelima tersebut. Saya sebagai orang yang paling dekat dengan Bung Karno saat itu pun tidak diberitahu. Sampai akhirnya Bung Karno memanggil Yani. Dijadwalkan, Yani akan diterima oleh Presiden di Istana Negara pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Agendanya, Yani akan ditanya lagi tentang Angkatan Kelima.
Seorang sumber saya mengatakan, ketika Yani menerima surat panggilan dari Presiden, beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, Yani sempat mengatakan: Saya mungkin akan dicopot dari Menpangad, sebab saya tidak setuju Angkatan Kelima. Ucapan Yani ini juga cepat menyebar. Bahkan beredar isu di kalangan petinggi AD bahwa pengganti Yani adalah orang kedua di AD, yakni Gatot Subroto.
Namun Yani dibunuh beberapa jam sebelum ia menghadap Presiden Soekarno. Jika diperkirakan Yani dibantai sekitar pukul 04.00 WIB, berarti empat jam kemudian mestinya ia menghadap Presiden.
BAB II: GERAKAN YANG DIPELINTIR
BUNG KARNO MASUK ANGIN
Ada peristiwa kecil, namun dibesar-besarkan oleh Kelompok Bayangan Soeharto, sehingga kemudian menjadi sangat penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa itu adalah sakitnya Bung Karno pada awal Agustus 1965.
Dalam buku-buku sejarah banyak ditulis bahwa sakitnya Bung Karno pada saat itu adalah sangat berat. Dikabarkan, pimpinan PKI DN Aidit sampai mendatangkan dokter dari RRT. Dokter RRT yang memeriksa Bung Karno menyatakan bahwa Bung Karno sedang kritis. Intinya, jika tidak meninggal dunia, Bung Karno dipastikan bakal lumpuh. Ini menggambarkan bahwa Bung Karno saat itu benar-benar sakit parah.
Dari peristiwa itu (seperti ditulis di berbagai buku) lantas dianalisis bahwa PKI – yang saat itu berhubungan mesra dengan Bung Karno – merasa khawatir pimpinan nasional bakal beralih ke tangan orang AD. PKI tentu tidak menghendaki hal itu, mengingat PKI sudah bermusuhan dengan AD sejak pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Menurut analisis tersebut, begitu PKI mengetahui bahwa Bung Karno sakit keras, mereka menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan. Akhirnya meletus G30S.
Ini alibi rekayasa Soeharto yang mendasari tuduhan bahwa PKI adalah dalang G30S. Ini juga ditulis di banyak buku, sebab memang hanya itu informasi yang ada dan tidak dapat dikonfirmasi, karena pelakunya – Bung Karno, DN Aidit dan dokter RRT – ketiga-tiganya tidak dapat memberikan keterangan sebagai bahan perbandingan. Bung Karno ditahan sampai meninggal. Aidit ditembak mati tanpa proses pengadilan; sedangkan dokter RRT itu tidak jelas keberadaannya. Itulah sejarah versi plintiran.
Tetapi ada saksi lain selain tiga orang itu, yakni saya sendiri dan Wakil Perdana Menteri-II, dr. Leimena. Jangan lupa, saya adalah dokter yang sekaligus dekat dengan Bung Karno. Saya juga mengetahui secara persis peristiwa kecil itu.
Yang benar demikian: memang Bung Karno diperiksa oleh seorang dokter Cina yang dibawa oleh Aidit, tetapi dokternya bukan didatangkan dari RRT, melainkan dokter Cina dari Kebayoran Baru, Jakarta, yang dibawa oleh Aidit. Fakta lain: Bung Karno sebelum dan sesudah diperiksa dokter itu juga saya periksa. Pemeriksaan yang saya lakukan didampingi oleh dr. Leimena. Jadi ada tiga dokter yang memeriksa Bung Karno.
Penyakit Bung Karno saat itu adalah: masuk angin. Ini jelas dan dokter Cina itu juga mengatakan kepada Bung Karno di hadapan saya dan Leimena bahwa Bung Karno hanya masuk angin. DN Aidit juga mengetahui penyakit Bung Karno ini. Mengenai penyebabnya, sayalah yang tahu. Beberapa malam sebelumnya, Bung Karno jalan-jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta. Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan kebutuhan pokok. Jalan keluar-masuk pasar di malam hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan Bung Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin.
Tetapi kabar yang beredar adalah bahwa Bung Karno sakit parah. Lantas disimpul-kan bahwa karena itu PKI kemudian menyusun kekuatan untuk mengambil-alih kepemimpinan nasional. Akhirnya meletus G30S yang didalangi oleh PKI.
Kabar itu sama sekali tidak benar. DN Aidit tahu kondisi sebenarnya. Ini berarti bahwa kelompok Soeharto sengaja menciptakan isu yang secara logika mem-benarkan PKI berontak atau menyebar-kan kesan (image) bahwa dengan cerita itu PKI memiliki alasan untuk melakukan kudeta.
Ketika Kamaruzaman alias Sjam diadili, ia memperkuat dongeng kelompok Soeharto. Sjam adalah kepala Biro Khusus PKI sekaligus perwira intelijen AD. Sjam mengaku bahwa ketika Bung Karno jatuh sakit, ia dipanggil oleh Aidit ke rumahnya pada tanggal 12 Agustus 1965. Ia mengaku bahwa dirinya diberitahu oleh Aidit mengenai seriusnya sakit Presiden dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera apabila Bung Karno meninggal. Masih menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia untuk meninjau kekuatan kita dan mempersiapkan suatu gerakan. Pengakuan Sjam ini menjadi rujukan di banyak buku.
Tidak ada balance, tidak ada pembanding. Yang bisa memberikan balance sebenarnya ada lima orang yaitu Bung Karno, Aidit, dokter Cina (saya lupa nama-nya), Leimena dan saya sendiri. Tetapi setelah meletus G30S semuanya dalam posisi lemah. Ketika diadili, saya tidak diadili dengan tuduhan terlibat G30S, sehingga tidak relevan saya ungkapkan.
Kini saya katakan, semua buku yang menyajikan cerita sakitnya Bung Karno itu tidak benar. Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya masuk angin, sehingga tidak masuk akal jika ia memerintahkan anak buahnya, Sjam, untuk menyiapkan suatu gerakan. Ini jika ditinjau dari logika: PKI ingin mendahului merebut kekuasaan sebelum sakitnya Bung Karno semakin parah dan kekuasaan akan direbut oleh AD. Logikanya, Aidit akan tenang-tenang saja, sebab bukankah Bung Karno sudah akrab dengan PKI? Mengapa PKI perlu menyiapkan gerakan di saat mereka disayangi oleh Presiden Soekarno yang segar bugar?
Intinya, pada bulan Agustus 1965 kelompok bayangan Soeharto jelas kelihatan ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi seperti itu. Provokasi adalah cara perjuangan yang digunakan oleh para jenderal AD kanan untuk mendorong PKI mendahului memukul AD. Ini taktik untuk merebut legitimasi rakyat. Jika PKI memukul AD, maka PKI ibarat dijebak masuk ladang pembantaian (killing field). Sebab, AD akan – dengan seolah-olah terpaksa – membalas serangan PKI. Dan, serangan AD terhadap PKI ini malah didukung rakyat, sebab seolah-olah hanya membalas. Ini taktik AD Kubu Soeharto untuk menggulung PKI. Jangan lupa, PKI saat itu memiliki massa yang sangat besar, sehingga tidak dapat ditumpas begitu saja tanpa taktik yang canggih.
Tetapi PKI tidak juga terpancing. Pelatuk tidak juga ditarik meskipun PKI sudah diprovokasi sedemikian rupa. Mungkin PKI sadar bahwa mereka sedang dijebak. Peran Aidit sangat besar, dengan tidak memberikan instruksi kepada anggotanya. Tetapi toh akhirnya PKI dituduh mendalangi G30S, walaupun keterlibatan langsung PKI dalam peristiwa itu belum pernah diungkap secara jelas.
Pelaku G30S adalah tentara dan gerakan itu didukung oleh Soeharto yang juga tentara. Sedangkan Aidit langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan.
DEWAN  JENDERAL
Isu Dewan Jenderal sebenarnya bersumber dari Angkatan Kelima. Dan seperti diungkap di bagian terdahulu, Angkatan Kelima bersumber dari rencana sumbangan persenjataan gratis dari RRT. Tiga hal ini berkaitan erat. Pada bagian terdahulu diungkapkan bahwa tawaran bantuan persenjataan gratis untuk sekitar 40 batalyon dari RRT diterima Bung Karno. Hanya tawaran yang diterima, barangnya belum dikirim. Bung Karno lantas punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tapi Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan Kelima itu.
Ternyata Menpangad Letjen A Yani tidak menyetujui ide mengenai Angkatan Kelima itu. Para perwira ABRI lainnya mengikuti Yani, tidak setuju pada ide Bung Karno itu. Empat angkatan dinilai sudah cukup. Karena itulah berkembang isu mengenai adanya sekelompok perwira AD yang tidak puas terhadap Presiden. Isu terus bergulir, sehingga kelompok perwira yang tidak puas terhadap Presiden itu disebut Dewan Jenderal. Perkembangan isu selanjutnya adalah bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup terhadap Presiden.
Menjelang G30S meletus, Presiden memanggil Yani agar menghadap ke Istana. Yani rupanya merasa bahwa ia akan dimarahi oleh Bung Karno karena tidak menyetujui Angkatan Kelima. Yani malah sudah siap kursinya (Menpangad) akan diberikan kepada orang lain. Saat itu juga beredar isu kuat bahwa kedudukan Yani sebagai Menpangad akan digantikan oleh wakilnya, Mayjen Gatot Subroto. Presiden Soekarno memerintahkan agar Yani menghadap ke Istana pada 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Tetapi hanya beberapa jam sebelumnya Yani diculik dan dibunuh.
Yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal itu adalah Letkol Untung Samsuri. Sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana - Cakra Birawa – ia memang harus tanggap terhadap segala kemungkinan yang membahayakan kese-lamatan Presiden. Untung gelisah. Lantas Untung punya rencana mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka. Rencana ini disampaikan Untung kepada Soeharto. Menanggapi itu Soeharto mendukung. Malah Untung dijanjikan akan diberi bantuan pasukan. Ini diceritakan oleh Untung kepada saya saat kami sama-sama ditahan di LP Cimahi, Bandung (lengkapnya simak sub-bab Menjalin Sahabat Lama).
Saya menerima laporan mengenai isu Dewan Jenderal itu pertama kali dari wakil saya di BPI (Badan Pusat Intelijen), tetapi sama sekali tidak lengkap. Hanya dikatakan bahwa ada sekelompok jenderal AD yang disebut Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap Presiden. Segera setelah menerima laporan, langsung saya laporkan kepada Presiden. Saya lantas berusaha mencari tahu lebih dalam. Saya bertanya langsung kepada Letjen Ahmad Yani tentang hal itu. Jawab Yani ternyata enteng saja, memang ada, tetapi itu Dewan yang bertugas merancang kepangkatan di Angkatan Bersenjata dan bukan Dewan yang akan melakukan kudeta.
Masih tidak puas, saya bertanya kepada Brigjen Soepardjo (Pangkopur II). Dari Soepardjo saya mendapat jawaban yang berbeda. Kata Soepardjo: Memang benar. Sekarang Dewan Jenderal sudah siap membentuk menteri baru.
Pada 26 September 1965 muncul informasi yang lebih jelas lagi. Informasi itu datang dari empat orang sipil. Mereka adalah Muchlis Bratanata, Nawawi Nasution, Sumantri dan Agus Herman Simatupang. Dua nama yang disebut terdahulu adalah orang NU sedangkan dua nama belakangnya dri IPKI. Mereka cerita bahwa pada tanggal 21 September 1965 diadakan rapat Dewan Jenderal di Gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rapat itu membicarakan antara lain: Mengesahkan kabinet versi Dewan Jenderal.
Muchlis tidak hanya bercerita, ia bahkan menunjukkan pita rekaman pembicaran dalam rapat. Dalam rekaman tersebut ada suara Letjen S. Parman (salah satu korban G30S) yang membacakan susunan kabinet.
Susunan kabinet versi Dewan Jenderal – menurut rekaman itu – adalah sebagai berikut:
Letjen AH Nasution sebagai Perdana Menteri
Letjen A Yani sebagai Waperdam-I (berarti menggantikan saya) merangkap Menteri Hankam,
Mayjen MT Haryono menjadi Menteri Luar Negeri,
Mayjen Suprapto menjadi Menteri Dalam Negeri,
Letjen S Parman sendiri menjadi Menteri  Kehakiman,
Ibnu Sutowo (kelak dijadikan Dirut Pertamina oleh Soeharto) menjadi menteri Pertambangan.
Rekaman ini lantas saya serahkan kepada Bung Karno. Jelas rencana Dewan Jenderal ini sangat peka dan sifatnya gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung Karno. Seharusnya rencana ini masuk klasifikasi sangat rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh empat orang sipil? Saya menarik kesimpulan: tiada lain kecuali sebagai alat provokasi. Jika alat provokasi, maka rekaman itu palsu. Tujuannya untuk mematangkan suatu rencana besar yang semakin jelas gambarannya. Bisa untuk mempengaruhi Untung akan semakin yakin bahwa Dewan Jenderal - yang semula kabar angin - benar-benar ada.
Hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal, muncul Dokumen Gilchrist. Dokumen ini sebenarnya adalah telegram (klasifikasi sangat rahasia) dari Duta Besar Inggris untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew Gilchrist kepada Kemen-trian Luar Negeri Inggris. Dokumen itu bocor ketika hubungan Indonesia-Inggris sangat tegang akibat konfrontasi Indonesia-Malaysia soal Borneo (sebagian wilayah Kalimantan). Saat itu Malaysia adalah bekas koloni Inggris yang baru merdeka. Inggris membantu Malayia mengirimkan pasukan ke Borneo.
Saya adalah orang yang pertama kali menerima Dokumen Gilchrist. Saya mendapati dokumen itu sudah tergeletak di meja kerja saya. Dokumen sudah dalam keadaan terbuka, mungkin karena sudah dibuka oleh staf saya. Menurut laporan staf, surat itu dikirim oleh seorang kurir yang mengaku bernama Kahar Muzakar, tanpa identitas lain, tanpa alamat. Namun berdasarkan informasi yang saya terima, surat tersebut mulanya tersimpan di rumah Bill Palmer, seorang Amerika yang tinggal di Jakarta dan menjadi distributor film-film Amerika. Rumah Bill Palmer sering dijadikan bulan-bulanan demonstrasi pemuda dari berbagai golongan. Para pemuda itu menentang peredaran film porno yang diduga diedarkan dari rumah Palmer.
Isi dokumen itu saya nilai sangat gawat. Intinya: Andrew Gilchrist melaporkan kepada atasannya di Kemlu Inggris yang mengarah pada dukungan Inggris untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana ada pembicaraan Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia. Saya kutip salah satu paragraf yang berbunyi demikian: rencana ini cukup dilakukan bersama 'our local army friends.' Sungguh gawat. Sebelumnya sudah beredar buku yang berisi rencana Inggris dan AS untuk menyerang Indonesia. Apalagi, pemerintah Inggris tidak pernah melontarkan bantahan, padahal sudah mengetahui bahwa dokumen rahasia itu beredar di Indonesia. Saya selaku kepala BPI mengerahkan intelijen untuk mencek otentisitas dokumen itu. Hasilnya membuat saya yakin bahwa Dokumen Gilchrist itu otentik.
Akhirnya dokumen tersebut saya laporkan secara lengkap kepada Presiden Soekarno. Reaksinya, beliau terkejut. Berkali-kali beliau bertanya keyakinan saya terhadap keaslian dokumen itu. Dan berkali-kali pula saya jawab yakin asli. Lantas beliau memanggil para panglima untuk membahasnya. Dari reaksi Bung Karno saya menyimpulkan bahwa Dokumen Gilchrist tidak saja mencemaskan, tetapi juga mem-bakar. Bung Karno sebagai target operasi seperti merasa terbakar. Namun sebagai negarawan ulung, beliau sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan. Menurut penglihatan saya, tentu Bung Karno cemas. Saya menyimpul-kan, Bung Karno sedang terbakar oleh provokasi itu.
Terlepas dari asli-tidaknya dokumen itu, saya menilai bahwa ini adalah alat provokasi untuk memainkan TNI AD dalam situasi politik Indonesia yang memang tidak stabil. Saya mengatakan provokasi jika ditinjau dari dua hal. Pertama: isinya cukup membuat orang yang menjadi sasaran merasa ngeri. Kedua, dokumen sengaja dibocorkan agar jatuh ke tangan pendukung-pendukung Bung Karno dan PKI. Bagaimana mungkin dokumen rahasia seperti itu berada di rumah Palmer yang menjadi bulan-bulanan demo pemuda. Apakah itu bukan suatu cara provokasi?
Saya katakan jika Dokumen Gilchrist sebagai upaya provokasi, maka itu adalah provokasi pertama. Sedangkan provokasi kedua adalah isu Dewan Jenderal. Jika diukur dari kebiasaan aktivitas terbuka, maka sumber utama dua alat provokasi itu memang cukup rumit untuk dipastikan.
Di sisi lain, Soeharto juga bermain dalam isu Dewan Jenderal. Beberapa waktu sebelum G30S meletus, Yoga diutus oleh Soeharto untuk menemui Mayjen S Parman guna menyampaikan saran agar Parman berhati-hati karena isu bakal adanya penculikan terhadap jenderal-jenderal sudah santer beredar. Namun tidak ada yang tahu siapa yang menyebarkan isu seperti itu.
Parman tidak terlalu serius menanggapi saran itu, sebab itu hanya isu. Parman bertanya kepada Yoga: Apakah pak Yoga sudah punya bukti-bukti? Yang ditanya menjawab: Belum, pak. Lantas Parman menyarankan agar Yoga mencari bukti. Jangan hanya percaya isu sebelum ada bukti, kata Parman. Yoga menyanggupi akan mencarikan bukti.
Setelah G30S meletus, saya teringat saran Yoga kepada Parman itu. Yoga adalah anggota Trio Soeharto. Saya kemudian berkesimpulan bahwa informasi yang disam-paikan oleh Yoga kepada Parman itu bertujuan untuk mengetahui reaksi Parman yang dikenal dekat dengan Yani. Info tersebut tentu untuk memancing, apakah Parman sudah tahu. Sekaligus – jika memungkinkan – mengungkap seberapa jauh atisipasi Parman terhadap isu tersebut. Dan karena Parman adalah teman dekat Yani, reaksi Parman ini bisa disimpulkan sebagai mewakili persiapan Yani.
Dengan reaksi Parman seperti itu, maka bisa disimpulkan bahwa Parman sama sekali tidak mengantisipasi arah selanjutnya jika seandainya Dewan Jenderal benar-benar ada. Parman tidak siap meghadapi kemungkinan yang bakal terjadi selanjut-nya. Ini juga bisa disimpulkan bahwa Yani juga tidak siap. Jika ini saya kaitkan dengan pertanyaan saya pada Yani soal isu Dewan Jenderal, maka jelas-jelas bahwa Yani tidak punya persiapan sama sekali.
Intinya, info dari Yoga kepada Parman berbalas info, sehingga kelompok Soeharto mendapatkan info bahwa kelompok Yani sama sekali belum siap mengantisipasi kemungkinan terjadinya penculikan. Lebih jauh, rencana Soeharto melakukan gerakan dengan memanfaatkan Kolonel Latief dan memanipulasi kelompok Letkol Untung, belum tercium oleh kelompok lawan: Kelompok Yani.
Jika seandainya gerakan gagal mencapai tujuan (khususnya bila Parman tidak berhasil dibunuh), maka peringatan Yoga akan lain maknanya. Peringatan itu bisa berubah menjadi jasa Soeharto menyelamatkan Parman. Maka Soeharto tetap tampil sebagai pahlawan. Jadi tindakan Soeharto ini benar-benar strategis.
PERAN  AMERIKA  SERIKAT
Apakah AS berperan memlintir isu sakitnya Presiden dan Dewan Jenderal? Sudah jelas AS takut Indonesia dikuasai oleh komunis. Dan karena Bung Karno cenderung kiri, maka proyek mereka ada dua: hancurkan PKI dan gulingkan Bung Karno.
Selain tidak suka pada Bung Karno, AS juga punya kepentingan ekonomis di Indonesia dan secara umum di Asia. Sebagai gambaran: Malaysia hanya kaya akan karet dan timah; Brunei Darussalam hanya kaya minyak; sedangkan Indonesia memiliki segalanya di bidang tambang dan hasil bumi. Terlebih wilayahnya jauh lebih luas dibandingkan dengan Malaysia dan Brunei. Secara kongkrit bisnis minyak AS di Indonesia (Caltex) serta beberapa perusahaan lainnya – bagi AS – harus aman. Karena itu politik Bung Karno dianggap membahayakan kepentingan AS di Indonesia. Namun mereka kesulitan mengubah sikap Bung Karno yang tegas. Ada upaya AS untuk membujuk Bung Karno agar mengubah sikap politiknya tetapi gagal. Secara politis Bung Karno juga sangat kuat. Di dalam negeri Bung Karno didukung oleh Angkatan Bersenjata dan PKI. Tak kalah pentingnya, rakyat sungguh kagum dan simpati terhadapnya. Di luar negeri ia mendapat dukungan dari negara-negara Asia Tenggara dengan politik Non-Bloknya.
Itulah sebabnya, secara intuitif saya yakin bahwa AS ikut main di dua isu itu. Soal sakitnya Presiden, target mereka bukan menjebak PKI melakukan gerakan – sehingga PKI masuk ladang pembantaian – sebab Aidit tahu persis Presiden hanya masuk angin.
Plintiran isu tersebut lebih untuk konsumsi publik. Jika suatu saat ada gerakan perebutan kekuasaan, maka akan terlihat wajar bila gerakan itu dilakukan oleh PKI. Jika Presiden sakit keras, wajar PKI merebut kekuasaan, karena takut negara akan dikuasai oleh militer. Dan karena itu, wajar pula jika PKI dihabisi oleh militer.
Dewan Jenderal lebih banyak dimainkan oleh pemain lokal, meskipun AS bisa membantu dengan isu senjata dari RRT, Angkatan Kelima dan penolakan Yani terhadap Angkatan Kelima. Tetapi Dokumen Gilchrist jelas ada pemain Amerikanya. Dokumen itu awalnya disimpan di rumah warga Amerika Bill Palmer. Dokumen tersebut menurut saya otentik, namun mengapa dibocorkan?
Itu semua secara intiusi. Faktanya: pada pertengahan November 1965 AS mengirim bantuan obat-obatan dalam jumlah besar ke Indonesia. Bantuan tersebut meng-herankan saya. Indonesia tidak sedang dilanda gempa bumi. Juga tidak ada bencana atau perang. Yang ada adalah bahwa pada 1 Oktober 1965 terjadi pembantaian enam jenderal dan seorang letnan. Seminggu sesudahnya, AD di bawah pimpinan Soeharto dan dibantu oleh para pemuda membantai PKI. Pada saat obat-obatan itu dikirim kira-kira sudah 40 ribu anggota PKI dan simpatisannya dibantai. Nah, di sinilah pengiriman obat-obatan itu menjadi janggal. Suatu logika yang sangat aneh jika AS membantu obat-obatan untuk PKI.
Baru beberapa waktu kemudian saya mendapat laporan bahwa kiriman obat-obatan itu hanya kamuflase; hanya sebuah selubung untuk menutupi sesuatu yang jauh lebih penting. Sebenarnya itu adalah kiriman senjata untuk membantu tentara dan pemuda membantai PKI. Sayangnya, pengetahuan saya tentang hal ini sudah sangat terlambat. Bung Karno sudah menjelang ajal politik. Paling tidak ini menambah keyakinan saya bahwa AS ikut bermain dalam rangkaian G30S.
Bagi AS, menghancurkan komunis di Indonesia sangat tinggi nilainya untuk menja-min dominasi AS diAsia Tenggara. Di sisi lain, reputasi mereka di bidang subversif sudah dibuktikan dengan tampilnya agen-agen CIA yang berpengalaman meng-hancurkan musuh di berbagai negara, walaupun reputasi itu di dalam negeri malah dikecam habis-habisan oleh rakyat AS sendiri.
Salah satu agen CIA yang andal adalah Marshall Green (Dubes AS untuk Indonesia). Reputasinya di bidang subversif tak diragukan lagi. Sebelum bertugas di Indonesia ia adalah Kuasa Usaha AS di Korea Selatan. Di sana ia sukses menjalan-kan misi AS membantu pemberontakan militer oleh Jenderal Park Chung Hee yang kemudian memimpin pemerintahan militer selama tiga dekade. Di Indonesia ia menggantikan Howard Jones menjelang meletusnya G30S. Jadi pemain penting asing dalam drama 1 Oktober 1965 itu adalah Green dan Jones.
Tentu CIA tidak dapat bekerja sendiri menghancurkan komunis di Indonesia. Apalagi pada Februari 1965 AS memulai pemboman pertama di Vietnam Utara. Praktis konsentrasinya – khusus untuk penghancuran komunis – terbagi. Baik di Indonesia maupun Vietnam Utara, mereka butuh mitra lokal.
Di Indonesia mereka merekrut Kamaruzaman yang lebih terkenal dengan panggilan Sjam sebagai spion. Sjam adalah tentara sekaligus orang PKI. Kedudukan Sjam di PKI sangat strategis yaitu sebagai Ketua Biro Khusus PKI yang bisa berhubungan langsung dengan Ketua PKI DN Aidit. Sebaliknya, para perwira kelompok kontra Dewan Jenderal memberi informasi kepada saya bahwa Sjam sering memimpin rapat intern AD. Tidak jelas benar, apakah Sjam itu tentara yang disusupkan ke dalam tubuh PKI atau orang PKI yang disusupkan ke dalam AD. Tetapi jelas ia adalah mitra lokal CIA. Dan CIA beruntung memiliki mitra lokal yang berdiri di dua kubu yang berseberangan.
Tetapi permainan Sjam sangat kasar. Ingat pernyataannya bahwa pada tanggal 12 Agustus 1965 ia mengaku dipanggil oleh Aidit untuk membahas betapa seriusnya sakit Presiden. Juga Kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera jika Presiden meninggal. Itu dikatakan setelah Aidit dibunuh.
Di pengadilan Sjam mengatakan bahwa perintah menembak para jenderal datang dari dia sendiri, namun itu atas perintah Aidit yang disampaikan kepadanya. Inilah satu-satunya pernyataan yang memberatkan Aidit selain keberadaan Aidit di Halim pada taggal 30 September 1965 malam. Namun Aidit tidak sempat bicara sebab dia ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto (kelak dijadikan Gubernur Lampung oleh Soeharto) beberapa hari setelah G30S di Boyolali, Jateng.
Jika Sjam itu seorang tentara, ia ibarat martil. Keterangannya sangat  menguntung-kan pihak yang menghancurkan PKI. Namun setelah bertahun-tahun berstatus tahanan, Sjam diadili dan dihukum mati. Keberpihakannya kepada PKI, AD dan AS akhirnya tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri.
MENJALIN  SAHABAT  LAMA
Ini adalah bagian yang mengungkap keterlibatan Soeharto dalam G30S. Dia menjalin hubungan dengan dua sahabat lama - Letkol TNI AD Untung Samsuri dan Kolonel TNI AD Abdul Latief – beberapa waktu sebelum meletus G30S. Untung kelak menjadi komandan pasukan yang menculik dan membunuh 7 perwira, sedangkan Latief hanya dituduh terlibat dalam peristiwa itu.
adalah anak buah Soeharto ketika Soeharto masih menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Jateng. Untung bertubuh agak pendek namun berjiwa pemberani. Selama beberapa bulan berkumpul dengan saya di Penjara Cimahi, Bandung, saya tahu persis bahwa Untung tidak menyukai politik. Ia adalah tipe tentara yang loyal kepada atasannya, sebagaimana umumnya sikap prajurit sejati. Kepribadiannya polos dan jujur. Ini terbukti dari fakta bahwa sampai beberapa saat sebelum diek-sekusi, dia masih tetap percaya bahwa vonis hukuman mati terhadap dirinya tidak mungkin dilaksanakan. Percayalah, pak Ban, vonis buat saya itu hanya sandiwara, katanya suatu hari pada saya. Kenapa begitu? Karena ia percaya pada Soeharto yang mendukung tindakannya: membunuh para jenderal. Soal ini akan dibeberkan di bagian lebih lanjut.
Sekitar akhir 1950-an Soeharto dan Untung pisah kesatuan. Namun pada tahun 1962 mereka berkumpul lagi. Mereka dipersatukan oleh tugas merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Saat itu Soeharto adalah Panglima Komando Mandala, sedangkan Untung adalah anak buah Soeharto yang bertugas di garis depan. Dalam tugas itulah keberanian Untung tampak menonjol: ia memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana. Operasi pembebasan Irian akirnya sukses. Pada tanggal 15 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Irian kepada PBB. Lantas pada tanggal 1 Mei 1963 Irian diserahkan oleh PBB ke pangkuan RI. Keberanian Untung di medan perang sampai ke telinga Presiden. Karena itu Untung dianugerahi Bintang Penghargaan oleh Presiden Soekarno karena keberaniannya.
itu Untung dan Soeharto berpisah lagi dalam hubungan garis komando. Presiden Soekarno menarik Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana, Cakra Bhirawa. Sedangkan Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad. Namun tugas baru Untung itu membuat Soeharto marah. Soeharto ingin merekrut Untung masuk ke Kostrad menjadi anak-buahnya, karena ia tahu bahwa Untung itu pemberani. Tetapi apa mau dikata, Presiden sudah terlanjur menarik Untung ke dalam pasukan elite kawal Istana. Soeharto hanya bisa kecewa.
itu konflik Bung Karno dan PKI di satu sisi dengan para pimpinn AD di sisi lain belum terlalu tajam. Dalam perkembangannya, konflik Bung Karno dan PKI dengan AD itu semakin memuncak. Konflik itu diikuti oleh polarisasi kekuatan politik dan militer yang semakin meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa sewaktu-waktu konflik bisa mengarah ke suatu kondisi yang mengkhawatirkan. Sebab Bung Karno adalah pemimpin yang kharismatik yang didukung oleh rakyat dan sebagian besar perwira Angkatan Bersenjata, kecuali sebagian kecil perwira AD. Di sisi lain, PKI – seperti sudah saya sebutkan di muka – saat itu memiliki massa dalam jumlah sangat besar. Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi jika konflik ini semakin tajam.
Nah, saat konflik meningkat itulah justru Soeharto bersyukur bahwa Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana Cakra Bhirawa. Kedudukan Untung di sana menjadi titik strategis dipandang dari sisi Soeharto yang menunggu momentum untuk merebut kekuasaan negara. Maka hubungan Soeharto-Untung kembali membaik, meskipun beberapa waktu sebelumnya Soeharto sempat marah dan membenci Untung. Bukti membaiknya hubungan itu adalah bahwa beberapa waktu kemudian, di akhir 1964, Untung menikah di Kebumen dan Soeharto bersama istrinya, Ny. Soehartinah (Tien) menghadiri resepsinya di Kebumen.
Seorang komandan menghadiri pernikahan bekas anak-buah adalah hal yang sangat wajar, memang. Tetapi jarak antara Jakarta-Kebumen tidak dekat. Apalagi saat itu sarana transportasi dan terutama kondisi jalan sangat tak memadai. Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri perni-kahan Untung. Langkah Soeharto mendekati Untung ini terbaca di kalangan elite politik dan militer saat itu, tetapi mereka hanya sekadar heran pada perhatian Soeharto terhadap Untung yang begitu besar.
Di sisi lain, Soeharto juga membina persahabatan lama dengan Kolonel Abdul Latief yang juga bekas anak-buahnya di Divisi Diponegoro. Latief adalah juga seorang tentara pemberani. Ia adalah juga seorang yang saya nilai jujur. Namun, berbeda dengan Untung, Latief mengantongi rahasia skandal Soeharto dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogya. Dalam serangan itu Belanda diusir dari Yogya (ketika itu ibu-kota RI) hanya dalam waktu enam jam. Itu sebabnya serangan ini disebut juga Enam jam di Yogya, yang dalam sejarah disebut sebagai Operasi Janur Kuning karena saat operasi dilaksanakan semua pasukan yang berjumlah sekitar 2000 personil (termasuk pemuda gerilyawan) diharuskan mengenakan janur kuning (sobekan daun kelapa) di dada kiri sebagai tanda. Yang tidak mengenakan tanda khusus ini bisa dianggap sebagai mata-mata Belanda dan tidak salah jika ditembak mati.
Soeharto (di kemudian hari) mengklaim keberhasilan mengusir Belanda itu atas keberaniannya. Serangan Oemoem 1 Maret 1949 itu katanya, adalah ide dia. Soal ini sudah diungkap di berbagai buku, bahwa serangan tersebut adalah ide Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Soeharto adalah komandan pelaksana serangan. Namun bagi Latief persoalan ini terlalu tinggi. Latief hanya merupakan salah satu komandan kompi. Hanya saja karena dia kenal Soeharto sewaktu masih sama-sama di Kodam Diponegoro, ia dekat dengan Soeharto. Latief tidak bicara soal ide serangan. Ia hanya bicara soal teknis pertempuran.
Tentara kita menyerbu kota dari berbagai penjuru mulai pukul 06.00 WIB, persis saat sirene berbunyi tanda jam malam berakhir. Diserbu mendadak oleh kekuatan yang begitu besar, Belanda terkejut. Perlawanan mereka sama sekali tidak berarti bagi pasukan kita. Mereka sudah kalah strategi, diserang mendadak dari berbagai penjuru kota oleh pasukan yang jumlahnya demikian banyak. Tangsi-tangsi Belanda banyak yang berhasil direbut tentara kita. Namun Belanda sempat minta bantuan pasukan dari kota lain. Walaupun bala bantuan pasukan Belanda datang agak terlambat, namun mereka memiliki persenjataan yang lebih baik dibanding tentara kita. Mereka juga mengerahkan kendaraan lapis baja. Pada saat itulah terjadi pertempuran hebat di seantero Yogyakarta.
Pada scope lebih kecil, kelompok pasukan pimpinan Latief kocar-kacir digempur serangan balik pasukan Belanda. Dalam kondisi seperti itu Latief memerintahkan pasukannya mundur ke Pangkalan Kuncen sambil tetap berupaya memberikan tembakan balasan. Setelah di garis belakang, Latief memeriksa sisa pasukan. Ternyata tinggal 10 orang tentara. Di saat mundur tadi sekilas diketahui 12 orang terluka dan 2 orang gugur di tempat. Mereka yang luka terpaksa ditinggal di medan pertempuran, sehingga kemungkinan besar juga tewas, sedangkan pemuda gerilyawan (juga di bawah kompi Latief) yang tewas 50 orang.
Nah, saat Latief bersama sisa pasukannya berada di garis belakang itulah mereka berjumpa Soeharto. Apa yang sedang dilakukan Soeharto? Dia sedang santai makan soto babat, ujar Latief. Ketika itu perang sedang berlangsung. Ribuan tentara dan pemuda gerilyawan tengah beradu nasib menyabung nyawa, merebut tanah yang diduduki oleh penjajah. Toh, Latief dengan sikap tegap prajurit melapor kepada Soeharto tentang kondisi pasukannya. Soeharto ternyata juga tidak berbasa-basi misalnya menawari Latief dan anak-buahnya makan. Sebaliknya Soeharto langsung memerintahkan Latief bersama sisa pasukannya untuk menggempur belanda yang ada di sekitar Kuburan Kuncen, tidak jauh dari lokasi mereka.
akhirnya berhasil diusir dari Yogyakarta dalam tempo enam jam. Secara keseluruhan dalam pertempuran itu pasukan kita menang, meskipun dalam scope kecil pasukan pimpinan Latief kocar-kacir. Komandan dari seluruh pasukan itu adalah Soeharto yang - boleh saja – menepuk dada membanggakan keberaniannya. Bahkan Soeharto kemudian bertindak jauh lebih berani lagi dengan mengakui bahwa ide serangan itu dalah idenya (yang kini terbukti tidak benar). Namun soal Soto babat menjadi skandal tersendiri bagi figur seorang komandan pasukan tempur di mata Latief. Dan skandal ini diungkap oleh Latief pada saat dia diadili di Mahkamah Militer dengan tuduhan terlibat G30S. Kendati begitu, skandal ini tidak menyebar karena saat itu Soeharto sudah berkuasa. Soeharto sudah menjadi pihak yang menang dan Latief menjadi pihak yang kalah. Apa pun informasi dari pihak yang kalah sudah pasti disalahkan oleh pihak yang menang.
Setelah Serangan Oemoem 1 Maret, Soeharto-Latief pisah kesatuan. Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad, sementara Latief akhirnya menjadi Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti, Kodam Jaya. Posisi Latief cukup strategis. Maka Soeharto kembali membina hubungan lama dengan Latief . Jika Untung didatangi oleh Soeharto saat menikah di Kebumen, Latief juga didatangi di rumahnya oleh Soeharto dan istrinya saat Latief mengkhitankan anaknya. Saya menilai, Soeharto mendekati Latief dalam upaya sedia payung sebelum hujan, sebab suatu saat nanti Latief akan dimanfaatkan oleh Soeharto.
cerita lama terulang kembali. Jika dulu Soeharto membentuk trio bersama Yoga Soegama dan Ali Moertopo, kini bersama Untung dan Latief. Semuanya teman-teman lama Soeharto ketika masih di Jawa Tengah. Tetapi trio kali ini (bersama Untung dan Latief) memiliki posisi strategis yang lebih tinggi dibanding yang dulu: Untung adalah orang dekat Presiden. Latief adalah orang penting di Kodam Jaya yang menjaga keamanan Jakarta. Targetnya jelas: menuju ke Istana.
Tidak ada orang yang bisa membaca konspirasi trio tersebut saat itu karena selain trio ini tidak meledak-ledak, mereka juga tidak berada di posisi tertinggi di jajaran militer. Namun saya sebagai orang terdekat Bung Karno sudah punya feeling bahwa persahabatan mereka bisa menggoyang Istana. Paling tidak mereka bisa memper-kuat apa yang sudah dirintis oleh Nasution, yakni: menciptakan Negara dalam Negara. Sebab konflik antara Bung Karno dan AD sudah semakin tajam.
Selain membentuk trio, Soeharto juga dekat dengan Brigjen Soepardjo (berasal dari Divisi Siliwangi yang kemudian ditarik Soeharto ke Kostrad menjabat PangKopur II).
Pertengahan September 1965 suhu politik di Jakarta mulai panas. Karena hubungan persahabatan – di luar jalur komando – Latief menemui Soeharto. Inilah pertemuan pemting pertama antara Soeharto dan Latief menjelang G30S. Saat itu isu dewan Jenderal sudah menyebar. Begitu mereka bertemu, Latief melaporkan isu tersebut kepada Soeharto. Ternyata Soeharto menyatakan bahwa ia sudah tahu. Beberapa hari yang lalu saya diberitahu hal itu oleh seorang teman AD dari Yogya bernama Soebagyo, katanya. Tidak jelas siapa Soebagyo. Namun menurut Latief, Soebagyo adalah tentara teman mereka ketika masih sama-sama di Divisi Diponegoro.
Pada saat yang hampir bersamaan, pada 15 September 1965 Untung mendatangi Soeharto. Untung juga melaporkan adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan kup. Berbeda dengan Latief, Untung menyatakan bahwa ia punya rencana akan mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan menangkap mereka lebih dulu, sebelum mereka melakukan kudeta. Untung memang merupakan pembantu setia Bung Karno. Dalam posisinya sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa, sikapnya sudah benar.
jawab Soeharto? Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu, kata Soeharto. Malah Soeharto menawarkan bantuan pasukan kepada Untung: Kalau perlu bantuan pasukan, akan saya bantu, katanya. Untung gembira mendapat dukungan. Ia menerima tawaran bantuan tersebut. Dan Soeherto juga tidak main-main: Baik. Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, katanya.
dicatat: pertemuan Soeharto dengan Latief tidak berkaitan dengan pertemuan Soeharto dengan Untung. Saya lupa lebih dulu mana, antara Latief bertemu Soeharto dengan Untung bertemu Soeharto. Yang pasti itu terjadi di pertengahan bulan September 1965. Pada awalnya hubungan Soeharto-Untung terpisah dari hubungan Soeharto-Latief dalam hal Dewan Jenderal. Namun mereka sama-sama dari Kodam Diponegoro. Hubungan Untung-Latief juga terjalin baik meskipun sudah berpisah kesatuan. Akhirnya mereka tahu bahwa Soeharto mendukung gerakan menangkap Dewan Jenderal.
Soeharto ternyata dibuktikan. Beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, atas perintah Soeharto didatangkan beberapa batalyon pasukan dari Semarang, Surabaya dan Bandung. Perintahnya berbunyi: Pasukan harus tiba di Jakarta dengan perlengkapan tempur Siaga-I. Lantas secara bertahap pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Jelas, pasukan ini didatangkan khusus untuk menggempur Dewan Jenderal. Dalam komposisi pasukan penggempur Dewan Jenderal itu, dua-pertiganya adalah pasukan Soeharto dari daerah dan Kostrad.
G30S meletus dan Soeharto balik menggempur pelakunya, lantas ia menuduh gerakan itu didalangi PKI. Soeharto membuat aneka cerita bohong. Soal kedatangan pasukan dari Bandung, Semarang dan Surabaya itu dikatakan untuk persiapan upacara Hari ABRI 5 Oktober. Dari segi logika sudah tidak rasional. Rombongan pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September 1965 dengan persiapan tempur Siaga-I. Ini jelas tidak masuk akal jika dikaitkan dengan Hari ABRI. Yang terpenting: dari laporan intelijen yang saya terima dan dikuatkan dengan cerita Untung pada saya ketika kami sudah sama-sama dipenjara, pasukan bantuan Soeharto itu dimaksud-kan untuk mendukung Untung yang akan menggempur Dewan Jenderal. Ini sudah dibahas oleh Untung dan Soeharto.
penting kedua Soeharto-Latief terjadi dua hari menjelang 1 Oktober 1965. Pertemuan dilakukan di rumah Soeharto di Jalan H Agus Salim. Berdasarkan cerita Latief kepada saya pada saat kami sama-sama dipenjara, ketika itu ia melaporkan kepada Soeharto bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Dan Dewan Jenderal akan diculik oleh Pasukan Cakra Bhirawa. Apa reaksi Soeharto? Dia tidak bereaksi. Tapi karena saat itu ada tamu lain di rumah pak Harto, maka kami beralih pembicaraan ke soal lain, soal rumah, kata Latief.
Pertemuan terakhir Soeharto-Latief terjadi persis pada tanggal 30 September 1965 malam hari pukul 23.00 WIB di RSPAD Gatot Subroto. Saat itu Soeharto menunggu anaknya Hutomo Mandala Putera (Tommy Soeharto) yang ketumpahan sup panas dan dirawat di sana. Kali ini Latief melaporkan penculikan para jenderal akan dilaksanakan pukul 04.00 WIB (sekitar lima jam kemudian). Kali ini juga tidak ditanggapi oleh Soeharto.
yang akan melapor kepada Soeharto saat itu tiga orang, yakni Latief, Brigjen Soepardjo dan Letkol Untung. Sebelum Latief menghadap Soeharto, Latief lebih dulu bertemu dengan Soepardjo dan Untung. Soepardjo dan Untung datang ke rumah saya malam itu (30 September 1965) pada pukul 21.00 WIB. Soepardjo sedang ada urusan, sedangkan Untung kurang berani bicara pada Soeharto. Soepardjo lantas mengatakan pada saya: Sudahlah Tif (panggilan Latief), kamu saja yang meng-hadap. Katakan ke pak Harto, kami sedang ada urusan, kata Latief menirukan ucapan Soepardjo.
Setelah Latief bertemu Soeharto, ia lantas kembali menemui Soepardjo dan Untung yang menunggu di suatu tempat. Latief dengan wajah berseri-seri melaporkan kepada teman-temannya bahwa Soeharto berada di belakang mereka.
Saya ulangi: Pada sekitar pukul 01.00 WIB 1 Oktober 1965, kata Latief kepada Soepardjo dan Untung: Soeharto berada di belakang mereka.
Beberapa jam kemudian pasukan bergerak mengambil para jenderal.
Ada yang menarik dari pengakuan Soeharto soal pertemuan terakhir dirinya dengan Latief pada tanggal 30 September 1965 malam di RSPAD Gatot Subroto itu. Ia bercerita kepada dua pihak: Pertama kepada wartawan Amerika Serikat bernama Brackman, pada tahun 1968. Saat itu ia ditanya oleh Brackman mengapa Soeharto tidak termasuk dalam daftar jenderal yang akan diculik.
Kepada Brackman dikatakan demikian: Memang benar dua hari sebelum 1 Oktober 1965 anak lelaki saya yang berusia 3 tahun (Hutomo Mandala Putera alias Tommy Soeharto) ketumpahan sup panas. Dia lantas dibawa ke RSPAD Gatot Subroto. Pada 30 September 1965 banyak kawan-kawan saya menjenguk anak saya dan saya juga berada di RSPAD. Di antara yang datang adalah Latief yang menanyakan kondisi anak saya. Saat itu saya sangat terharu atas keprihatinannya pada anak saya. Tetapi ternyata Latief adalah orang penting dalam kup yang terjadi. Jadi jelas Latief datang ke RSPAD bukan untuk menengok anak saya, tetapi untuk mengecek keberadaan saya. Untuk membuktikan keberadaan saya, benarkah saya di RSPAD Gatot Subroto? Ternyata Memang begitu adanya: saya di RSPAD Gatot Subroto hingga tengah malam, lantas pulang ke rumah.
Pada Juni 1970 Soeharto diwawancarai oleh wartawan Der Spiegel, Jerman. Der Spiegel juga mengajukan pertanyaan yang sama dengan Brackman: Mengapa Soeharto tidak termasuk dalam daftar perwira AD yang diculik pada tanggal 1 Oktober 1965?
Soeharto mengatakan kepada Der Spiegel demikian: Latief datang ke RSPAD pukul 23.00 WIB bersama komplotannya. Tujuannya untuk membunuh saya. Tetapi itu tidak dilakukan, sebab ia khawatir membunuh saya di tempat umum.
MELETUSLAH  PERISTIWA  ITU
G30S meletus saya tidak berada di Jakarta. Saya melaksanakan tugas keliling daerah yang disebut Turba (Turun ke bawah). Pada 28 September 1965 saya berangkat ke Medan, Sumatera Utara. Beberapa waktu sebelumnya saya keliling Jawa Timur dan Indonesia Timur. Saat ke Medan rombongan saya berangkat bersama rombongan Laksamana Muda Udara Sri Muljono Herlambang. Misinya adalah mematangkan Kabinet Dwikora. Namun kemudian kami berpisah. Rombo-ngan Sri Muljono berangkat ke Bengkulu dan Padang, rombongan saya ke Medan.
Tanggal 2 Oktober saya ditilpun langsung oleh Presiden Soekarno dan diberitahu kejadian sehari sebelumnya. Dan hari itu juga saya diperintahkan untuk segera ke Jakarta. Ada pesan Presiden agar saya berhati-hati: Awas, Ban, hati-hati. Pesawat-mu bisa ditembak jatuh, pesan Presiden. Tetapi saya tetap kembali ke Jakarta dengan pesawat. Saya tentu saja sempat was was, sebab yang mengingatkan saya bukan orang sembarangan. Begitu tiba di Jakarta, saya langsung menuju Istana Bogor menemui Presiden Soekarno. Beberapa waktu kemudian saya mengetahui alasan kenapa Bung Karno memperingatkan saya agar saya hati-hati. Sebabnya adalah saat Sri Muljono menuju ke Jakarta, pesawatnya ditembaki di kawasan Tebet sehingga pesawat berputar-putar mencari tempat landasan. Akhirnya pesawat mendarat secara darurat di dekat Bogor.
Saya tiba di Bogor, suasana sudah jauh berubah dibanding sebelum saya berangkat ke Medan. Wajah Bung Karno tampak tegang. Leimena dan Chaerul Saleh sedang mendiskusikan berbagai hal. Saya mendapat laporan bahwa pada saat itu Bung Karno sudah berada dalam tawanan Soeharto. Bung Karno tidak diperbolehkan meninggalkan Istana Bogor.
Sebelumnya, peristiwa hebat terjadi di Jakarta. Tujuh perwira AD diculik yang kemudian dibunuh pada dini hari. Saya mendapat laporan dari para kolega dan para intel anak buah saya di BPI. Sampai berhari-hari kemudian saya terus mengumpul-kan informasi dari para kolega dan anak-buah saya. Rangkaian informasi yang saya terima tentang kejadian seputar 30 September 1965 hingga pembunuhan para jenderal itu sebagian saya catat, sebagian tidak.
Masih ingat hampir seluruhnya. Semua informasi yang saya terima, termasuk berbagai gejala yang sudah saya ketahui sebelumnuya, dapat saya ungkapkan di sini. Namun paparan saya akan terasa kurang menimbulkan kenangan yang kuat jika tidak dibandingkan dengan sejarah versi Orde Baru. Itu sebabnya, di beberapa bagian saya kutip sebagian cerita versi Soeharto sebagai pembanding.
Tanggal 29 September 1965 pagi hari, Panglima AU Oemar Dhani melaporkan kepada Presiden Soekarno tentang banyaknya pasukan yang datang dari daerah ke Jakarta. Beberapa waktu sebelumnya, saya melaporkan kepada Bung Karno adaya sekelompok perwira AD yang tidak puas terhadap Presiden - yang menamakan diri Dewan Jenderal – termasuk bocoran rencana Dewan Jenderal membentuk kabinet. Saya juga melapor tentang Dokumen Gilchrist. Semua laporan bertumpuk menjadi satu di benak Bung Karno. Dengan akumulasi aneka laporan yang mengarah pada suatu peristiwa besar itu, saya yakin Bung Karno masih bertanya-tanya, apa gerangan yang bakal terjadi.
Pengakuan Soeharto, menjelang dini hari 1 Oktober 1965 ia meninggalkan anaknya di RSPAD Gatot Subroto dan pulang ke rumahnya di Jalan H Agus Salim. Menurut-nya, saat meninggalkan RSPAD itu ia sendirian (tanpa pengawal) dengan mengen-darai jeep Toyota. Dari RSPAD mobilnya melewati depan Makostrad, lantas masuk ke Jalan Merdeka Timur. Ia mengaku di sana sempat merasakan suasana yang tidak biasa. Di sekitar Jalan Merdeka Timur berkumpul banyak pasukan, tetapi Soeharto terus berlalu dan tidak menghiraukan puluhan pasukan yang berkumpul di Monas.
Setelah itu Soeharto mengaku pulang ke rumah dan tidur (ini dikatakan Soeharto di beberapa kesempatan terbuka). Lantas pagi harinya pukul 05.30 WIB dia mengaku dibangunkan oleh seorang tetangganya dan diberitahu bahwa baru saja terjadi penculikan terhadap para jenderal. Setelah itu saya langsung menuju ke markas Kostrad, kata Soeharto.
Pengakuan Soeharto itu luar biasa aneh:
1.   di saat Jakarta dalam kondisi sangat tegang ia menyetir mobil sendirian, tanpa pengawal. Jangankan dalam situasi seperti itu, dalam kondisi biasa saja ia selalu dikawal.
2.   ia melewati Jalan Merdeka Timur dan mengaku melihat puluhan prajurit berkumpul dan merasakan sesuatu yang tidak biasa, tetapi tidak dia hiraukan. Sebagai seorang komandan pasukan, tidakkah dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh puluhan prajurit yang berkumpul pada tengah malam seperti itu?
3.   pada pagi hari 1 Oktober 1965 pukul 05.30 WIB siapa yang bisa mengetahui bahwa baru saja terjadi penculikan terhadap para jenderal? Saat itu belum ada berita televisi seperti sekarang (semisal Liputan 6 Pagi SCTV) yang dengan cepat bisa memberitakan suatu kejadian beberapa jam sebelumnya. Radio RRI saja baru memberitakan peristiwa itu pada pukul 07.00 WIB.
Yang sebenarnya terjadi:
Soeharto sudah tahu bahwa pasukan yang berkumpul di dekat Monas itu akan bergerak mengambil para anggota Dewan Jenderal. Toh dia sendiri yang men-datangkan sebagian besar (kira-kira dua-pertiga) pasukan tersebut dari Surabaya, Semarang dan Bandung. Ingat: Soeharto menawarkan bantuan pasukan yang diterima dengan senang hati oleh Untung.
dari daerah dengan perlengkapan tempur Siaga-I itu bergabung dengan Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monas. Selain itu, beberapa jam sebelumnya Soeharto menerima laporan dari Latief bahwa pasukan sudah dalam keadaan siap mengambil para jenderal. Maka wajar saja tengah malam itu Soeharto mengendarai jeep sendirian, meskipun Jakarta dalam kondisi sangat tegang. Malah ia dengan tenangnya melewati tempat berkumpulnya pasukan yang beberapa saat lagi berangkat membunuh para jenderal. Bagi Soeharto tidak ada yang perlu ditakutkan.
Ia justru melakukan kesalahan fatal dengan mengatakan kepada publik bahwa ia sempat melihat sekelompok pasukan berkumpul di dekat Monas dan ia membiarkan saja. Jika ia memposisikan diri sebagai orang yang tidak tahu rencana pembunuhan para jenderal, mestinya ia tidak menyatakan seperti itu dalam buku biografinya dan di berbagai kesempatan terbuka. Dengan pernyataannya membiarkan pasukan bergerombol di dekat Monas, bisa menyeret dirinya dalam kesulitan besar. Masak seorang Panglima Kostrad membiarkan sekelompok pasukan bergerombol di dekat Monas pada tengah malam, padahal dia melihatnya sendiri.
sebenarnya terjadi adalah bahwa tengah malam itu ia tidak pulang ke rumah seperti ditulis dalam buku biografinya. Yang benar: setelah melewati Jalan Merdeka Timur dan melihat persiapan sekum-pulan pasukan, ia lantas menuju ke Markas Kostrad. Di Makostrad ia memberi pengarahan kepada sejumlah pasukan bayangan dan operasi Kostrad yang mendukung gerakan pengambilan para jenderal. Dengan kronologi yang sebenarnya ini, maka seharusnya tidak perlu ada cerita Soeharto pulang ke rumah lantas tidur.
pengakuannya itu Soeharto rupanya ingin menunjukkan seolah-olah ia jujur dengan mengatakan bahwa pada dini hari 1 Oktober 1965 ia memang berada di Makostrad. Tapi prosesnya dari RSPAD, pulang dulu, lantas tidur, dibangunkan tetangga dan diberitahu ada penculikan pukul 05.30 WIB, baru kemudian berangkat ke Makostrad.
Kalau Soeharto memposisikan diri sebagai orang yang tidak bersalah dalam G30S, maka pengakuannya itu merupakan kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak mungkin ada orang yang tinggal di Jalan H Agus Salim (tetangga Soeharto) mengetahui ada penculikan para jenderal dan membangunkan tidur Soeharto pada pukul 05.30 WIB. Padahal penculikan dan pembunuhan para jenderal baru terjadi beberapa menit sebelumnya, sekitar pukul 04.00 WIB.
Satu pertanyaan sangat penting dari tragedi pagi buta 1 Oktober 1965 adalah mengapa para jenderal itu tidak dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Logikanya jika anggota Dewan Jenderal diisukan akan melakukan kudeta, mestinya dihadapkan ke Presiden Soekarno untuk diminta penjelasannya tentang isu rencana kudeta. Masalahnya tentu bakal menjadi lain jika para jenderal tidak dibunuh, tetapi diajukan kepada Presiden untuk konfirmasi.
Namun G30S sebagai suatu kekuatan sebenarnya sudah ditentukan jauh sebelum peristiwanya meletus. Dari perspektif Soeharto, masa hidup gerakan ini tidak ditentukan oleh kekuatannya melainkan oleh masa kegunaannya. Setelah para jenderal dibantai, maka habislah masa kegunaan G30S. Dan sejak itu pula masa hidupnya harus diakhiri. Meskipun Untung, Latief dan Soepardjo berupaya ingin mempertahankan kelanggengan G30S, tetapi umurnya hanya beberapa jam saja. Setelah itu pelakunya diburu dan dihabisi. Soeharto dengan melikuidasi G30S menimbulkan kesan bahwa ia setia kepada atasannya, Yani dan teman-teman jenderal yang dibunuh. Ia tampil sebagai pahlawan.
Soal Mengapa Dewan Jenderal diculik, bukan dihadapkan ke Presiden, ada pengakuan dari salah satu pelaku penculikan. Menurut Serma Boengkoes (Koman-dan Peleton Kompi C Batalyon Kawal Kehormatan) yang memimpin prajurit penjem-put Mayjen MT Haryono, di militer tidak ada perintah culik. Yang ada adalah tangkap atau hancurkan. Perintah yang saya terima dari Komandan Resimen Cakra Bhirawa Tawur dan Komandan Batalyon Untung adalah tangkap para jenderal itu, kata Boengkoes setelah ia bebas dari hukuman.
MT Haryono terpaksa dibunuh sebab rombongan pasukan tidak diperbolehkan masuk rumah oleh istri MT Haryono. Sang istri curiga, suaminya dipanggil Presiden kok dini hari. Karena itu pintu rumah tersebut didobrak dan MT Haryono tertembak. Tidak jelas apakah Haryono langsung tewas di tempat atau dibunuh kemudian setelah semua jenderal dikumpulkan di Pondok Gede (Lubang Buaya).
Saat dijemput oleh sejumlah pasukan di rumahnya, Letjen A Yani terkejut. Bukan karena penjemputnya pasukan berseragam loreng, tetapi karena pada hari itu ia memang dijadwalkan untuk menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka, pada pukul 08.00 WIB. Presiden sedianya akan bertanya kepada Yani soal Angkatan Kelima. Yani menolak ide Presiden tentang Angkatan Kelima sejak beberapa waktu sebelumnya. Malah sudah beredar isu bahwa Yani akan digantikan oleh wakilnya yaitu Gatot Subroto.
dijemput tentara dini hari mungkin Yani merasa pertemuan dengan Presiden Soekarno diajukan beberapa jam. Ia dibangunkan dari tidurnya oleh istrinya dan masih mengenakan piyama. Meskipun kedatangan tentara penjemputnya menimbul-kan kegaduhan di keluarga Yani yang terkejut, namun Yani menurut. Ia menyatakan kepada penjemputnya akan ganti pakaian. Tetapi ketika tentara penjemputnya menyatakan Tidak perlu ganti baju, jenderal, maka seketika Yani menempeleng tentara tersebut. Perkataan prajurit seperti itu terhadap jenderal memang sudah luar biasa tidak sopan. Lantas Yani masuk ke kamar untuk ganti pakaian. Yani diberon-dong tembakan.
Penculikan para jenderal yang lain mungkin cerita saya mirip dengan yang sudah banyak ditulis di berbagai buku, baik versi Orde Baru maupun buku yang terbit setelah Soeharto tumbang. Kurang lebih mirip seperti itu sehingga tidak perlu saya ceritakan lagi.
Penting, peristiwa berdarah di pagi buta pada tanggal 1 Oktober 1965 (G30S) itu sampai kini masih ditafsirkan secara berbeda-beda, baik di dalam maupun di luar negeri. Tetapi jelas substansi peristiwa itu tidak seperti mitos yang dibuat AD yakni percobaan kudeta yang didalangi oleh PKI. Versi AD ini sama sekali tidak benar. Peristiwa itu merupakan provokasi yang didalangi oleh jenderal-jenderal fasis AD didukung dengan baik oleh imperialisme internasional.
Peristiwa itu adalah provokasi yang dimanipulasi secara licik dan efektif serta dikelola secara maksimal oleh seorang fasis berbaju kehalusan feodal Jawa yang haus kekuasaan dan harta. Dialah Panglima Kostrad Mayjen Soeharto.
Pada sisi intern, peristiwa itu bukan hanya merupakan puncak manifestasi konflik antara pimpinan AD dan PKI, tetapi juga pertentangan antara pemimpin politik konservatif dengan aspirasi kapitalisme yang pembangunannya bergantung pada imperialisme internasional di satu fihak, melawan PKI dengan prinsip politik anti-imperialisme dengan aspirasi negara yang merdeka penuh dan demokrasi berkeadi-lan sosial di pihak lain.
Peristiwa itu adalah puncak kemunafikan para pemimpin politik konsevatif yang mengklaim sebagai paling demokrat dari sistim demokrasi parlementer. Mereka berhadapan dengan kemajuan-kemajuan pesat PKI yang dicapai secara damai dalam sistim demokrasi liberal. Dari konflik tersebut para pimpinan AD dan sekutunya lantas mencabut hak hidup PKI dengan cara mambantai anggota dan keluarganya, lantas membubarkan PKI.
Dari kacamata internasional - terutama disebarkan oleh mantan Dubes AS untuk Indonesia Howard Jones – peristiwa itu adalah spontan kekejian rakyat yakni penyembelihan rakyat yang dilakukan PKI. Sebaliknya ini adalah bagian dari intrik berdarah yang direncanakan secara seksama di Mabes Kostrad pimpinan Soeharto.
DARI  DETIK  KE  DETIK
1 Oktober 1965 Bung Karno berada di Halim. Malam harinya ia menginap di rumah istri Dewi Soekarno di Slipi (Wisma Yaso). Pagi-pagi setelah mendapat kabar mengenai penculikan para jenderal, ia berangkat bersama ajudan Parto menuju Istana negara, namun menjelang sampai Istana, jalanan diblokade oleh tentara. Menurut ajudan, pasukan tersebut tidak dikenal, karena memang tidak ada jadwal blokade jalan menuju Istana.
Waktu cepat Parto mengambil inisiatif dengan tidak meneruskan perjalanan ke Istana. Mungkin ia menangkap firasat bahaya jika Presiden ke Istana. Lantas Parto mengusulkan „Sebaiknya ke Halim saja, pak. Kalau ada apa-apa dari Halim akan dengan cepat terbang ke tempat lain", katanya. Bung Karno menurut saja. Dalam protokoler pengamanan presiden, jika pasukan pengaman merasa presiden dalam bahaya, maka tujuan utama adalah lapangan terbang. Dengan begitu presiden bisa diterbangkan ke mana saja secara cepat.
Asal-muasal presiden berada di Halim. Mungkin Parto (juga Bung Karno) tidak tahu bahwa para jenderal diculik dan dibawa ke Halim. Sesampainya ke Halim pun Bung Karno belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Baru setelah beberapa saat di Halim, beliau diberitahu oleh para pengawal. Beberapa saat kemudian ia menerima laporan dari Brigjen Soepardjo.
Pagi itu juga berada di Halim. Inilah keanehannya: para tokoh sangat penting berkumpul di Halim. Kalau Oemar Dhani berada di sana, itu masih wajar karena ia adalah pimpinan AURI. Tetapi keberadaan Aidit di sana sungguh mengherankan. Bung Karno dan Oemar Dhani berada di satu tempat, sedangkan Aidit berada di tempat lain sekitar Halim. Setelah Bung karno terbang ke Istana Bogor (prosesnya dirinci di bagian lebih lanjut), Aidit terbang ke Jawa Tengah.
Beberapa hari kemudian Aidit ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto di Brebes, Jawa Tengah. Menurut kabar resmi Aidit ditembak karena saat ditangkap ia mela-wan. Tetapi menurut laporan intelijen kami Aidit sama sekali tidak melawan. Soeharto memang memerintahkan tentara untuk menghabisi Aidit, katanya. Dengan begitu Aidit tidak dapat bicara yang sebenarnya.
Saya lebih percaya pada laporan intelijen kami, sebab istri Aidit kemudian cerita bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam hari ia kedatangan tamu beberapa orang tentara. Para tamu itu memaksa Aidit meninggalkan rumah. Suami saya diculik tentara, ujarnya. Setelah itu Aidit tidak pernah pulang lagi sampai ia ditembak mati di Brebes.
Hanya beberapa jam setelah para jenderal dibunuh sekitar pukul 11.00 WIB, 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno dari pangkalan udara Halim mengeluarkan instruksi yang disampaikan melalui radiogram ke markas Besar ABRI. Saat itu Bung Karno hanya menerima informasi bahwa beberapa jenderal baru saja diculik. Belum ada informasi mengenai nasib para jenderal, meskipun sebenarnya para jenderal sudah dibunuh.
Inti instruksi Bung Karno adalah bahwa semua pihak diminta tenang. Semua pasukan harap stand-by di posisinya masing-masing. Semua pasukan hanya boleh bergerak atas perintah saya selaku Presiden dan Panglima Tertinggi ABRI. Semua persoalan akan diselesaikan pemerintah/Presiden. Hindari pertumpahan darah.
Demikian antara lain isi instruksi Presiden.
Instruksi itu ditafsirkan Soeharto bahwa Untung dan kawan-kawan sudah kalah, karena gerakan menculik dan membunuh para jenderal tidak didukung oleh Presiden. Instruksi lantas disambut Soeharto dengan memerintahkan anak-buahnya menangkap Untung dan kawan-kawan.
Jelas ini membingungkan Untung. Ia sudah melapor ke Soeharto soal Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap Presiden Soekarno. Untung juga mengutarakan niatnya untuk mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka lebih dulu. Semua ini didukung oleh Soeharto. Bahkan Soeharto malah memberi bantuan pasukan. Setelah anggota dewan Jenderal dibunuh, Soeharto malah menyuruh Untung ditangkap.
Soal ini saya ingat cerita Untung kepada saya saat kami sama-sama dipenjara di Cimahi. Untung dengan yakin mengatakan bahwa ia tidak akan dieksekusi meskipun pengadilan sudah menjatuhkan hukuman mati. Sebab Soeharto yang mendukung saya menghantam Dewan Jenderal. Malah kami didukung pasukan Soeharto yang didatangkan dari daerah, katanya. Teman-teman sesama narapidana politik juga tahu bahwa Untung adalah anak emas Soeharto. Tapi akhirnya Untung dihukum mati dan benar-benar dieksekusi.
Bersamaan dengan keluarnya instruksi Presiden -–mungkin hanya selisih beberapa menit kemudian – Soeharto memanggil ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko yang berada di Halim agar menghadap Soeharto di Makostrad. Ini mungkin hampir bersamaan waktunya dengan perintah Soeharto agar Untung dan kawan-kawan ditangkap. Di Makostrad Bambang Widjanarko diberitahu Soeharto agar Presiden Soekarno dibawa pergi dari Pangkalan Halim sebab pasukan dari Kostrad di bawah pimpinan Sarwo Edhi Wibowo sudah disiapkan untuk menyerbu Halim.
Bambang menyampaikan pesan Soeharto itu, Bung Karno geram sekaligus bingung. Instruksi agar semua pasukan stand-by di tempat masing-masing tidak ditaati Soeharto. Sebaliknya Soeharto malah memerintahkan agar Bung karno menyingkir dari Halim. Jika Bung Karno bertahan di Halim, tentu akan sangat berisiko. Sebaliknya kalau Bung Karno meninggalkan Halim, berarti ia patuh pada perintah Soeharto.
Bung Karno lantas minta nasihat para pembantu militernya. Brigjen Soepardjo mengusulkan agar Bung Karno terbang ke Bali. Sedangkan Menteri Panglima Angkatan Udara Oemar Dhani mengusulkan agar Bung Karno pergi ke Madiun, Jawa Timur. Wakil Perdana Menteri-II Leimena mengatakan Bung Karno harus berhati-hati. Dan langkah paling hati-hati adalah jika Bung Karno berangkat ke Istana Bogor.
Dari berbagai nasihat itu Bung Karno menyimpulkan bahwa kondisi memang gawat dan ia harus meninggalkan Halim. Akhirnya Bung Karno memutuskan untuk menuju ke istana Bogor - menuruti nasihat Leimena - dengan jalan darat. Menjelang petang rombongan Bung Karno tiba di Istana Bogor.
Ternyata benar. Gempuran pasukan Kostrad ke Halim dilaksanakan menjelang fajar. Penggempuran itu saya nilai sudah tidak tertuju kepada pelaku G30S, sebab – seperti saya sebutkan terdahulu – sekitar dua-pertiga pasukan pelaksanaan G30S adalah orang-orangnya Soeharto. Jadi penggempuran itu hanya merupakan tekanan psikologis terhadap Bung Karno yang saat itu benar-benar bingung. Seumur hidupnya belum pernah Bung karno ditekan tentara seperti saat itu.
Pukul 14.00 WIB - masih pada 1 Oktober 1965 – kepada Kapten Kuntjoro (ajudan Komandan Cakra bhirawa Letkol Marokeh) Soeharto menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan Jenderal. Saat itu pembunuhan terhadap para jenderal sudah selesai. Nasution yang lolos dari target penculikan sedang diamankan di Markas Kostrad. Saya berkesimpulan Soeharto berani mengatakan bahwa dirinya adalah anggota Dewan Jenderal setelah ia yakin bahwa posisinya aman, sehingga tidak perlu lagi menutupi wajahnya. Kepada Kapten Kuntjoro Soeharto mengatakan: Dewan Jenderal memang ada. Saya termasuk anggotanya. Tapi itu dewan untuk mengurus kepangkatan, bukan untuk kudeta.
Soeharto ini menunjukkan betapa Soeharto berdiri di dua sisi. Ketika Untung menyatakan akan menghabisi Dewan Jenderal, Soeharto mendukung, bahkan membantu pasukan. Setelah Dewan Jenderal dihabisi ia menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan Jenderal. Pernyataan tersebut mengingatkan saya pada tindakan Soeharto ikut dalam kudeta 3 Juli 1946. Soeharto berdiri di dua sisi.
Hanya saja kudeta 3 Juli 1946 adalah kudeta yang gagal, sedangkan G30S adalah awal suatu kudeta merangkak yang berhasil. Dalam kudeta yang disebut terakhir ini, Soeharto memperoleh dua manfaat: ia tampil sebagai pahlawan dan akhirnya merebut kepemimpinan nasional. Dalam kudeta 3 Juli 1946 Soeharto hanya menda-pat predikat pahlawan karena menggempur komplotan penculik Perdana Menteri Sjahrir.
Namun pada hari itu (Jumat 1 Oktober 1965) kondisi negara benar-benar tidak menentu. Berbagai pihak saling memanfaatkan situasi. Pengumuman pertama tentang penculikan para jenderal melalui RRI disiarkan oleh Untung. Intinya diumum-kan bahwa kelompok Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta sudah digagal-kan. Anggota Dewan Jenderal sudah diculik dan Presiden Soekarno dalam keadaan aman. Untuk sementara pemerintahan dikendalikan oleh Dewan Revolusi. Maka diumumkan anggota Dewan Revolusi. Di sana tidak ada nama Soekarno.
Pengumuman demi pengumuman terus berkumandang di radio. Setelah Untung beberapa kali menyampaikan pengumuman, lalu disusul oleh Oemar Dhani. Masya-rakat bingung. Sekitar pukul 21.00 WIB Soeharto berpidato di radio dan mengumum-kan bahwa pagi hari itu telah terjadi penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi oleh kelompok pimpinan Untung. Tindakan tersebut adalah kudeta kontra-revolusioner melawan Presiden Soekarno. Juga diumumkan bahwa Soeharto mengambil kendali AD (Menpangad) karena Menpangad A Yani diculik.
Demi perubahan dalam sehari itu benar-benar membingungkan Bung Karno. Ia tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Ia tidak tahu siapa sedang berperang melawan siapa, karena ia tidak tahu rencana penculikan Dewan Jenderal. Bung Karno juga heran dengan pengumuman Soeharto mengambil-alih kendali AD. Padahal bebe-rapa jam sebelumnya (siang hari) Bung Karno sudah memutuskan untuk mengambil-alih fungsi dan tugas-tugas Menpangad serta menunjuk Mayjen Pranoto Rekso sebagai pelaksana sehari-hari (care-taker) Menpangad.
2 Oktober 1965 Soeharto didampingi oleh Yoga Soegama dan anggota kelompok bayangannya mendatangi Bung Karno di Istana Bogor. Soeharto bersama rombo-ngan mengenakan pakaian loreng dan bersenjata masuk Istana. Dalam kondisi biasa, hanya pasukan pengawal presiden yang boleh membawa senjata masuk ke dalam Istana. Namun barangkali karena kondisi saat itu berbeda dengan kondisi biasa, mereka diperbolehkan masuk dengan bersenjata. Kedatangan Soeharto ini tidak pernah disebut dalam buku-buku sejarah atau buku kesaksian pelaku sejarah.
Karno menerima mereka. Intinya, Soeharto menyatakan tidak setuju terhadap pengangkatan Mayjen Pranoto untuk memegang pelaksana komando AD. Selain protes, Soeharto juga meminta agar Bung Karno memberikan kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan. Juga meminta Presiden mengambil tindakan terhadap pimpinan AU yang diduga terlibat dalam G30S.
Karena persoalan cukup rumit Bung Karno menunda pembicaraan dan memanggil para panglima AU, AL, Kepolisian, Mayjen Pranoto dan Mayjen Mursid. Setelah mereka berkumpul baru diadakan rapat bersama Soeharto untuk membahas semua tuntutan Soeharto itu. Rapat berlangsung alot sekitar lima jam. Akhirnya Bung Karno memberi surat kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan (sebagai Panglima Pemulihan Keamanan).
Awal Soeharto memetik kemenangan dari rangkaian proses kudeta merangkak itu. Surat kuasa yang diterima oleh Soeharto saat itu juga merupakan surat kuasa pertama. Namun ini tidak pernah disebut dalam sejarah. Mungin kalau disebut dalam sejarah akan terasa aneh. Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI yang pegang kendali militer. Pembunuhan para jenderal baru terjadi sehari sebelumnya. Itu pun beberapa jam kemudian Presiden sudah mengeluarkan instruksi untuk ABRI. Ini menunjukkan bahwa Presiden masih memegang kendali militer. Bahkan Presiden sudah mengambil-alih tugas Menpangad karena Menpangad Yani diculik. Maka kedatangan Soeharto minta surat kuasa untuk memulihkan keamanan, apa namanya kalau bukan memotong kewenangan Presiden?
Toh akhirnya surat kuasa dikeluarkan oleh Presiden. Menurut memori Yoga, proses keluarnya surat kuasa itu sangat alot. Dalam rapat Soeharto menekan Soekarno. Tetapi kalau kita kembali mengingat bahwa sehari sbelumnya Soeharto melalui RRI sudah menyatakan mengambil-alih pimpinan AD, maka wajar bahwa surat kuasa itu dikeluarkan. Sebelum surat kuasa dikeluarkan saja Soeharto sudah berani mengambil-alih pimpinan AD.
Soeharto dan kelompok bayangannya meninggalkan Istana Bogor, Soeharto menyatakan agar Presiden tidak meninggalkan Istana Bogor demi keamanan. Sejak itu Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto.
Setelah para pembantu dekat Bung Karno sadar bahwa Bung Karno menjadi tawanan Soeharto, para pembantu jadi teringat bahwa saran menuju Istana Bogor itu datang dari Leimena. Bukankah brigjen Soepardjo menyarankan Bung Karno untuk pergi ke Bali? Menpangau Oemar Dhani menyarankan ke Madiun, Jawa Timur? Leimena menyarankan – yang paling hati-hati – ke Istana Bogor. Di kalangan orang dekat Bung Karno muncul pembicaraan, seandainya Bung Karno menuruti saran Soepardjo atau Oemar Dhani, tentu akan lain ceritanya.
Sangat yakin Leimena benar-benar tidak punya maksud tertentu, apalagi menjeru-muskan Bung Karno. Beliau adalah orang yang loyal terhadap Bung Karno. Saran-nya ke Istana Bogor memang langkah hati-hati. Selain karena jaraknya lebih dekat (dibanding Bali atau Madiun) istana bogor memang tempatnya presiden atau termasuk simbol negara. Siapa sangka Soeharto berani mendatangi Bung Karno, bahkan menawan Bung Karno di sana?
Karena pembicaraan beredar menyesalkan saran Leimena, esok harinya Leimena mendatangi Soeharto di Makostrad. Tujuannya mengingatkan Soeharto agar jangan bersikap begitu keras terhadap Presiden. Leimena berkata kepada Soeharto: jangan begitu, dong. Tetapi apa jawaban Soeharto? Pak Leimena jangan ikut campur. Pak Leimena urusi tugasnya sendiri. Saya yang kuasa sekarang. Mendengar itu Leimena mundur.
Tidak berapa lama kemudian (masih hari itu juga) ganti Waperdam-III Chaerul Saleh mendatangi Soeharto. Maksudnya juga sama dengan Leimena. Jawaban Soeharto juga sama seperti yang tadi: Saya yang kuasa sekarang. Pak Chaerul Saleh jangan ikut campur, kata Soeharto.
Hebatnya, beberapa waktu kemudian Soeharto membantah menerima surat kuasa dari Presiden. Dia menyatakan kurang lebih demikian: Dalam kehidupan militer tidak mungkin ada dua panglima (dia dan Mayjen Pranoto yang sudah ditunjuk oleh Presiden menjadi caretaker Menpangad) yang ditunjuk dalam waktu bersamaan. Maka praktis pengangkatan terhadap mayjen Pranoto sebagai caretaker Menpangad tidak berjalan sama sekali. Sebaliknya Soeharto sebagai Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban terus bertindak, sehingga pergolakan di kalangan elite politik pun tidak dapat dicegah.
Inilah awal kudeta terselubung itu. Sejak itu sebenarnya Bung Karno sudah tidak lagi memiliki power untuk memimpin negara.
Pembantaian terhadap anggota PKI dan keluarganya dimulai. PKI dituduh menjadi dalang G30S. Sejak itu Indonesia banjir darah. Yang digempur bukan hanya tokoh-tokoh PKI, tetapi semua yang berbau PKI dibantai tanpa proses hukum. Di kota, desa, dusun, di berbagai sudut negeri dilakukan pembantaian besar-besaran, suatu tindakan yang sangat mengerikan.
PKI dimulai beberapa saat setelah Presiden Soekarno mengumumkan (3 Oktober 1965) Pangkostrad Mayjen Soeharto dipercaya sebagai pelaksana Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tidak disangka jika lembaga yudisial ini kelak menjadi sangat ditakuti rakyat. Hanya dengan menyebut Kopkamtib saja orang sudah ngeri. Beberapa tahun berikutnya namanya diganti menjadi Bakorstanas, namun tetap saja nama yang menakutkan bagi masyarakat. Semua tindakan masyarakat yang tidak sesuai dengan keinginan Soeharto pasti ditumpas oleh Kopkamtib yang kemudian berubah nama menjadi Bakorstanas atau Bakorstanasda di daerah. Lembaga ini menjadi senjata Soeharto untuk menumpas orang-orang yang tidak setuju pada keinginannya. Perkembangan ini tentu di luar dugaan Bung Karno selaku pemberi kuasa.
Tanggal 16 Oktober 1965 Presiden Soekarno mengangkat Soeharto menjadi Menpangad, menggantikan A Yani. Lantas pada akhir Oktober 1965 di rumah Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Brigjen Syarif Thayeb, atas perintah Soeharto dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Inilah embrio gerakan mahasiswa yang didukung oleh tentara. KAMI lantas sering berdemo dengan didukung oleh pasukan RPKAD dan Kostrad.
Beberapa buku sejarah G30S banyak pertanyaan, mengapa Presiden Soekarno tidak mendukung G30S. Logikanya, jika Dewan Jenderal berniat melakukan kup, lantas dewan Jenderal dibunuh oleh pasukan Cakra Bhirawa dibantu pasukan Soeharto, mestinya Bung Karno langsung mendukung G30S begitu mendengar para jenderal diculik. Tapi mengapa Bung Karno malah menghentikan gerakan itu?
Jawabnya adalah karena Bung Karno tidak tahu rencana penculikan para jenderal itu. Ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa nama Bung Karno tidak tercantum dalam Dewan Revolusi yang diumumkan oleh Untung beberapa jam setelah pembunuhan para jenderal. Dewan Revolusi ini adalah buatan Untung sendiri tanpa konsultasi dengan Presiden.
Drama 1 Oktober 1965 dalam sekali pukul menghasilkan keuntungan bagi Soeharto:
1.   kenyataan adanya komplotan Dewan Jenderal, di mana Soeharto merupa-kan salah satu anggotanya, menjadi semacam fiksi belaka.
2.   mengubah fiksi menjadi nyata bahwa yang sungguh-sungguh melakukan kudeta bukanlah Dewan Jenderal, melainkan G30S pimpinan Untung (yang sebenarnya disokong oleh Soeharto).
3.   Melikuidasi kelompok Yani sebagai rival potensial Soeharto.
4.        Membuka peluang Soeharto tampil sebagai pahlawan yang akhirnya benar-benar terwujud.
NASIBAH NASUTION
Meninggal dunia menjelang buku ini naik cetak, 6 September 2000. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dengan upacara militer. Semoga arwahnya diterima di sisi Allah SWT, Amin.
Dialah perwira yang paling tinggi pangkatnya setelah Yani tiada. Saat itu dia sudah menyandang bintang empat, sedangkan Soeharto masih bintang tiga. Di saat TNI AD terpecah (secara tidak transparan) dalam kubu-kubu di tahun 1960-an, Kubu Nasution ditakuti oleh kubu Yani dan Kubu Soeharto. Banyak politikus saat itu yang mengatakan bahwa Letjen TNI AH Nasution paling pantas menggantikan Presiden Soekarno. Dia terkenal anti-PKI, memiliki dedikasi yang tinggi dan termasuk jenderal yang diculik pelaku G30S (dia lolos, tapi anaknya tewas) sehingga wajar menyan-dang gelar pahlawan.
Sangat berpengalaman di bidang militer, Nasution juga matang berpolitik. Dialah pencetus ide Dwi Fungsi ABRI melalui jalan tengah tentara. Ia berpengalaman melakukan manuver-manuver politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan militer, agar tentara bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga negara secara efektif di pusat dan daerah.
Tidak banyak diketahui orang adalah bahwa dari sekian perwira senior yang paling ditakuti Presiden Soekarno saat itu adalah Nasution. Presiden Soekarno menjuluki Nasution sebagai pencetus gaga-san Negara dalam Negara. Itu berarti ia berani menentang kebijakan Bung Karno (lihat Bab II). Di saat Yani masih ada pun, spekulasi yang berkembang adalah bahwa jika Bung Karno meninggal atau sudah tidak lagi mampu memimpin Indonesia, maka pengganti yang paling cocok adalah: Yani atau Nasution. Kans mereka menjadi presiden sama besarnya.
Tetapi Nasution dilipat oleh Soeharto. Ia – seperti halnya Yani – tidak mewaspadai isu  Dewan Jenderal. Dia benar-benar tidak awas soal berbagai kemungkinan yang bakal terjadi akibat isu tersebut. Dia benar-benar tidak tahu – bahkan tidak menduga – bahwa Soeharto yang pangkatnya lebih rendah berhasil menggosok Letkol Untung untuk menghantam Dewan Jenderal. Akibatnya nyaris merenggut nyawa Nasution, tapi meleset sehingga Ade Irma Suryani Nasution gugur sebagai Bunga Bangsa.
Pertanyaannya adalah: mengapa Soeharto dalam mengambil tindakan-tindakan penting AD tidak melibatkan Nasution? Jawabnya: Soeharto memang menggunakan Nasution sebagai umpan untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis, baik militer maupun sipil yang berada di bawah pengaruh Nasution. Pada sisi lain Nasution digunakan oleh Soeharto menjadi momok bagi Bung Karno sebab ia tahu Nasution adalah orang yang paling berani menentang gagasan Bung Karno.
Mengatakan Soeharto mengambil tindakan-tindakan penting tanpa melibatkan Nasution, tentu ada contohnya. Salah satunya - berdasarkan informasi akurat yang saya terima - adalah sebagai berikut: Setelah lolos dari penculikan, sekitar pukul 09.00 WIB Nasution bertemu dengan Soeharto. Pada waktu hampir bersamaan pagi itu – 1 Oktober 1965 – Soeharto memerintahkan para petinggi AD berkumpul dan rapat di Makostrad. Tetapi Soeharto minta bantuan Kodam Jaya untuk menyem-bunyikan Nasution. Tujuannya seolah-olah untuk mengamankan Nasution yang mungkin saja masih dikejar oleh pelaku G30S, sehingga rapat di Makostrad itu tidak dihadiri oleh Nasution.
Memori Yoga, dalam rapat langsung ditegaskan oleh Soeharto bahwa penculikan para jenderal yang baru saja terjadi itu didalangi oleh PKI. Soeharto juga berhasil mengajak Komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo agar menyatukan pasukannya di bawah pasukan Kostrad untuk menggempur pelaku G30S dan PKI. Dibahas pula instruksi Presiden ke Mabes ABRI agar semua pasukan tidak bergerak selain diperintah oleh Presiden (baca Dari Detik ke Detik).
Akhirnya sepakat menolak perintah Presiden. Alasannya: Nasib para jenderal yang diculik belum diketahui dengan pasti. Operasi pengejaran terhadap para penculik sudah disiapkan di Makostrad. Bila Menpangad tiada (Menpangad A Yani diculik) maka yang menggantikan adalah Pangkostrad. Artinya Soeharto menunjuk dirinya sendiri. (Pada bagian terdahulu disebutkan: Malamnya Soeharto mengumumkan di RRI bahwa ia mengambil-alih kendali AD). Maka rapat memutuskan bahwa instruksi Presiden tidak perlu dipatuhi. Selain itu secara otomatis disepakati bahwa keputusan Presiden mengambil-alih kendali militer dan menunjuk Mayjen Pranoto sebagai pelaksana sehari-hari (caretaker) Menpangad tidak perlu dipatuhi.
Rapat memutuskan banyak hal penting, Soeharto lantas memerintahkan anak-buahnya untuk mengambil Nasution keluar dari persembunyiannya dan membawa-nya ke Makostrad. Nasution tiba di Makostrad dalam kondisi masih stres berat (karena baru saja lolos dari pembunuhan) dan langsung dimasukkan ke dalam ruang rapat. Peserta rapat masih berkumpul lengkap, tetapi sore itu rapat sudah hampir selesai. Keputusan-keputusan sudah diambil beberapa jam sebelumnya. Nasution hanya diberitahu bahwa rapat sudah berlangsung sejak pagi dan sudah hampir selesai.
Dengan cara seperti itu Soeharto sudah menang setengah hari dari Nasution. Dalam kondisi biasa setengah hari mungkin tidak ada artinya, tetapi pada kasus itu menjadi sangat penting. Rapat itu menentukan kondisi negara Indonesia pasca G30S. Nasution ternyata tidak marah bahwa dirinya tidak dilibatkan dalam rapat. Karena, pertama, dengan dimasukkan ke Makostrad berarti dia harus menghormati Pangkos-trad Soeharto. Dari cara Nasution disembunyikan Soeharto, lantas Nasution dibawa ke Makostrad, bisa jadi membuat ia merasa seolah-olah menjadi tawanan Soeharto. Apalagi ia masih stres berat setelah lolos dari rentetan tembakan. Kedua, rapat toh sudah hampir selesai dan ia tidak tahu apa isinya.
Peristiwa itu tampak kecerdikan Soeharto memasukkan Nasution dalam ruang rapat. Dengan begitu seolah-olah Nasution ikut menyetujui keputusan-keputusan yang diambil dalam rapat. Selain itu, tindakan itu juga menimbulkan kesan umum bahwa Nasution pun dibawa ke Makostrad dan diamankan oleh Soeharto. Itu bisa menim-bulkan kesan: Soeharto berada di atas Nasution. Juga menguatkan asumsi bahwa G30S didalangi PKI karena Nasution dikenal anti-komunis. Ini sekaligus untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis – baik dari militer maupun sipil – ke pihak Soeharto. Yang paling vital, kehadiran Nasution di Makostrad saat itu dijadikan momok oleh Soeharto untuk menakut-nakuti Presiden Soekarno.
Satu kalimat Nasution yang ditujukan kepada Soeharto sesaat sebelum rapat selesai. Bunyinya demikian: Sebaiknya Mayjen Soeharto secepatnya memulihkan keamanan agar masyarakat tenang. Pernyataan ini terlontar secara spontan saja. Ia menginginkan agar secepatnya diambil tindakan untuk menenangkan masyarakat (atau mungkin untuk menenangkan diri Nasution sendiri). Tetapi bagi Soeharto kalimat itu ibarat Pucuk dicinta, ulam tiba. Soeharto memang sedang menunggu orang yang bisa memberi dia kuasa. Saran Nasution itu merupakan kuasa yang bisa dia kembangkan kepada Presiden Soekarno. Tidak perlu menunggu lama, esoknya dia bersama Yoga dan kelompok bayangannya beragkat ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Soekarno. Di sana Soeharto memaksa Bung Karno minta kuasa. Akhirnya Soeharto benar-benar mendapatkannya: Pangkopkamtib
BAB IIIA:   KUASA  BERPINDAH
PERAN  MAHASISWA
Masa di mana Indonesia lowong kepemimpinan: sejak awal Oktober 1965 sampai Maret 1966 atau selama sekitar enam bulan. Bung Karno masih sebagai presiden, tetapi sudah tidak punya kuasa lagi. Beliau dilarang meninggalkan Istana Bogor atau lebih tepat menjadi tawanan Soeharto. Sepanjang masa itu juga tidak ada keputusan penting yang dikeluarkan oleh pemerintah. Soeharto lebih banyak menentukan kebijakan negara, namun secara formal dia adalah Menpangad.
Karno pada tenggang waktu itu belum benar-benar sampai pada ajal politik. Beliau masih punya pengaruh, baik di Angkatan Bersenjata maupun di kalangan Parpol-Parpol besar dan kecil. Para pimpinan Parpol umumnya mendukung Angkatan Darat untuk membasmi PKI, namun mereka juga mendukung Bung Karno yang berupaya memulihkan wibawa, walaupun Bung Karno akrab dengan PKI.
Tampak ada dualisme sikap para pimpinan Parpol. Di satu sisi anti-PKI, di sisi lain mendukung Bung Karno. Sedangkan di kalangan Angkatan Bersenjata umumnya juga menentang PKI, namun sebagian mendukung Bung Karno. Sebagaimana umumnya menghadapi masa transisi, sebagian perwira merasa khawatir tentang posisi mereka. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi jika Soeharto menjadi pemimpin kelak.
Di sisi lain, proses kudeta merangkak belum berakhir. Manuver Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada empat tahap:
1.   menyingkirkan saingan beratnya sesama perwira tertinggi.
2.   Menghabisi PKI, partai besar yang akrab dengan Bung Karno
3.   Melumpuhkan para menteri pembantu presiden
4.   Melumpuhkan Bung Karno.
Mengapa harus empat tahap? Jawabnya adalah bahwa sebelum G30S Soeharto bukan perwira yang diperhitungkan. Karena selain pangkatnya masih Mayjen, ia juga pernah memiliki cacat saat menyelundupkan barang di Jateng sehingga untuk mencapai pimpinan puncak ia harus melewati proses panjang. Sampai di sini sudah dua tahap tercapai: para jenderal saingannya sudah dihabisi dan PKI sudah digempur. Kendati demikian, Bung Karno masih juga punya pengaruh. Selain itu para menteri juga masih ada walaupun sudah tidak berfungsi.
Mengimbangi – lebih tepat melumpuhkan – sisa-sisa kekuatan Bung Karno, Soeharto mengerahkan mahasiswa. Seperti disebut di bagian terdahulu, pada akhir Oktober 1965 di rumah Brigjen Sjarif Thajeb, atas perintah Soeharto dibentuk KAMI. Nah, sejak itu demo mahasiswa didukung oleh tentara terus bergerak mengkritik Presiden Soekarno. Saat itulah muncul slogan Tritura (tri atau tiga tuntutan rakyat):
1.   bubarkan PKI
2.   bersihkan anggota kabinet dari unsur-unsur PKI
3.   urunkan harga kebutuhan pokok.
Bung Karno - yang masih menjabat sebagai presiden -lantas membubarkan KAMI. Tetapi setelah KAMI bubar muncul kelompok sejenis berganti nama menjadi KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia). Tujuannya tetap sama: berdemo mengkritik Presiden Soekarno. Dan karena demo itu didukung oleh tentara tentu saja para pemuda dan mahasiswa berani. Ini yang kemudian disebut kelompok pemuda Angkatan '66, kelompok yang diprakarsai oleh Soeharto.
Sementara itu harga kebutuhan pokok rakyat memang melambung tinggi. Saya tahu persis melonjaknya harga itu terjadi karena rekayasa Soeharto. Tepatnya Soeharto dibantu oleh dua pengusaha Cina: Liem Sioe Liong (dulu bekerjasama menye-lundupkan barang) dan Bob Hasan (juga teman Soeharto sewaktu di Jawa Tengah).
Itu dilakukan di tenggang waktu antara Oktober 1965 sampai Maret 1966. Akibat selanjutnya: inflasi melambung sampai 600%, defisit anggaran belanja negara semakin parah sampai 300%. Rakyat tercekik. Untuk membeli beras, gula dan minyak orang harus antri. Inilah operasi intelijen yang sukses melumpuhkan ekonomi negara.
Tentang hubungan bisnis Soeharto dengan Liem Sioe Liong dan Bob Hasan di Jateng yang paling tahu adalah Mayjen Pranoto. Saat Soeharto sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Pranoto adalah kepala stafnya. Pranoto sudah sangat jengkel pada Soeharto perihal bisnis memanfaatkan jabatan yang dilakukan Soeharto, dibantu Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.
Mungkin ulah Soeharto dan Liem menyelundupkan barang dulu dibongkar oleh Pranoto sehingga akhirnya diketahui Menpangad Yani, sampai-sampai Yani menempeleng Soeharto. Jadi tindakan Soeharto menjegal Pranoto yang diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi caretaker Menpangad (1 Oktober 1965) bukan semata-mata perebutan jabatan (dengan cara kotor) tetapi juga ada faktor dendam pribadinya.
Gerakan mahasiswa menuntut pemerintah semakin gencar. Tritura terus diteriakkan hampir setiap hari. Soeharto merekayasa agar harga kebutuhan pokok melambung. Dia pula yang mengerahkan mahasiswa berdemo menuntut penurunan harga. Sedangkan rakyat jelas mendukung gerakan mahasiswa karena tuntutan mereka sejalan dengan keinginan rakyatpun yang menjadi presiden saat itu pasti tidak dapat berbuat banyak. Apalagi Presiden Soekarno dilarang meninggalkan Istana Bogor. Di sini semakin jelas kelicikan Soeharto. Cara Soeharto menjatuhkan Soekarno benar-benar efektif walaupun di mata rakyat saat itu tidak kelihatan.
Menilai hanya sebagian mahasiswa yang berdemo dengan motivasi tercekik oleh harga bahan kebutuhan pokok sebab mereka bukan orang awam, mereka bukan anak kecil. Sebagian dari mereka pasti tahu bahwa harga kebutuhan pokok melejit akibat rekayasa Soeharto. Mereka adalah kaum intelektuil yang mengikuti perkembangan negara mereka. Tetapi gerakan mereka didukung oleh tentara dan rakyat – dua kekuatan utama bangsa ini – sehingga sebagian yang sadar akan kondisi yang sebenarnya tidak berani menentang arus. Semua pasti mencari selamat bagi diri sendiri. Mereka terpaksa terbawa arus, ikut menentang pemerintah.
Pada tanggal 10 Januari 1966 ribuanmahasiswa berkumpul di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Salemba. Mereka meneriakkan Tritura. Komandan RPKAD (kelak diganti menjadi Kopas-sus) Sarwo Edhi berpidato di tengah ribuan mahasiswa untuk mengobarkan semangat mahasiswa berdemo. Usai Sarwo Edhi berpidato ribuan mahasiswa bergerak turun ke jalan menuju kantor P&K untuk menyampaikan tuntutan tersebut. Di P&K mereka bertemu dengan Wakil Perdana Menteri-III Chaerul Saleh. Mahasiswa menyampaikan tuntutan mereka kepada Chaerul Saleh. Tuntutan ditang-gapi Chaerul sambil lalu.
Mahasiswa melanjutkan demo turun ke jalan. Pendapat umum yang dibentuk melalui surat kabar menyebutkan bahwa tuntutan mahasiswa itu murni. Ini jelas menyesat-kan masyarakat. Bahan kebutuhan pokok sengaja dimusnahkan oleh Soeharto. Di sisi lain, mahasiswa bergerak didukung oleh tentara yang dipimpin Soeharto. Jadi mana bisa tuntutan mereka dikatakan murni? Satu-satunya tuntutan mahasiswa yang murni – menurut saya – adalah: bubarkan PKI.
Sebagai gambaran: kelak setelah Soeharto berkuasa dan kepentingan politiknya sudah tercapai, ia memberangus mahasiswa. Caranya dengan memerintahkan menteri P&K mengeluarkan peraturan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Itu terjadi di pertengahan 1970-an. Intinya: mahasiswa dilarang berdemo. Saya di dalam penjara mengikuti berita itu dan mengamati bahwa ternyata Soeharto ngeri dengan bekas salah satu senjatanya, mahasiswa. Akhirnya ia juga jatuh tersungkur antara lain akibat tekanan ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR pertengahan Mei 1998.
Tidak pernah menyesal pada sikap pemuda dan mahasiswa Angkatan-66. Kondisi dan situasi negara saat itu memungkinkan mereka bersikap begitu. Generasi muda di mana pun di dunia ini cenderung berpihak pada pembaharuan. Karakteristik ini dimanfaatkan dengan baik oleh orang yang haus kuasa. Apalagi secara de facto pemimpin Indonesia sejak 1 Oktober 1965 adalah Soeharto, walau secara de jure ia adalah Menpangad.
Karno memang masih sebagai Presiden RI dan pemerintah masih berdiri, tetapi kondisi negara tak terkendali, baik oleh penggempuran besar-besaran tentara terhadap rakyat untuk membersihkan PKI maupun oleh kondisi perekonomian yang rusak berat. Orang tidak perlu susah-susah mencari tahu apakah ini hasil rekayasa atau murni ketidak-mampuan pemerintah, sehingga rakyat secara jelas menyaksikan drama kejatuhan Bung Karno dari tampuk kekuasaannya.
Gerakan mahasiswa ternyata ditanggapi Bung Karno. Pada 15 Januari 1966 dalam Sidang Kabinet Presiden Soekarno berpidato menjawab Tritura yang dikobarkan oleh mahasiswa. Menurut Presiden Soekarno Tritura adalah hasil rekayasa TNI AD. Dengarkan cuplikan pidato Soekarno yang sebagian sempat saya catat. Bunyinya demikian: Saya tidak akan mundur sejengkalpun. Saya tetap Pemimpin Besar Revolusi. Maka saya tidak dapat bicara lain. Ayo….Siapa yang membutuhkan Soekarno, setuju dengan Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi, maka satukan seluruh kekuatanmu. Pertahankan Soekarno. Berdirilah di belakang Soekarno. Tunggu komando …
Inilah pernyataan Bung Karno di depan publik yang paling keras. Dengan pidato Bung Karno yang berapi-api, semua pihak menjadi cemas. Bung Karno masih punya pendukung, termasuk dari Angkatan Bersenjata. Para menterinya masih lengkap. Jabatannya masih Presiden RI. Maka semua pihak khawatir Indonesia bakal me-masuki pergolakan sangat hebat dalam waktu dekat dan bakal terjadi pertumpahan darah yang jauh lebih besar dari G30S.
Setelah itu - pada malam hari berikutnya – saya selaku Wakil Perdana Menteri-I membentuk Barisan Soekarno. Anggotanya semua menteri. Tujuannya tentu untuk membela Presiden. Front Nasional yang sudah ada sebelumnya harus masuk ke Barisan Soekarno.
Tanggal 20 Januari 1966 para menteri berkumpul di Istana. Mereka menyatakan sepakat menjadi bagian paling depan dari pendukung Soekarno. Itu merupakan bagian dari upaya pendukung Soekarno untuk come back, walaupun secara formal Soekarno masih Presiden-RI, pun secara formal pendukung terdepan masih Menteri Negara.
Bung Karno tidak melakukan follow-up, tidak ada tindak-lanjut dari pidatonya yang keras itu. Tidak ada perintah apa pun meski ia tahu pendukungnya sudah siap membela. Para pendukungnya pun tidak bergerak sebab dalam pidatonya Bung Karno antara lain menyerukan: tunggu komando…Seruan ini ditaati para pendukung-nya. Dan komando ternyata tidak juga kunjung datang. Seandainya komando benar-benar diserukan, saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya Indonesia.
SUPER SEMAR
Sebuah sumber saya mengatakan bahwa pada tanggal 10 Maret 1966 Soeharto mengadakan pertemuan di rumahnya di Jalan H Agus Salim. Pertemuan dihadiri oleh Pangdam Jaya Mayjen Amir Machmud, Pangdam Jatim Mayjen Basuki Rahmat dan Mayjen M Yusuf. Inti pembicaraan: Soeharto selaku Menpangad minta duku-ngan untuk mendapatkan suatu mandat penuh dari Presiden RI Soekarno. Tujuan-nya adalah agar dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi negara, di samping untuk menciptakan suasana aman dan politik yang stabil. Tiga jenderal yang menghadap akhirnya sepakat dengan ide Menpangad.
Soeharto menyampaikan pidato penting. Pidatonya berapi-api mengkritik kondisi negara yang tidak menentu, sedangkan para menteri tidak dapat menyelesaikan persoalan bangsa. Merka hanya bicara di sidang-sidang, tidak melakukan tindakan kongkrit. Ia menyerukan: para mahasiswa dari Jakarta, Bandung dan Bogor untuk boleh saja berdemo di saat Sidang Kabinet yang akan diselenggarakan esok harinya (11 Maret 1966) di Istana Merdeka.
Akibatnya luar biasa: Pagi-pagi sekali sebelum sidang dibuka ribuan mahasiswa datang berbondong-bondong menuju Istana. Mereka mendesak masuk ke halaman Istana. Pasukan Kawal Presiden Cakra Bhirawa berupaya menahan mereka di pagar Istana. Petugas sampai terpaksa meletuskan tembakan peringatan ke udara.
Keadaan ternyata tidak mudah dikendalikan oleh Pasukan Kawal Presiden. Soeharto tidak hanya menggerakkan mahasiswa, namun juga memberi dukungan kepada mereka dengan mengerahkan tentara (belakangan saya ketahui tiga kompi RPKAD didukung oleh pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris). Tujuan mereka antara lain menangkap saya. Soeharto juga sudah setuju.
Mengenakan seragam loreng, bersenjata lengkap namun tanpa tanda pengenal. Mereka bersama mahasiswa menyebar di jalanan yang akan dilewati oleh mobil menteri peserta sidang. Begitu melihat mobil menteri mereka langsung mencegat. Ban mobil digembosi. Istana pun dikepung sedemikian rupa. Pasukan tanpa tanda pengenal itu herhadap-hadapan dengan Pasukan Cakra Bhirawa dalam jarak dekat.
Berkesimpulan bahwa Soeharto mengharapkan dengan begitu Soekarno akan menyerah tanpa syarat. Keadaan benar-benar gawat, sebab bisa timbul korban yang sangat besar. Saya menilai Soeharto adalah pembunuh berdarah dingin, dia tega membunuh siapa saja demi terwujud ambisi politiknya. Coba bayangkan kalau Pasukan Cakra Bhirawa saat itu bertindak keras menghalau mahasiswa, tentu bakal terjadi pertumpahan darah yang luar biasa. Sebab mahasiswa akan bertahan mati-matian karena merasa mendapat angin dan didukung oleh tentara. Juga bisa terjadi perang kota antara pasukan Cakra Bhirawa melawan pasukan tanpa identitas.
Hebatnya, dalam Sidang Kabinet itu Soeharto tidak datang dengan alasan sakit batuk. Informasi sakitnya Soeharto ini disampaikan oleh Amir Machmud beberapa waktu kemudian. Menurut pengakuan Amir Machmud - seusai mengikuti Sidang Kabinet – ia bersama Basuki Rachmat dan M Yusuf mendatangi rumah Soeharto. Soeharto sakit tenggorokan sehingga tidak dapat bicara keras. Saat kami datang ke rumahnya dia masih mengenakan piyama dengan leher dibalut, kata Amir Machmud. Tetapi seorang intelijen saya melaporkan bahwa pada sore harinya Soeharto memimpin rapat di Makostrad. Di sini semakin jelas bahwa Soeharto adalah pembohong besar.
Jika seandainya dalam Sidang Kabinet Soeharto ikut (sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat seharusnya dia ikut) maka ada 3 risiko yang bakal dihadapi oleh Soeharto:
1.        dalam keadaan Istana dikepung oleh mahasiswa dan tentara tentu dalam sidang Bung Karno akan bertanya kepada Soeharto: Harto, engkau yang telah kuangkat menjadi Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, ayo bergerak. Bereskan pengacau-pengacau itu. Maka perintah Presiden itu bakal ibarat buah simalakama bagi Soeharto: dimakan ibu mati, tak dimakan bapak tewas.
2.        Jika Soeharto melaksanakan perintah, maka namanya bakal merosot di mata para demonstran yang ia gerakkan sendiri. Ini berarti peluang bagus bagi Nasution untuk tampil sebagai presiden.
3.        Jika Soeharto menolak perintah di depan Sidang Kabinet, maka bisa berakibat fatal bagi Soeharto. Tentu Bung Karno bisa segera memerintah-kan Pasukan Cakra Bhirawa untuk menangkap Soeharto seketika itu juga.
Akhirnya cara terbaik bagi Soeharto untuk menghindari semua kemungkinan buruk itu adalah nyakit (pura-pura sakit). Bukankah ini membuktikan bahwa Soeharto licin dan pembunuh berdarah dingin? Ia tidak peduli bahwa tindakannya mengerahkan ribuan mahasiswa dan tentara bisa menimbulkan konflik besar yang menghasilkan banjir darah bangsanya sendiri.
Sidang Kabinet 11 maret 1966 dibuka oleh Presiden Soekarno. Di beberapa buku juga disebutkan bahwa setelah Presiden Soekarno membuka sidang, beberapa saat kemudian pengawal presiden, Brigjen Sabur, menyodorkan secarik kertas ke meja presiden. Isinya singkat: Di luar banyak pasukan tak dikenal. Beberapa saat kemudian Presiden keluar meninggalkan ruang sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena. Saya lantas menyusul keluar. Banyak ditulis saat keluar sepatu saya copot karena terburu-buru.
Benar. Dulu saat sidang kabinet biasanya para menteri mencopot sepatu - mungkin karena kegerahan duduk lama bersepatu - tetapi sepatu yang dicopot itu tidak kelihatan oleh peserta sidang karena tertutup meja. Saya juga biasa melakukan hal itu. Nah, saat kondisi genting sehingga Presiden meninggalkan ruang sidang secara mendadak, saya keluar terburu-buru sehingga tidak sempat lagi memakai sepatu.
Begitu keluar dari ruang sidang – ini yang tidak ada di dalam buku-buku sejarah – saya sempat bingung, akan ke mana? Saya mendapat informasi, pasukan tak dikenal itu sebenarnya mengincar keselamatan saya. Padahal begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung Karno yang keluar ruangan lebih dulu. Dalam keadaan bingung saya lihat sebuah sepeda, entah milik siapa. Maka tanpa banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh mobil saya – dan mobil semua menteri – sudah digembosi oleh para demonstran.
Kondisi hiruk-pikuk di sekitar Istana saya keluar naik sepeda. Ternyata tidak ada yang tahu bahwa saya adalah Soebandrio yang sedang diincar tentara. Padahal saya naik sepeda melewati ribuan mahasiswa dan tentara yang meneriakkan yel-yel Tritura dan segala macam kecaman terhadap Bung Karno. Memang, saat menggenjot sepeda saya selalu menunduk, tetapi kalau ada yang teliti pasti saya ketahuan.
Sepeda saya terus meluncur ke selatan. Tujuan saya pulang. Sampai di Bundaran Air Mancur (perempatan Bank Indonesia) saya melihat begitu banyak mahasiswa dan tentara. Mereka tidak hanya berada di sekitar Istana tetapi juga menyemut di Jalan Thamrin. Sampai di sini perasaan saya jadi tidak enak. Memang sejauh ini saya sudah lolos. Tetapi bisakah melewati ribuan mahasiswa yang menyemut itu? Maka seketika itu juga saya memutuskan untuk kembali, berbalik arah. Saya kembali ke Istana. Hebatnya, saya sampai di Istana lagi tanpa diketahui oleh para demonstran.
Di dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa begitu keluar dari ruang sidang, saya langsung memburu Bung Karno naik helikopter.
Yang sebenarnya terjadi seperti saya sebutkan ini: Begitu tiba kembali di Istana, saya lihat ada helikopter. Saya tidak ahu apakah sejak tadi heli itu sudah ada atau baru datang. Atau mungkin karena saya panik, saya tadi tidak melihat heli yang ada di sana sejak tadi. Namun yang melegakan adalah bahwa beberapa saat kemudian saya melihat Bung Karno didampingi oleh para ajudan berjalan menuju heli.
Karena itu sepeda saya geletakkan dan saya berlari menuju heli. Mungkin saat itulah – ketika berlari menuju heli tanpa sepatu – saya dilihat banyak orang sehingga ditulis di koran-koran: Dr. Soebandrio berlari menyusul Bung Karno menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya bisa masuk ke dalam heli dan terbang bersama Bung Karno menuju Istana Bogor.
Sebenarnya begitu meninggalkan ruang sidang Bung Karno tidak langsung menuju heli, tetapi ada tenggang waktu cukup lama. Saya sudah menggenjot sepeda dari Istana ke Bundaran Air Mancur dan kembali lagi. Mungkin setelah meninggalkan ruang sidang Bung Karno masih mengadakan pertemuan dengan para ajudan dan penasihat militer untuk membahas situasi, sehingga hal itu menguntungkan saya. Seandainya tidak bertemu Bung Karno, entah bagaimana nasib saya.
Setelah peristiwa itu saya merenung. Untungnya saat itu saya dan Leimena lolos dari target penangkapan mereka. Seandainya saya tertangkap atau dihabisi, maka bakal terjadi bentrokan hebat. Bung Karno dan pasukannya yang masih setia tidak akan tinggal diam. Akibatnya bisa banjir darah. Kalau itu terjadi pasti Soeharto akan berbalik mengkhianati teman-temannya yang semula dia tugaskan untuk mengerah-kan pasukan mengepung Istana. Percobaan kudeta 3 Juli 1946 yang gagal menjadi dasarnya. Juga bantuan pasukan Soeharto kepada Letkol Untung untuk membantai para jenderal menjadi buktinya.
Petang Istana Bogor didatangi oleh tiga jenderal (Basuki Rachmat, Amir Machmud dan M Yusuf). Ketika itu tiga Waperdam (saya, Leimena dan Chaerul Saleh) sudah di sana. Leimena dan Chaerul menyusul kami ke Istana Bogor melalui jalan darat. Kami bertiga sempat istirahat di paviliun. Ketika tiga jenderal datang Bung Karno meine-rima mereka di gedung utama. Mereka berbicara cukup lama. Para Waperdam hanya siaga di paviliun. Beberapa jam kemudian saya, Chaerul dan Leimena dipanggil oleh Bung Karno masuk ke ruang pertemuan. Di sana ada tiga jenderal itu. Namun saat kami masuk sudah ada kesepakatan antara mereka dan Bung Karno.
Saya masuk ruang pertemuan. Bung Karno sedang membaca surat. Basuki Rachmat, Amir Machmud dan M Yusuf duduk di depannya. Lantas saya disodori surat yang dibaca oleh Bung Karno, sedangkan Chaerul Saleh duduk di sebelah saya. Isi persisnya saya sudah lupa tetapi intinya ada empat hal. Presiden Soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk:
1.        mengamankan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Untuk itu harus dijalin kerjasama dengan unsur-unsur kekuatan lainnya.
2.   Penerima mandat wajib melaporkan kepada Presiden atas semua tindakan yang akan dilaksanakan
3.   Penerima mandat wajib mengamankan Presiden serta seluruh keluarganya
4.   mandat wajib melestarikan ajaran Bung Karno.
Soal urutannya mungkin terbalik-balik namun intinya berisi seperti itu.
Bagaimana Ban, kau setuju? Tanya Bung Karno. Beberapa saat saya diam. Saya pikir, Bung Karno sebenarnya hanya mengharapkan saya menyatakan setuju, padahal dalam hati saya tidak setuju. Bukankah Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI dan seharusnya kendali keamanan negara berada di tangan Presiden? Saya merasa Bung Karno sudah ditekan. Terbukti ada kalimat Mengamankan pribadi Presiden dan keluarganya, artinya keselamatan Presiden terancam oleh pihak yang menekan agar surat tersebut dikeluarkan. Tetapi kalimat unik ini tidak ada dalam sejarah versi Orde Baru. Bahkan lebih hebat lagi, naskah Supersemar yang mem-buat Soeharto ditunjuk sebagai pengemban Supersemar (menjadi presiden tanpa melalui proses pemilu dan dipilih MPR) kini sudah tiada. Tidak jelas keberadaan surat yang begitu penting.
„Ban, setuju?" Tanya Bung Karno lagi.
„Ya", bagaimana, bisa berbuat apa saya? Bung Karno sudah berunding tanpa kami jawab saya. Lantas dipotong oleh Bung Karno: „Tapi kau setuju?"
„Kalau bisa, perintah lisan saja",  kata saya memberanikan diri. Saya lirik, tiga jenderal itu melotot ke arah saya tetapi saya tidak takut. Mereka pasti geram men-dengar kalimat saya yang terakhir itu. Tetapi saya tahu mereka tidak bisa berbuat banyak. Suasana saat itu terasa tegang.
Lantas Amir Machmud menyela: "Bapak Presiden tanda tangan saja. Bismillah saja, pak"..
Bung Karno rupanya sudah ditekan tiga jenderal itu saat berunding tadi. Raut wajahnya terlihat ragu-ragu, tetapi seperti mengharapkan dukungan kami agar setuju.
Akhirnya saya setuju. Chaerul dan Leimena juga menyatakan setuju. Bung Karno lantas teken (tanda tangan). Tiga jenderal langsung berangkat kembali ke Jakarta menemui Soeharto yang mengutus mereka. Bahkan mereka menolak ketika ditawari Bung Karno untuk makan malam bersama. Maaf, pak. Karena hari sudah malam, ujar salah seorang dari mereka. Dengan wajah berseri mereka membawa surat bersejarah yang kemudian dinamakan Supersemar.
Esoknya, 12 Maret 1966, Soeharto langsung mengumumkan pembubaran PKI. Uniknya, pembubaran PKI itu menggunakan surat keputusan Presiden nomor 113 tahun 1966. Saat diumumkan juga dibacakan ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Enam hari kemudian 15 menteri yang masih aktif ditangkapi. Tentu saja Soeharto tidak melapor lebih dahulu kepada Presiden. Untuk pembubaran PKI, surat malah baru sampai ke tangan Soeharto tengah malam dan esok siangnya ia langsung mengambil kebijakan itu. Untuk penangkapan 15 menteri, alasannya adalah agar para menteri itu jangan sampai menjadi korban sasaran kemarahan rakyat yang tidak terkendali. Tetapi ia juga menyampaikan alasan yang kontradiktif yakni: para menteri hanyalah pembantu presiden, bukan bentuk kolektif pemerinta-han. Jadi bisa saja ditangkap. Yang jelas, begitu ditangkap para menteri langsung ditahan. Tuduhannya gampang: terlibat G30S/PKI – tuduhan yang sangat ditakuti seluruh rakyat Indonesia sepanjang Soeharto berkuasa. Mengkritik kebijaksanaan pemerintahan Soeharto bisa dituduh PKI.
Surat Perintah 11 Maret 1966 sudah diselewengkan. Soeharto menafsirkannya sebagai: Bung Karno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto, bukan perintah memulihkan keamanan Ibukota. Sebagai orang yang tahu persis kondisi saat itu, saya sangat yakin tujuan Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi 15 menteri adalah rangkaian strategi untuk meraih puncak kekuasaan. Seperti disebut di muka, strategi Soeharto ada empat tahap:
- habisi para jenderal saingan
- hancurkan PKI
- copoti para menteri
- jatuhkan Bung Karno.
Kini yang dicapai Soeharto sudah tiga tahap. Tinggal tahap terakhir.
Bung Karno pun bereaksi. Tidak benar jika Bung Karno diam saja. Beliau meme-rintahkan Leimena menemui Soeharto menanyakan hal itu: Bagaimana ini? Surat perintah hanya untuk mengamankan Jakarta, bukan untuk pembubaran PKI. Kok malah main tangkap, kata Leimena kepada Soeharto.
Tetapi Soeharto tidak menggubris. Seperti terjadi pada tanggal 3 Oktober 1965 - saat Leimena protes pada Soeharto karena Bung Karno ditawan di Istana Bogor - Soeharto menyatakan: Pak Leimena jangan ikut campur. Sekarang saya yang kuasa.
Kembali ke Istana Bogor melaporkan reaksi Soeharto. Dan Bung Karno terdiam, tetapi dari wajahnya kelihatan jelas bahwa beliau sedang marah. Dari laporan Leimena kami tahu bahwa saat itu situasi Jakarta sangat tegang: tank dan kendaraan lapis baja bersiaga di setiap ujung jalan, tentara ada di mana-mana. Mereka dikenali sebagai pasukan Kostrad dan Brigade Para 3 Yon Siliwangi. Kali ini untuk menakut-nakuti anggota PKI yang jumlahnya masih sangat besar saat itu. Mungkin pula ditujukan untuk memberikan tekanan psikologis terhadap Bung Karno yang sudah kehilangan kuasa agar tidak menghalang-halangi pembubaran PKI atau mungkin juga ditujukan untuk kedua-duanya.
15 menteri yang ditangkapi adalah:
1.   (Waperdam-I merangkap Menlu, merangkap Kepala BPI)
2.   Waperdam-II Chaerul Saleh
3.   Menteri Tenaga Listrik S. Reksoprojo
4.   Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Sumardjo
5.   Menteri Keuangan Oei Tjoe Tat
6.   Menteri Bank Sentral dan Gubernur BI Yusuf Muda Dalam
7.   Menteri Pertambangan Armunanto
8.   Menteri Irigasi dan Pembangunan Desa Ir. Surahman
9.   Menteri Perburuhan Sutomo Martoprojo
10.  Menteri Kehakiman Andjarwinata
11.     Menteri Penerangan Asmuadi
12.  Menteri Urusan Keamanan Letkol Imam Syafi'i
13.  Menteri Sekretaris Front Nasional Ir. Tualaka
14.  Menteri Transmigrasi dan Koperasi Ahmadi
15.     Menteri Dalam Negeri merangkap Gubernur Jakarta Raya: Sumarno Sastrowidjojo
Meskipun sudah menangkap 15 menteri yang masih aktif menjalankan tugas, namun Soeharto tanpa rasa malu sedikit pun menyatakan bahwa kekuasaannya diperoleh secara konstitusional. Padahal ketika menangkap kami (para menteri) perintah Soeharto kepada tentara yang melaksanakan berbunyi demikian: Tangkap dulu mereka, alasannya cari kemudian.
Itulah filsafat Soeharto dalam logika kekerasannya. Persis seperti dilakukan Soeharto pada tragedi 1 Oktober 1965. Beberapa jam setelah para jenderal dibunuh, kelompok bayangan Soeharto langsung mengumumkan: G30S didalangi PKI. Lantas Soeharto memerintahkan: Basmi dulu partai itu (PKI), bukti-bukti cari kemudian. Apakah ini konstitusional seperti yang sangat sering dikatakan Soeharto ketika dia memerintah?
MELENGGANG KE ISTANA
Kini sudah tinggal setengah tahap lagi dari bagian tahap terakhir: jatuhkan Bung Karno. Setelah Supersemar – ketika Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi para menteri setia – Bung Karno sebenarnya sudah setengah jatuh. Beliau sudah tidak berdaya dan para menterinya yang masih aktif ditangkapi. Maka ajal politik tinggal tunggu waktu.
PKI resmi dibubarkan, tiga tokoh pimpinan PKI – yaitu DN Aidit, Njoto dan Lukman – ditangkap hidup-hidup. Presiden Soekarno yang sudah kehilangan powernya menolak memerintahkan mengadili mereka (entah mengapa). Persoalan ini lantas diambil-alih oleh Soeharto. Para pimpinan PKI itu diadili dengan cara tersendiri. Soeharto memerintahkan tentara menembak mati ketiganya. Dan ketiganya memang didor tanpa melalui proses hukum yang berlaku.
Perlakuan Soeharto seperti itu sangat wajar jika saya katakan bahwa Soeharto tidak ingin kedoknya (memanipulir G30S) terbongkar di pengadilan jika tiga pimpinan PKI itu diadili. Sedangkan saya yang mengalami semua kejadian ini jelas yakin bahwa Soeharto terlibat G30S.
Supersemar, Soeharto membongkar-pasang keanggotaan DPRGR yang merupakan bagian dari MPRS. Caranya dengan merampas kursi yang semula diduduki oleh anggota PKI dan menggantinya dengan orang-orang Soeharto sendiri. Kemudian Soeharto menyuruh MPRS (yang sebagian besar sudah diisi orang-orangnya) bersidang. Inti sidang adalah mengukuhkan Supersemar secara konstitusional.
Dengan itu pembantaian besar-besaran terhadap anggota PKI sudah dilegalkan. Keluarga anggota PKI, teman-teman mereka, bahkan ada juga rakyat yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan PKI ikut terbunuh. Darah orang PKI, keluarga dan teman mereka halal bila ditumpahkan. Inilah pembantaian terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Tidak ada yang tahu persis berapa jumlah rakyat yang terbunuh. Ada yang mengatakan 800.000, ada yang mengatakan 1.000.000. Yang paling tinggi adalah pernyataan Sarwo Edhi Wibowo yang katanya mencapai 3.000.000 manusia.
Dalam sidang MPRS Juni 1966 Soeharto menetapkan RI kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Juga memerintahkan mencabut Ketetapan MPRS tahun 1963 yang mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Juga menyatakan pemberian gelar Pemimpin Besar Revolusi terhadap Bung Karno tidak memiliki kekuatan hukum. Asal diketahui, pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup bukan datang dari Bung Karno. Juga bukan dari pendukung setia Bung Karno (PKI). Pengangkatan itu atas usulan perwira AD sendiri, yakni Brigjen Suhardiman.
Pada awal Juli 1966 Soeharto menyetujui Nasution menjadi ketua MPRS. Beberapa hari kemudian – 5 Juli 1966 – MPRS mengeluarkan ketetapan: Soeharto selaku Pengemban Supersemar diberi wewenang membentuk kabinet. Maka dibentuklah Kabinet Ampera menggantikan Kabinet Dwikora. Kabinet baru ini tidak lagi berada di bawah kekuasaan Presiden Soekarno, namun sudah di bawah Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet. Sejak itu secara formal berakhirlah pemerintahan Presiden Soekarno.
Nasution yang baru terpilih menjadi ketua MPRS segera menyanyikan lagu gubahan Kelompok Bayangan Soeharto. Tap MPRS yang lahir sebelum Nasution tampil, yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pertanggung-jawaban kepada MPRS tentang sebab-sebab G30S kemudian dinyatakan ditutup begitu saja. Pada Desember 1966 Panglima AU Oemar Dhani ditangkap, menyusul kemudian para perwira pendukung Bung Karno lainnya. Mereka semua dihukum bertahun-tahun tanpa kesalahan yang jelas.
Proses selanjutnya: praktis Soeharto memimpin Indonesia. Perlahan namun pasti Soeharto melenggang menuju kantor di Istana Negara. Soekarno (yang katanya akan dikudeta oleh PKI) secara politis sama sekali sudah tidak berdaya. Melalui UU nr. 10 tahun 1966, DPRGR dan MPRS meminta pertanggung-jawaban Presiden atas peristiwa berdarah G30S. Menanggapi itu Bung Karno menolak, sebab menurut Bung Karno, berdasarkan UUD 1945 yang harus dipertanggung-jawabkan mandata-ris MPRS hanya persoalan yang ada dalam GBHN. Sedangkan peristiwa G30S ada di luar GBHN yang berarti Presiden tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban.
Sejak itu Bung Karno (secara formal) dilarang mengeluarkan ketetapan-ketetapan atau peraturan. Secara non-formal Bung Karno sudah ditahan di Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965. AD yang diprakarsai oleh Soeharto dan didukung oleh Nasution menyokong keputusan Soeharto untuk kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Saat itu pula Soeharto memerintahkan Ketua MPRS untuk meninjau kembali semua ketetapan MPRS yang dibuat antara tahun 1960 hingga 1963.
Sidang Kabinet pada bulan Juni 1966 Bung Karno masih boleh hadir dalam kapasitas tetap sebagai Presiden RI. Namun dalam sidang itu Bung Karno diharuskan oleh Soeharto agar bicara yang intinya mengutuk G30S dan harus mengakui bahwa Bung Karno terlibat di dalamnya. Juga harus membenarkan pembantaian massal PKI dan antek-anteknya. Di luar dugaan, ternyata Bung Karno sudah menyiapkan pidato yang diberi judul Nawaksara. Inti pidato tersebut sama sekali menyimpang dari yang diperintahkan oleh Soeharto. Pidato Bung Karno itu intinya juga tidak mengandung penyesalan akibat proses pengambil-alihan kekuasaan. Tetapi pidato ini ditentang oleh para opsir dan para ulama.
Tanggal 17 maret 1967 MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa. Intinya: dikeluarkan Tap MPRS yang menurunkan Presiden Soekarno dan secara resmi menyerahkan kepemimpinan nasional kepada Soeharto sebagai Pejabat Presiden sampai terpilih presiden oleh MPRS hasil pemilu yang akan datang. Dengan begitu Soeharto sudah benar-benar menggantikan Soekarno. Saat itulah Soeharto menegaskan bahwa tentara memiliki peran sosial politik yang tidak terbatas (kelak hal ini diterjemahkan menjadi Dwifungsi ABRI) DALAM NEGARA. Saat itu pula ditetapkan bahwa Pancasila sebagai azas tunggal negara. Soeharto saat itu mulai menyusun kekuatan agar kekuasaan berada di satu tangan: tangan dia sendiri.
Sebaliknya, terhadap Presiden Soekarno, MPRS mengeluarkan keputusan sebagai berikut:
-     Presiden Soekarno dinilai tidak dapat memenuhi tanggung-jawab konstitusio-nalnya
-     Presiden Soekarno dinilai tidak dapat menjalankan Haluan Negara. Karena itu MPRS memutuskan melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sejak saat itu sampai dengan Pemilu yang akan datang
-     Juga menarik mandat MPRS terhadap presiden yang diatur dalam UUD 1945 dan mengangkat pengemban MPRS nr. 9 sebagai Pejabat Sementara (Pjs) Presiden Soeharto hingga terpilihnya presiden hasil Pemilu.
-     Pjs Presiden tunduk dan bertanggung-jawab terhadap MPRS.
-     Persoalan hukum yang menyangkut Presiden Soekarno ditentukan sesuai hukum yang berlaku dan pelaksanaannya diserahkan kepada Pjs Presiden.
Secara garis besar tindakan Soeharto sejak sebelum G30S sampai pembubaran kabinet bentukan Bung Karno disebut pegamat asing sebagai creeping coup (kudeta merangkak). Proses kudetanya tidak langsung menghantam dan musuhnya jatuh, melainkan kudeta yang dilakukan secara mengendap-endap. Kata mereka itu kudeta khas Indonesia. Coba saja, setelah kekuasaan beralih Bung Karno masih berstatus sebagai Presiden RI.
Saat itu – bahkan sampai sekarang – saya melihat proses peralihan kekuasaan tersebut sangat unik. Selain unik, juga sangat membahayakan Soeharto sendiri seandainya perkembangan situasi mengalami pembalikan. Tetapi rupanya Soeharto sudah memperhitungkan semua dengan sangat matang. Terbukti, sama sekali tidak ada bahaya. Malah, setelah itu Soeharto memperkukuh kekuasaannya dengan memreteli semua keputusan MPRS yang dirasa memberi kewibawaan kepada Bung Karno.
Kudeta merangkak bukan pilihan Soeharto. Jika prosesnya bergerak secara merang-kak, itu karena terpaksa. Soeharto tidak bisa begitu saja tampil ke puncak pimpinan nasional. Ia harus melewati para jenderal senior dan berhadapan dengan Bung Karno yang saat itu begitu kuat.
AKHIR  HAYAT  UNTUNG
Ditangkap saya langsung ditahan. Saya diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa dengan tuduhan subversi dan dijatuhi hukuman mati. Jalur hukum di atas vonis pengadilan – seperti naik banding dan kasasi – sengaja ditutup sehingga mau tidak mau saya harus menerima vonis hukuman mati itu. Jelas saya sangat terpukul pada saat itu. Dari posisi orang nomor dua di Republik ini, saya mendadak sontak diadili sebagai penjahat dan dihukum mati.
Menjalani hukuman awal di Penjara Cimahi Bandung. Di sana berkumpul orang-orang yang senasib dengan saya (dituduh sebagai penjahat yang terlibat G30S). Di antaranya adalah Letkol Untung yang memang komandan G30S. Selama beberapa bulan kami berkumpul di penjara walaupun berbeda ruangan. Saya dan Untung sudah sama-sama divonis hukuman mati. Baik saya maupun Untung tidak diberi hak untuk menempuh jalur hukum yang lebih tinggi yakni naik banding, apalagi kasasi.
Suatu hari di akhir 1966 Untung dijemput dari selnya oleh beberapa sipir. Diberitahu-kan bahwa Untung akan dieksekusi. Itulah saat-saat terakhir Untung menjalani hidupnya. Saya dan Untung yang sudah akrab selama berada dalam satu penjara benar-benar terhanyut dalam suasana haru. Saya bukan hanya terharu tetapi juga bingung, sedih, bahkan panik. Sebab Ahmad Durmawel (oditur militer yang mengadili saya) saat itu memberitahukan bahwa saya akan mendapat giliran (dieksekusi) empat hari kemudian. Saya ingat saat itu hari Selasa. Berarti saya akan dieksekusi pada hari Sabtu.
Untung dijemput untuk dibawa keluar penjara, saya sempat menemui Untung. Saat itu ia sudah ditanya tentang permintaan terakhir, seperti lazimnya orang yang akan dieksekusi. Mungkin karena Untung sedang panik, ia tidak minta apa-apa. Untung juga sudah tahu bahwa saya akan dieksekusi hari Sabtu. Maka pertemuan saya dan Untung benar-benar luar biasa. Kami memang hanya berhadap-hadapan dengan pakaian seragam narapidana, namun hati kami tidak karuan. Untung segera akan ditembak, sedangkan saya empat hari lagi.
itu ada kalimat perpisahan Untung yang saya ingat hingga sekarang. Bahkan saya ingat suasana hening saat Untung menyampaikan kata perpisahannya pada saya. Para sipir dan tentara berwajah angker yang selalu siaga menjaga Untung, mengawasi kami dari jarak agak jauh. Mereka seperti maklum dan memberi kesem-patan terakhir bagi Untung untuk berpesan kepada saya.
Untung mengatakan demikian: Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih. Empat hari lagi kita ketemu lagi di sana katanya sambil menunjuk ke atas. Untung mengucapkan kata perpisahan dengan suara bergetar. Matanya kelihatan berkaca-kaca. Tentara yang gagah berani itu tidak menangis, tetapi saya tahu ia dalam kondisi sangat panik. Ia benar-benar tidak menyangka bakal dikhianati oleh Soeharto.
Jika menengok hari-hari sebelumnya, Untung begitu sering mengatakan kepada saya bahwa tidak mungkin Soeharto akan mengkhianati dia. Sebab dia adalah sahabat Soeharto dan ia mengatakan bahwa Soeharto mengetahui rencana G30S, bahkan memberi bantuan pasukan. Karena itu dia sangat yakin bahwa dia tidak akan dikhianati oleh Soeharto. Tetapi toh kenyataannya berakhir demikian. Menanggapi perkataan Untung, saya tidak bisa bicara apa-apa. Saya hanya mengangguk-angguk. Para sipir dan tentara yang menjaga kami menyaksikan semua adegan singkat tapi mengharukan ini.
Menjelang senja, Untung dengan pengawalan ekstra ketat berjalan menuju pintu gerbang untuk meninggalkan Penjara Cimahi. Saya mengamati keberangkatan Untung dari penjara. Ia berjalan tegap. Mungkin ia segera bisa menguasai perasaan-nya yang begitu gundah. Tetapi mungkin pula ia sudah pasrah kepada takdir Allah bahwa memang sampai di situlah perjalanan hidupnya. Saya kemudian mendengar bahwa Untung dieksekusi di sebuah desa di luar kota Bandung. Saya sudah tidak sempat sedih lagi memikirkan nasib Untung, hidup saya sendiri akan berakhir sebentar lagi. Bila mengingat hari-hari itu, saya membayangkan Untung kecele (salah duga) dengan kata perpisahannya kepada saya sesaat sebelum meninggal-kan penjara karena ternyata dia tidak menjumpai saya di alam sana.
Terus terang, setelah Untung dieksekusi, saya benar-benar gelisah. Manusia mana yang tidak takut jika hari kematiannya sudah ditentukan. Tetapi – inilah keajaiban – Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris Elizabeth, di luar sepengetahuan saya, mengirimkan surat kawat kepada Soeharto. Saya mengetahui ini dari seorang sumber beberapa hari kemudian. Isi surat dua petinggi negara adidaya itu – ini juga ajaib – hampir sama.
Intinya berbunyi demikian: Soebandrio jangan ditembak. Saya tahu, dalam G30S dia tidak terlibat. Soal, apakah ini merupakan intervensi asing atau bukan, bagi saya tidak perlu dipikirkan lagi. Sejak dulu pun Indonesia selalu diintervensi oleh negara lain. Yang penting bagi saya, mereka sudah membantu saya dalam kondisi sangat panik. Dan ternyata kawat singkat itu ampuh luar biasa. Akhirnya saya tidak jadi ditembak mati.
Tentang mengapa dua orang pimpinan negara Barat membantu saya, sungguh tidak saya ketahui. Yang tahu persis hanya mereka berdua. Saya tidak pernah meminta bantuan mereka. Logikanya, tidak ada waktu bagi saya untuk minta bantuan kepada orang lain, apalagi pimpinan negara lain. Hitung saja, saya diberitahu tentang hari eksekusi saya sekitar lima hari sebelumnya. Selama menunggu, saya hanya panik dan panik.
Lagipula, bagaimana caranya saya minta bantuan kepada mereka? Saya berada di dalam penjara dan dalam pengawasan ekstra ketat, terutama pada hari-hari menje-lang eksekusi. Namun jangan lupa, saya dulu adalah Menteri Luar Negeri. Saya akrab dengan mereka berdua. Ketika perundingan tentang pembebasan Irian Barat, saya banyak melobi pejabat di dua negara itu. Juga dalam tugas-tugas yang lain.
Tetapi bagaimana pun saya juga tetap tidak tahu bagaimana mereka begitu yakin bahwa saya tidak terlibat G30S sampai-sampai mereka dengan keputusan yang luar biasa berani mengirimkan kawat ke Jakarta. Akibat kawat itu pula hukuman saya diubah dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.
KARIR  SAYA
Jika ada yang bertanya: lantas mengapa PKI dituduh sebagai dalang G30S? Maka saya akan balik bertanya: siapa yang menuduh begitu? Jika PKI mendalangi G30S atas inisiatif Aidit, maka Indonesia bakal menjadi lautan darah. Bukan hanya banjir darah seperti yang sudah terjadi. Betapa ngeri membayangkan PKI dengan 3 juta anggota didukung 17 juta anggota organisasi onderbouwnya berperang melawan tentara yang hanya ratusan ribu. Bila genderang perang benar-benar ditabuh, alang-kah hebat pertempuran yang terjadi.
Namun seperti kita saksikan, PKI tidak melakukan perlawanan berarti pada saat dibantai. Itu karena tidak ada instruksi melawan. Aidit malah lari dan lantas ditembak mati. Bung Karno - yang juga bisa menjadi panutan PKI – tidak memerintahkan apa-apa.
Lantas saya dituduh PKI. Tuduhan atau stigma terlibat PKI bukan hanya saya terima sendirian. Banyak tokoh yang tidak disukai oleh Soeharto dituduh PKI. Ini bertujuan politis, agar kekuasaan Soeharto langgeng. Bagi saya tuduhan itu lebih keji lagi. Saya tidak hanya dituduh PKI, tapi juga dilontarkan julukan yang menyakitkan hati. Saya dijuluki Durno.
Target penghancuran diri saya oleh kelompok Soeharto sebenarnya hanya sasaran antara. Tujuan utamanya adalah menjatuhkan Bung Karno. Seperti sudah saya sebut, skenario Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada 4 tahap:
1.   menyingkirkan para perwira yang menjadi saingan beratnya, seperti A Yani dan Nasution (ini terwujud di G30S)
2.   PKI, partai besar yang saat itu akrab dengan Bung Karno (ini terlaksana setelah PKI dituduh mendalangi G30S).
3.   memisahkan Bung Karno dari para pengikutnya (ini tercapai saat menangkapi 15 menteri - termasuk saya – sekitar sepekan setelah keluar surat perintah 11 Maret 1966).
4.   Setelah 3 tahap itu tercapai, Bung Karno dengan mudah dijatuhkan dengan cara seolah-olah konstitusionil melalui ketetapan MPRS.
Nah, saya termasuk sasaran antara tahap ke-3. Saya bersama 14 menteri ditangkap tanpa alasan jelas. Mula-mula saya ditangkap dengan cara sopan oleh tentara: Maaf, pak, kami diperintahkan agar mengamankan Bapak dari kemungkinan amukan rakyat, kata tentara yang menangkap saya. Lantas, kami 15 menteri dikumpulkan di suatu ruangan sekitar Senayan.
Beberapa hari kemudian baru kami menyadari bahwa kami bukan diamankan tapi ditangkap. Para tentara itu mulai bertindak kasar. Akhirnya kami dipenjarakan. Untuk menghancurkan nama baik kami, Soeharto menuduh kami teribat PKI. Bahkan menambahi saya dengan julukan Durno. Kami dihinakan dan tersiksa lahir dan batin di penjara demi tujuan Soeharto meraih kekuasaan.
Saya memang pernah aktif dalam organisasi politik tapi di PSI (Partai Sosialis Indonesia). Kalau di PKI, saya sama sekalibukan anggota atau simpatisan, walaupun pada saat saya masih di puncak kekuasaan dengan merangkap tiga jabatan sangat penting, orang-orang PKI banyak mendekati saya. PKI juga mendekati Bung Karno. Malah, anggota dan pimpinan PKI ada yang menjadi anggota kabinet, bahkan anggota ABRI.
BAB IIIB: BIO-DATA & KUASA  BERPINDAH
Agar lebih jelas, saya paparkan sekilas biografi saya. Saya lahir di Kepanjen (selatan Malang), Jatim, 15 September 1914. Ayah saya, Kusadi, adalah Wedono Kepanjen. Ibu saya, Sapirah, adalah ibu rumah tangga biasa. Saya adalah anak kedua dari enam bersaudara.
Saya dibesarkan dalam keluarga Islam yang taat. Untuk ukuran posisi ayah di desa kecil Kepanjen saat itu, keluarga kami cukup terhormat. Masa kanak-kanak saya habiskan di Kepanjen. Saya sekolah di SR (Sekolah Rakyat setingkat SD) di sana.
Lulus SR, saya masuk MULO (setingkat SMP) di Malang. Sebab, saat itu di Kepanjen belum ada sekolah MULO. Lulus MULO saya lanjutkan ke AMS tahun 1928. Saya masuk sekolah terlalu dini, sehingga pada usia 14 tahun saya sudah tamat AMS.
Tamat AMS, saya memilih melanjutkan ke sekolah kedokteran di Jakarta. Tempat-nya di Jalan Salemba yang kemudian berubah menjadi Universitas Indonesia. Saat itu saya memang ingin menjadi dokter – sebuah keinginan yang bisa dibilang muluk untuk ukuran rakyat Indonesia saat itu. Anak-anak rakyat biasa saat itu paling tinggi hanya sekolah SR. Saya bisa ke sekolah lanjutan, sebab ayah saya merupakan petinggi, walaupun hanya petinggi desa.
Tetapi, dari lima saudara saya, hanya saya yang paling menonjol di sekolah, sehingga bisa melanjutkan sampai ke sekolah kedokteran. Semasa sekolah kedokte-ran, saya banyak kenal dengan para pemuda pejuang, termasuk Bung Karno. Saya sering ikut diskusi-diskusi mereka. Dari sana saya juga dikenal para pemuda pejuang itu. Saya sendiri menjadi tertarik bergaul dengan mereka.
Saya menyelesaikan sekolah dokter sesuai jadwal, yakni tujuh tahun. Tercapailah keinginan saya menjadi dokter. Lantas saya mengambil brevet dengan spesialisasi bedah perut. Saya selesaikan ini dalam tiga tahun, juga sesuai jadwal. Maka, pada tahun 1938 saya sudah mengantongi gelar dokter ahli bedah. Ketika itu jumlah dokter umum masih sangat jarang, apalagi dokter spesialis. Kalau tidak salah, dokter ahli bedah hanya ada lima orang. Tiga dari Jakarta, termasuk saya, dua dari Surabaya (Universitas Airlangga).
Sebelum lulus, tahun 1936 saya menikah dengan Hurustiati, seorang mahasiswi tapi beda fakultas dengan saya. Ketika saya sudah lulus, ia masih kuliah. Usia kami hanya berbeda beberapa tahun. Saya sedikit lebih tua.
Begitu lulus, saya langsung ditarik pemeritah kolonial menjadi dokter di Semarang (sekarang RS Dr. Karjadi). Hanya beberapa bulan kemudian saya dipindahkan ke Jakarta (sekarang RS Dr. Cipto Mangunkusumo). Ahli bedah di sana saat itu hanya dua orang, termasuk saya. Untuk menyalurkan hobi berdiskusi saat mahasiswa, saya masuk PSI. Hanya dalam waktu beberapa bulan saja, pada 1940 saya sudah menjadi wakil ketua PSI.
Akhirnya saya mundur dari rumah sakit. Saya juga tidak praktek pribadi. Sepanjang hidup saya juga tidak pernah praktek dokter pribadi. Karir saya di kedokteran selesai sampai di situ, sebab saya jenuh dengan pekerjaan yang menurut saya monoton. Saya lebih tertarik berorganisasi. Sampai akhirnya proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Bung Karno.
Sekitar tahun 1946 saya ditunjuk oleh Presiden Soekarno menjadi wakil pemerintah Indonesia di Inggris, berkedudukan di London. Penunjukan itu tiba-tiba saja. Tidak melalui proses, misalnya, menjadi pegawai negeri dulu. Mungkin karena saat itu jumlah manusia tidak sebanyak sekarang. Dan, penunjukan Presiden Soekarno langsung saya terima. Istri saya juga setuju.
Ini sebenarnya jabatan duta besar, tetapi kemerdekaan Indonesia belum diakui PBB. Sehingga saya tidak dipanggil duta besar, baik di Indonesia maupun di Inggris. Bung Karno hanya menyebut jabatan saya: Wakil Pemerintah Indonesia di Inggris.
Sebelum berangkat ke London, saya was-was. Tetapi setelah di Inggris, keberadaan saya ternyata diterima oleh Pemerintah Inggris. Memang tidak ada penyambutan saat saya datang. Saya juga tidak membayangkan akan disambut. Lantas saya membuka kantor di London. Inilah embrio Kedutaan Besar RI untuk Inggris. Dan, itulah awal saya meniti karir di pemerintahan. Jika banyak orang menempati jabatan Dubes sebagai pos buangan, saya malah memulai karir dari pos itu.
Tahun 1950 baru saya disebut Duta Besar RI untuk Inggris berkedudukan di London. Bagi saya sebenarnya tidak ada perubahan. Hanya sebutannya saja yang berubah. Namun, kemudian reaksi pemerintah Inggris terhadap keberadaan saya di sana secara bertahap berubah ke arah positif. Saya sering diundang ke acara-acara kerajaan, sebagaimana diperlakukan terhadap para duta besar dari negara-negara merdeka lainnya.
Dari seringnya menghadiri undangan acara kerajaan itu saya sering berdekatan dengan Ratu Elizabeth. Saat itu tidak terbayangkan oleh saya bahwa berdekatan dengan Ratu Elizabeth kelak bisa menyelamatkan nyawa saya dari eksekusi hukuman mati yang tinggal menunggu hari (soal ini sudah diungkap di muka). Saya hanya menjalankan tugas negara. Dan, dalam menjalankan tugas, antara lain, harus menghadiri acara-acara seremonial tersebut.
Pada tahun 1954 Presiden Soekarno menarik saya dari London, dan memindahkan saya ke Moskow. Resminya jabatan baru saya adalah Duta Besar RI untuk Uni Soviet di Moskow. Dua tahun di sana, lantas saya diperintahkan pulang ke Jakarta. Tiba di tanah air saya ditunjuk oleh Presiden menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Luar negeri, menggantikan Roeslan Abdoelgani. Sedangkan Roeslan menjadi Menlu menggantikan Ali Sastroamidjojo. Yang unik adalah bahwa Ali turun jabatan menjadi Dubes RI untuk AS di Washington.
Setahun kemudian saya dipanggil oleh Bung Karno. Setelah menghadap, Bung Karno berkata demikian: Bandrio, kamu saya tunjuk menjadi Perdana Menteri. Saya kaget. Itu merupakan suatu loncatan jabatan yang luar biasa – dari Sekjen Deplu menjadi Perdana Menteri. Menanggapi ini saya mengatakan, minta waktu berpikir.
Sesungguhnya saya menolak tawaran itu. Saya merasa tidak enak dengan para senior saya. Memang, saya merasa Bung Karno menaruh simpati pada saya. Tolok ukurnya adalah bahwa Bung Karno sering menugaskan saya membuat naskah pidatonya. Bahkan, pada suatu hari Bung Karno berpidato di Markas PBB. Sebelum tampil Bung Karno meminta saya membuatkan naskah pidato, padahal saya di Jakarta. Namun, tugas itu tetap saya laksanakan. Walaupun saya jarang bertatap muka dengan Bung Karno, terasa sekali dia bersimpati pada saya. Tapi, saya merasa belum mampu menjadi Perdana Menteri. Apalagi saya belum lama pulang ke tanah air, sehingga saya kurang memahami perkembangan situasi terakhir.
Menolak tawaran Bung Karno juga tidak enak. Lantas jalan keluarnya adalah bahwa saya bicara dengan Ketua PNI Suwito. Saya minta tolong Suwito menghadap Bung Karno, untuk menyampaikan keberatan saya. Sambil menyampaikan ini ia mengusulkan nama Djuanda. Ternyata Bung Karno setuju. Jadilah Djuanda Perdana Menteri. Untuk menjalankan tugasnya dia dibantu oleh presidium yang disebut Wakil Perdana Menteri (Waperdam). Ada dua Waperdam, yakni Waperdam-I Idham Khalid dan Waperdam-II Hardi. Selanjutnya saya menjadi Menlu menggantikan Roeslan.
Setelah Djuanda meninggal dunia, tiga menteri dipanggil oleh Bung Karno – saya sendiri, Menteri Pangan Leimena, dan Menteri Pemuda Chaerul Saleh. Tujuannya adalah untuk mencari pengganti Djuanda dari tiga menteri ini. Proses pemilihannya unik sekali, sehingga tidak saya lupakan.
Bung Karno memberi kami masing-masing tiga batang korek api. Semula kami bingung. Bung Karno menyatakan bahwa ini pemilihan yang adil dan demokratis. Masing-masing diberi sebatang korek utuh, setengah batang tanpa pentolan (karena sudah dipatahkan oleh Bung Karno), dan setengah batang dengan pentolan (juga sudah dipatahkan sebelumnya). Bung Karno meletakkan sebuah kantong di meja.
Cara permainannya, batang korek utuh merupakan simbol saya, setengah batang tanpa pentolan menjadi simbol Leimena, dan setengah batang dengan pentolan mewakili Chaerul. Bung Karno minta, masing-masing memilih satu saja untuk dimasukkan ke dalam kantong. Saat memasukkan korek ke kantong, tangan harus menggenggam supaya tidak diketahui yang lain. Pemilihan pun dimulai.
Saya memasukkan setengah batang korek tanpa pentolan. Artinya, saya memilih Leimena. Lantas disusul Leimena dan Chaerul. Meskipun bentuknya sangat seder-hana, tetapi inilah pemilihan Perdana Menteri Indonesia. Suasana hening. Bung Karno memandang masing-masing menteri yang memasukkan korek ke sebuah kantong. Sampai semuanya menggunakan hak pilihnya.
Apa yang terjadi berikutnya? Bung Karno menumpahkan isi kantong itu secara blak-blakan. Yang tampak: sebatang korek utuh, setengah batang tanpa pentolan, dan setengah batang dengan pentolan. Lengkap. Bung Karno geleng-geleng kepala. Hasil suara seimbang untuk tiga kandidat. Pemilihan macet. Kami saling meman-dang satu sama lain. Lantas kami saling terbuka. Saya pilih Leimena, sebaliknya Leimena pilih saya, Chaerul pilih dirinya sendiri.
Leimena kemudian bicara. Sebaiknya Soebandrio menjadi Perdana Menteri. Alasannya, Indonesia butuh perhatian penuh di bidang luar negeri. Terutama menyangkut Irian Barat yang statusnya belum jelas. Untuk itu perlu diplomasi internasional. Orang yang tepat adalah Soebandrio, ujarnya. Bung Karno ternyata setuju dan memanggil ajudannya Brigjen Sabur untuk menuliskan keputusan di kertas kop kenegaraan.
Sebelum terlaksana, saya minta bicara. Saya katakan, tidak perlu merombak kabinet. Sebaiknya Bung Karno selain Presiden juga Perdana Menteri didampingi oleh para Waperdam. Nah, Waperdamnya adalah kami bertiga. Bung Karno juga setuju. Lalu Leimena main tunjuk, saya Waperdam-I, Leimena Waperdam-II, Chaerul Waperdam-III. Hebatnya, tanpa banyak bicara lagi semuanya sepakat.
Tidak lama kemudian saya dibebani satu tugas lagi sebagai Kepala BPI. Maka, saya merangkap tiga jabatan. Semakin jelas bahwa Presiden mempercayai saya. Walaupun cukup berat, namun saya laksanakan tugas-tugas yang diberikan. Saya masih sempat melaksanakan ibadah haji.
Sebagai imbalan, selain digaji, saya juga diberi rumah cukup di Jalan Imam Bonjol 16, Menteng, Jakarta Pusat. Untuk ukuran saat itu rumah tersebut sudah cukup mewah. Di rumah itu pula saya memiliki perpustakaan. Kelak perpustakaan saya ini dihancurkan oleh penguasa Orde baru.
Tahun 1958 anak saya yang pertama lahir, dan kami beri nama Budojo. Ternyata hanya itu anak saya, sebab dia tidak punya adik lagi.
Saat saya menjadi pejabat tinggi negara, ada yang unik. Saya menjadi tukang khitan beberapa anak pejabat. Ceritanya, para pejabat itu tahu bahwa saya adalah dokter ahli bedah. Saat itu sudah banyak dokter ahli bedah. Tapi, entah mengapa mereka minta tolong saya untuk mengkhitankan anak mereka. Ada beberapa anak pejabat yang sudah saya khitan. Saya hanya menolong mereka dengan ikhlas.
Sejak mengundurkan diri dari RS, saya tidak pernah praktek dokter pribadi. Beberapa teman menyayangkan bahwa saya tidak buka praktek. Sebab, saat itu jumlah dokter masih sedikit. Tetapi, karena sudah menjadi niat saya untuk terjun ke dalam kancah politik, saya tinggalkan bidang pekerjaan yang sebenarnya sesuai dengan bidang pendidikan saya itu. Ya, saya harus memilih, dan saya sudah menentukan. Jadinya, saya hanya menjadi tukang khitan anak pejabat.
Sepanjang saya menjadi pejabat tinggi negara, memang ada beberapa tokoh PKI yang akrab dengan saya. Sebagai pejabat tentu saya akrab dengan pimpinan PKI, DN Aidit. Juga dengan beberapa tokoh PKI lainnya. Tetapi, saya tidak masuk ke dalam keanggotaan partai itu. Saya juga tidak aktif di PSI, sejak menjadi pejabat negara. PKI saat itu adalah partai besar. Mereka tentu memiliki ambisi politik tertentu, sehingga mereka tidak hanya mendekati saya, tetapi juga pejabat tinggi negara lainnya, termasuk Bung Karno. Bahkan, beberapa tokoh PKI masuk ke dalam jajaran kabinet. Banyak juga di ABRI. Sebab, PKI saat itu memang partai besar dan legal. Jadi, wajar kalau tokohnya duduk di kabinet dan ABRI.
Sebagai gambaran, salah satu partai besar saat ini (tidak perlu saya menyebut namanya) menempatkan tokohnya di jajaran kabinet. Bahkan, ada yang masuk ke jajaran ABRI. Bukankah itu hal yang wajar? Dan, kalau para pimpinan partai itu mendekati pimpinan puncak, presiden dan orang-orang terdekatnya, juga wajar. Kondisinya berubah menjadi tidak wajar setelah partai tersebut dinyatakan sebagai partai terlarang. Itulah PKI.
Saat G30S meletus - seperti sudah saya sebutkan di muka - saya sedang bertugas di Medan. Kami keliling daerah untuk memantapkan program-program pemerintah. Begitu saya diberitahu oleh Presiden Soekarno, saya langsung pulang, dan tiba di istana Bogor bergabung dengan Presiden Soekarno pada 3 Oktober 1965. Setelah itu kondisi negara tidak menentu. Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto di Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965.
Sejak itu pula kelompok Bayangan Soeharto menyebarkan propaganda bahwa G30S didalangi oleh PKI. Ketua PKI, DN Aidit, ditembak mati di Jawa Tengah. Namun muncul pengakuan tertulis Aidit – yang sangat mungkin merupakan rekayasa – bahwa ia yang mendalangi G30S. beberapa tokoh PKI lainnya juga ditembak mati, tanpa proses pengadilan. Semua ini adalah cara untuk membungkam PKI, agar tidak bicara. Memang, pada 1 Oktober 1965 Aidit berada di Halim, pusat pasukan G30S berkumpul. Namun, saya dengar istri Aidit mengatakan bahwa pada tanggal 30 September 1965, malam hari, Aidit diculik dan dibawa ke Halim. Aidit terbang ke Yogyakarta, beberapa saat setelah Bung Karno meninggalkan Halim.
Saya sangat yakin bahwa dalang G30S bukan Aidit. Saya ingat saat saya dan Aidit sama-sama menjenguk Bung Karno yang sedang sakit. Setelah saya periksa, Bung Karno ternyata hanya masuk angin. Tetapi, disebarkan isu bahwa Bung Karno sedang sakit berat, paling tidak bisa lumpuh. Isu tersebut merupakan propaganda yang ditujukan untuk konsumsi publik di luar PKI. Sebab, PKI pasti mengetahui, karena Aidit bersama saya menjenguk Bung Karno. Propaganda itu bertujuan untuk memberi alasan keterlibatan PKI dalam G30S. Propaganda itu akan membangun opini publik bahwa PKI bergerak merebut kekuasaan sebelum didahului oleh pihak lain, mengingat sakit kerasnya Bung Karno.
Yang mengetahui rahasia ini hanya Bung Karno, Aidit, dokter RRC yang didatangkan oleh Aidit dari Kebayoran-Baru, Jakarta, Dokter Leimena, dan saya sendiri. Tanpa berniat membela Aidit, saya yakin bahwa bukan Aidit yang mendalangi PKI, sebab saya tahu persis. Kalau Aidit mendukung pembunuhan anggota Dewan Jenderal, memang ya. Dalam suatu kesempatan, saya dengar Aidit mendukung gerakan membunuh anggota Dewan Jenderal yang dikabarkan akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Sebab, kalau sampai Presiden terguling oleh kelompok militer, maka nasib PKI selanjutnya bakal sulit. Tetapi, Aidit hanya sekadar mendukung dalam bentuk ucapan saja.
Tetapi akhirnya propaganda Soeharto melalui media massa sukses. Kesan bahwa PKI mendalangi G30S melekat di benak publik. Malah diperkaya dengan cerita pembantaian para jenderal di Lubang Buaya oleh kelompok Gerwani yang menari-nari sambil menyiksa para jenderal. Dikabarkan bahwa mata para jenderal dicungkil, kemaluannya dipotong, tubuhnya disayat-sayat. Penyiksaan keji ini diberi nama Upacara Harum Bunga – suatu nama yang sangat kontras dengan kekejiannya. Sungguh suatu cerita yang mengerikan.
Cerita ini diperkuat dengan pengakuan seorang wanita bernama Jamilah dan kawan-kawan yang mengaku sebagai orang Gerwani. Saya tidak tahu, siapa Jamilah itu. Tetapi cerita ini dipublikasikan oleh pers yang sudah dikuasai Soeharto. Dalam sekejap kemarahan rakyat terhadap PKI tersulut.
Padahal, cerita yang disebarkan Soeharto itu semua bohong. Terbukti, setelah Soeharto tumbang, para dokter yang membedah mayat para jenderal dulu bicara di televisi: mayat para jenderal itu utuh, Sama sekali tidak ada tanda-tanda penyiksaan. Memang kulit mayat terkelupas, tetapi berdasarkan penelitian, itu karena mayat tersebut terendam di dalam air (sumur) selama beberapa hari.
Saya bukan PKI. Memang, saya pernah menyerukan penghentian pembantaian terhadap pimpinan dan anggota PKI oleh AD pada pertengahan Oktober 1965. Itu saat-saat awal PKI dibantai. Seruan saya ini atas perintah Presiden Soekarno yang tidak menghendaki pertumpahan darah. Bung Karno saat itu masih memegang kendali. Beberapa jam setelah G30S meletus, ia memerintahkan agar semua pasukan bersiap di tempatnya. Jangan ada yang bergerak di luar perintah Presiden. Sebab, pada dasarnya Bung Karno tidak menghendaki pertumpahan darah. Namun perintah Presiden tidak digubris. Seruan saya juga tidak dihiraukan. Pambantaian PKI terus berlangsung.
Malah, sejak itu saya dicap sebagai pro-PKI. Apalagi saya pernah ditugaskan di Moskow. Saya juga pernah ditugaskan berkunjung (sebagai Menlu) ke Beijing, RRC dan diberi tawaran bantuan senjata gratis oleh pimpinan RRC. Sedangkan Moskow dan Beijing adalah poros utama komunis. Dari rangkaian tugas-tugas kenegaraan saya itu lantas saya dicap pro-PKI. Saya sebagai pejabat tinggi negara saat itu tidak dapat berbuat banyak menanggapi cap tersebut. Sebab, bukankah semua itu karena saya menjalankan tugas negara?
Saya merasa cap PKI menjadi mengerikan bagi saya, setelah PKI dibantai habis-habisan. Pada Sidang Kabinet 11 Maret 1966 di Istana Negara saya menjadi incaran pembunuhan tentara, meskipun saat itu saya masih pejabat tinggi negara. Ketika Istana Negara dikepung oleh pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris dibantu oleh pasukan RPKAD (kelak berubah menjadi Kopassus) pimpinan Sarwo Edhie, jelas saya diincar. Dari laporan intelijen, saya diberitahu bahwa Kemal Idris bersama pasukannya akan membunuh saya. Itu juga atas persetujuan Soeharto. Tetapi akhirnya saya lolos.
Beberapa hari setelah itu baru 15 menteri ditangkap, termasuk saya. Jika sebelumnya cap pro-PKI terhadap diri saya tidak terbuka, sejak saya ditangkap cap itu semakin menyebar secara luas. Malah, Soeharto menambahi julukan baru bagi saya: Durno. Sebagai orang Jawa, tentu saya sangat sakit hati diberi julukan itu. Sebab, Durno adalah tokoh culas dalam pewayangan. Durno suka mengadu-domba. Soal julukan ini saya tidak tahu bagaimana asal-usulnya. Yang tahu tentu hanya Soeharto. Tetapi, ini memang bagian dari penghancuran diri saya sebagai pengikut setia Bung Karno. Dan, julukan Durno bagi saya baru muncul setelah saya ditahan, setelah Bung karno mendekati ajal politiknya.
Di dalam penjara, saya sama sekali tidak disiksa secara fisik. Kalau disiksa mental, sudah jelas. Interogasi tak habis-habisnya hanya untuk tujuan menjatuhkan mental. Sebagai mantan pejabat tinggi negara, saat itu mental saya sudah jatuh. Dari pemegang kekuasaan negara berubah menjadi orang tahanan. Mungkin saya mengalami depresi. Istri saya tentu mengalami hal yang sama. Anak saya satu-satunya masih kecil.
Saya diadili di Mahmilti tidak lama kemudian. Tetapi, anehnya dakwaan buat saya bukan sebagai PKI atau terlibat G30S. Sama sekali tidak menyinggung dua hal pokok itu. Padahal, saya sudah dicap pro-PKI. Saya sudah dijuluki Durno.
Saya diadili karena ucapan saya bisa menimbulkan kekacauan saat saya berkata: Kalau ada teror, tentu bakal muncul kontra-teror. Beberapa setelah G30S meletus, para pemuda yang dimanfaatkan AD mendesak agar Bung Karno diadili. Mereka didukung oleh AD untuk melakukan demonstrasi dan melancarkan teror bagi Bung Karno serta para pendukungnya. Suatu saat saya mengatakan, jika ada teror (dari para pemuda) maka bakal muncul kontra-teror (entah dari mana).
Nah, ucapan saya ini dinilai bisa memancing kekacauan. Saya dituduh melakukan subversi. Sidang berlangsung singkat, lantas saya dijatuhi hukuman mati. Benar-benar pengadilan sandiwara. Mereka gagal membunuh saya secara terang-terangan di Sidang Kabinet 11 Maret 1966, toh mereka bisa membunuh saya secara 'konstitusional' di pengadilan sandiwara ini. Naik banding dan kasasi saya tempuh sekadar semacam reflek menghindari kematian. Namun upaya hukum itu percuma. Sebab, pengadilannya saja sudah sandiwara.
Dan, pengadilan sandiwara di banyak kasus seputar G30S dan PKI di awal kepemimpinan Soeharto, kemudian berdampak sangat buruk bagi Indonesia. Sejak itu sampai sekarang, pengadilan sandiwara merupakan hal lumrah. Pengadilan sandiwara kasus seputar G30S merupakan semacam yurisprudensi (rujukan) bagi serentetan amat panjang pengadilan sandiwara berikutnya. Moral aparat hukum rusak berat. Pengadilan berbagai kasus di-subversi-kan berikutnya: Tanjung Priok, Lampung, demonstrasi mahasiswa yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru, diadili dengan pengadilan sandiwara merujuk G30S. Bahkan juga kasus-kasus korupsi. Salah menjadi benar, benar menjadi salah.
Ini sama sekali bukan pelampiasan dendam saya terhadap Soeharto. Tak kurang Presiden KH Abdurrahman Wahid (tidak ada hubungannya dengan saya) sampai melontarkan pernyataan bahwa seluruh hakim Jakarta akan diganti dengan hakim impor.
Di dalam penjara, awalnya saya mengalami depresi. Kesalahan saya satu-satunya adalah menjadi pengikut setia Bung Karno. Namun kemudian saya tidak menyesal menjadi pengikut setia Bung Karno, sebab itu sudah menjadi tekad saya. Dan, ini merupakan risiko bagi semua orang yang berkecimpung di bidang politik.
Saya masuk sel isolasi, terpisah dengan napi lain. Meskipun saya tidak disiksa fisik, namun direkayasa sedemikian rupa sehingga batin saya benar-benar tersiksa. Kondisi penjara yang sangat buruk, suatu saat membuat perut saya terluka dan mengalami infeksi. Saya tahu, itu obatnya sederhana saja. Tetapi, pemerintah tidak menyediakan. Luka saya dibiarkan membusuk digerogoti bakteri. Ketika luka saya sudah benar-benar parah (berulat), baru diberi obat. Rupanya pemberian obat yang terlambat itu memang disengaja. Akibatnya, luka memang sembuh. Namun sampai kini sering kambuh, rasa nyeri luar biasa.
Di dalam, saya dilarang menulis, membaca berita, dijenguk keluarga atau teman (baru beberapa tahun kemudian dibolehkan). Satu-satunya bacaan saya adalah ayat suci Al-Qur'an. Tetapi, bacaan ini seperti mengembalikan saya pada suasana masa kanak-kanak yang agamis. Saya malah mendapatkan ketenangan jiwa yang tidak saya rasakan ketika saya menjadi pejabat tinggi negara.
Akhirnya saya lolos dari hukuman mati karena kawat dari dua petinggi negara adidaya, AS dan Inggris. Hukuman saya diubah menjadi seumur hidup. Tetapi saya tetap ditempatkan di sel isolasi mulai dari Salemba (Rutan Salemba), LP Cimahi, sampai LP Cipinang.
Pada tahun 1978 anak saya Budojo meninggal dunia karena serangan jantung. Ibunya benar-benar mengalami depresi berat. Sejak saya dihukum, hanya Budojo yang membuat ibunya tabah menghadapi cobaan. Saya bisa membayangkan, betapa isteri saya hidup nelangsa. Dari seorang istri pejabat tinggi negara, menda-dak berubah menjadi 'istri Durno', disusul anak satu-satunya pun meninggal dunia. Maka, beberapa bulan kemudian istri saya menyusul Budojo, berpulang ke rahmatullah. Tinggallah saya sendiri. Tetap kesepian di penjara. Tidak ada lagi yang menjenguk.
Tetapi, diam-diam ada seorang wanita yang bersimpati pada saya. Dia adalah mantan isteri Kolonel Bambang Supeno. Bambang adalah perwira tinggi AD yang ikut mendukung G30S atas instruksi Soeharto. Namun, seperti nasib perwira pelaku G30S lainnya, Bambang dihukum dan akhirnya meninggal dunia. Istrinya, Sri Koesdijantinah, janda dengan dua anak, lantas bersimpati pada saya. Kami akhirnya menikah di LP Cipinang pada tahun 1990. Saya sangat kagum pada Sri yang rela menikah dengan narapidana. Sangat jarang ada wanita setulus dia.
Kini hidup saya tidak sendiri lagi. Meskipun saya tetap meringkuk di sel khusus, tetapi setiap pekan ada lagi orang yang menjenguk, setelah bertahun-tahun kosong. Sri muncul di saat semangat hidup saya nyaris padam. Setiap pekan dia membawa-kan saya nasi rawon kesukaan saya. Juga dua orang anak Sri sangat perhatian. kepada saya. Sebagai sesama korban Soeharto, kami menjadi bersatu. Saya lantas menjadi sadar bahwa bukan hanya saya korban kekejaman Soeharto. Ada banyak korban lain yang jauh lebih sengsara dibanding saya. Sri benar-benar membuat hidup saya bersinar kembali.
Pada tanggal 16 Agustus 1995 saya dibebaskan. Saya pulang bersama Sri dan anak-anak. Kami menempati rumah besar di Jalan Imam Bonjol 16 yang dulu saya tinggalkan. Saya seperti bangun tidur di pagi hari. Saya seperti baru saja bermimpi, 30 tahun dalam kegelapan di penjara. Saya seperti menemukan hari baru yang cerah. Saya bersujud syukur alhamdulillah, masih diberi kesempatan menghirup udara bebas.
Setahun menempati rumah itu, kami merasa kewalahan. Biaya perawatannya sangat mahal. Sebagai seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta, honor Sri tidak seberapa. Apalagi saya, penganggur tanpa penghasilan. Tiga jabatan sangat penting saya di zaman Presiden Soekarno tidak dihargai sama sekali. Saya tidak diberi uang pensiun. Akhirnya kami menjual rumah besar itu. Sebagai gantinya, kami membeli rumah lebih kecil di Jakarta Selatan.
Setelah Soeharto tumbang, banyak orang datang kepada saya, menganjurkan saya membuat memoar. Saya sesungguhnya tidak tertarik. Selain tidak memiliki persiapan yang matang, juga tidak ada gunanya bagi saya mengungkap masa lalu. Biarlah itu berlalu. Toh saya sudah menjalani hukuman 30 tahun. Toh saya sudah menerima hinaan disebut Durno, PKI, dan sebagainya. Saya sudah ikhlas menerimanya. Saya sudah legowo. Usia saya sudah senja. Tinggal meningkatkan amal soleh dan ibadah, sebagai bekal menghadap Sang Khalik, suatu saat nanti. Apalagi Soeharto akhirnya tumbang juga. Kalau saya mengungkap masa lalu, saya bisa larut dalam emosi. Maka, anjuran itu tidak saya turuti.
Namun, teman-teman sezaman, baik dari dalam maupun luar negeri terus menghu-bungi saya, baik melalui telepon maupun bertemu langsung. Mereka mengatakan, sejarah G30S sudah dibengkokkan. Kata mereka, saya harus mengatakan yang sebenarnya untuk meluruskan sejarah. Ini bukan untuk anda, tapi penting bagi generasi muda agar tidak tertipu oleh sejarah yang dimanipulir, kata salah seorang dari mereka.
Diinformasikan bahwa salah satu pelaku sejarah G30S yang amat penting, Kolonel Abdul Latief juga membuat buku berisi pledoinya dulu. Tetapi ada dugaan bahwa Latief tidak mengungkap total misteri G30S. Sebab, Mingguan terbitan Hongkong, Far Eastern Economic Review edisi 2 Agustus 1990 memberitakan bahwa memoar Latief yang lengkap disimpan di sebuah bank di luar Indonesia dengan pesan, boleh dipublikasikan jika Latief dibunuh. Itu berarti G30S masih misteri.
Saya sempat bimbang. Keinginan saya mengubur masa lalu seperti digoyang begitu kuat. Apalagi banyak penulis kenamaan datang kepada saya, siap menuliskan memoar saya. Dalam kebimbangan itu saya ingat pada seorang wartawan muda yang paling sering mewawancarai saya, Djono W. Oesman. Dia saya hubungi dan saya minta menuliskan cerita saya, sebab saya percaya padanya. Dia pun setuju. Dialah penyunting buku ini. Hanya saya dan dia yang menyusun potongan-potongan peristiwa yang saya alami dan saya ingat.
Saya menyadari bahwa mungkin banyak kekurangan di dalam buku ini. Maklum, G30S adalah masalah internal AD, dan saya bukan dari AD. Tetapi saya dalah pelaku sejarah G30S yang mengalami semua kejadian sebelum, saat meletus, sampai dampak peristiwa itu. Mungkin, inilah sumbangan saya, bagian dari amal ibadah untuk bekal kehidupan saya di akhirat kelak. Semoga ada manfaatnya. Amin.
KOMENTAR
Teror, teror, dan teror. Tidak henti-hentinya. Saling susul-menyusul. Seolah tiada yang mampu menghentikan teror mental dan fisik yang dimulai sejak 1965, dilanjutkan pada Pemilu 1972. Gembar-gembor bahaya laten PKI terus didengung-dengungkan, untuk memperkuat rezim Soeharto. Teorinya, penguasa Orde Baru selalu menciptakan musuh semu bagi rakyat. Rakyat diberi musuh semu berupa momok bahaya laten PKI. Inilah teror mental. Sedangkan bagi mereka yang kritis, seperti para mahasiswa, dikenakan teror mental dan fisik.
Soeharto yang pada 1966 menggerakkan mahasiswa, dalam perjalanan kekuasaan-nya malah meneror mahasiswa. Terhadap mereka yang kritis dan suka berdemo, dilakukan penangkapan, interogasi, bahkan disiksa. Pada pertengahan 1970-an sudah beredar anekdot yang mengkritik keserakahan keluarga Soeharto. Misalnya, kalangan mahasiswa memberi julukan istri Soeharto, Siti Suhartinah (biasa dipanggil ibu Tien) dengan julukan Ibu Tien Persen. Artinya Ibu Sepuluh Persen. Menurut pembicaraan di kalangan mereka, ibu Tien sering minta komisi 10% jika ada investor asing masuk ke Indonesia.
Teror yang disebar oleh rezim Orde Baru seolah-olah merupakan unjuk kekuatan setelah membantai jutaan kaum komunis, keluarga, dan simpatisannya. Seolah diumumkan, jangan macam-macam dengan penguasa. Jangan coba-coba melawan penguasa. Dan, kritik dari generasi muda juga diartikan sebagai melawan penguasa. Maka, harus dihabisi.
Bukti dari kesimpulan ini sudah kita saksikan bersama, bagaimana perjalanan rezim Orde baru membunuh kritik dari masyarakat. Mulai dari teror Pemilu 1972, dilanjut-kan dengan teror, penangkapan serta penyiksaan terhadap mahasiswa yang berdemo pada 5 Januari 1974 (yang dikenal dengan Malari, yang merupakan singkatan dari Lima Januari).
Lantas dilanjutkan tindakan represif tentara kepada mahasiswa yang berdemo pada tahun 1978. Demo damai umat Islam di tahun 1984 menghasilkan pembantaian Tanjung Priok. Kekerasan demi kekerasan dialami rakyat. Setelah saya bebas, kemudian Soeharto jatuh dari kursi kekuasaannya, kekerasan menjadi warisan buruk kepada masyarakat. Perkelahian massal di Sambas, Kalimantan Barat yang saya baca di media massa, memamerkan pembantaian yang mengerikan.
Di koran dipasang foto kepala manusia tergeletak di pinggir jalan. Isu dukun santet di Jatim malah lebih gila lagi. Kepala manusia yang sudah terpenggal, ditusuk dengan bambu runcing dan diarak keliling kota. Di Malang, tidak jauh dari kota kelahiran saya, kepala manusia yang sudah terpenggal diikat lantas diseret dengan sepeda motor yang melaju keliling kota. Peristiwa-peristiwa yang saya sebutkan belakangan ini sudah bukan dilakukan oleh tentara lagi, tetapi oleh rakyat terhadap rakyat. Tetapi, ini semua adalah warisan dari pembantaian kaum komunis yang sangat brutal di masa lalu – pelajaran buruk yang diwariskan ke generasi berikutnya.
Kudeta merangkak itu bergelimangan darah. Pertama, darah para jenderal yang dibantai pada tanggal 1 Oktober 1965. Kedua, darah Untung dan Soepardjo yang dimanipulasi. Ketiga, darah Sjam Kamaruzzaman yang dikhianati. Keempat darah jutaan kaum komunis, keluarga, simpatisan komunis, keluarga mereka, kaum buruh, dan para petani.
Pembaca yang budiman, mengetahui kejahatan kemanusiaan dan tidak mencegah saja sudah merupakan kejahatan terhadap manusia. Lantas, di mana tempat Soeharto yang luput dari hukum hingga buku ini ditulis? Saya berada di rumah sakit (RSPAD Gatot Subroto) sampai menjelang tengah malam, lantas pulang ke rumah, kata Soeharto.
Sekali pun kita mencoba melupakan sejenak bahwa ucapan Soeharto itu dusta, namun pulang ke rumah dan tidur pulas setelah mengetahui pasti bahwa beberapa jam lagi rekan-rekan jenderal akan bertemu maut, betapa pun adalah kejahatan. Kualifikasi yang bagaimana yang semestinya diberikan terhadap kejahatan Soeharto yang telah membunuh jutaan manusia dan membuat sebagian lain merana di penjara? Ya, kualifikasi apa?
Penghancuran PKI yang diikuti dengan pembunuhan jutaan manusia mendapat dukungan kekuatan imperialisme internasional, terutama Amerika Serikatyang mengklaim diri sebagai negara demokrasi. Ini bentuk penghancuran struktur di suatu negara (Indonesia) yang sangat besar sejak Perang Dunia-II. Kekejamannya tidak pernah dibayangkan sebelumnya, oleh siapa pun, termasuk oleh kita sendiri, juga termasuk saya yang menyaksikan langsung semua peristiwa di tingkat elite politik Indonesia saat itu.
Peristiwa ini bukan hanya peristiwa intern Indonesia, tetapi Indonesia dan dunia. Ini merupakan letupan konflik yang sebenarnya sudah lama ada antara mahakuasa imperialisme internasional dengan hak menentukan nasib sendiri bangsa Indonesia di pihak lain. Indonesia hanyalah tempat peristiwa. Sedangkan karakternya bersifat dunia. Ini sebuah tragedi yang secara moral merupakan kejahatan peradaban umat manusia. Sebagai konsekuensi logis dari peristiwa ini adalah memfasiskan kehidu-pan negara, bertentangan dengan harapan ahli-ahli teori modernisasi.
Hasil dari semua itu adalah penyebaran kapitalisme, termasuk ke Indonesia. Tetapi di Indonesia, penyebaran kapitalisme tidak diikuti dengan lahirnya negara borjuis demokrasi liberal, seperti di AS atau Eropa Barat. Itu tidak tercipta di sini. Sebagai gantinya, ternyata, perkembangan kapitalisme di sini melahirkan negara birokrasi militer. Pada perkembangan berikutnya melahirkan berbagai persoalan bangsa yang sulit diatasi oleh generasi penerus.
Di sisi lain, kebungkaman terhadap kejahatan manusia dan kemanusaiaan harus segera diakhiri. Atas nama kawan-kawannya, keluarga dan kerabat saya, atas nama semua anak bangsa yang dibunuh, atas nama anak yang kehilangan orangtua mereka, atas nama anak-anak yang selama bertahun-tahun ikut ibu di penjara, atas nama golongan mana pun yang sudah dianiaya dan disembelih oleh rezim Soeharto, saya serukan, akhiri kebungkaman ini. Kepada mereka yang merasa sebagai demokrat, baik di dalam maupun di luar negeri, pecahkan kebungkaman ini. Hari sudah tidak lagi terlalu pagi. Matahari sudah di atas ubun-ubun.
Eksistensi rezim kriminal Soeharto ditegakkan oleh segelintir elite Indonesia, para jenderal fasis, pendukung sipil dan teknokratnya, serta kaum konglomerat yang kemudian terbukti serakah dan rakus. Mereka mengembangkan model kapitalisme abad ke-18 yang tak manusiawi dalam memacu kapitalisme di Indonesia selama lebih dari tiga dekade.
Hari ini tidak lagi terlalu pagi kita memasuki titik awal. Saya bangga, karena titik awal ini dimulai oleh generasi muda Indonesia yang tidak ragu menghadapi kekuatan kriminal dan uang hasil korupsi rezim Orde baru. Luruskanlah sejarah yang telah mereka bengkokkan selama tiga dekade ini. Pecahkan kebungkaman!
Dr. H Soebandrio, Kesaksianku tentang G30S, KOMENTAR (18-9-2000)
*************** 0 0 0 0 0 0******************
Tentang Matinya Para Jendral
Ben Anderson
Orang sering menjadi terkesima ketika membongkar-bongkar gudang yang bertimbun dan berdebu. Sementara iseng membolak-balik ratusan halaman fotokopi rekaman stenografis dari sidang pengadilan Letkol AURI Atmodjo di depan Mahmilub, saya temukan dokumen-dokumen yang saya terjemahkan di bawah ini, yang aslinya merupakan lampiran-lampiran pada berkas sidang pengadilan itu. Dokumen itu adalah laporan yang disusun oleh sebuah tim terdiri dari lima orang ahli kedokteran forensik, yang telah memeriksa mayat-mayat enam orang jendral (Yani, Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono, dan Pandjaitan), dan seorang letnan muda (Tendean) yang terbunuh pada pagi-pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Laporan mereka yang lugas merupakan lukisan paling obyektif dan tepat yang pernah kita miliki, tentang bagaimana tujuh orang itu mati. Mengingat kontroversi yang telah lama tentang masalah ini, dan berita-berita yang disajikan oleh suratkabar dan majalah umum berlain-lainan, maka saya memandang perlu menerjemahkan dokumen-dokumen tersebut sepenuhnya untuk kepentingan kalangan ilmiah.
Bagian atas setiap visum et repertum (otopsi) menunjukkan bahwa tim tersebut bekerja pada hari Senin tanggal 4 Oktober, atas perintah Mayjen Suharto selaku Komandan KOSTRAD ketika itu, kepada kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Tim terdiri dari dua orang dokter tentara (termasuk Brigjen Roebono Kertopati yang terkenal itu), dan tiga orang sipil ahli kedokteran forensik pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di antara ketiga orang ini yang paling senior ialah Dr. Sutomo Tjokronegoro, ketika itu ahli paling terkemuka dalam kedokteran forensik di Indonesia. Tim bekerja sama selama 8 jam, yaitu dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober sampai 12.30 lewat tengah malam tanggal 5 Oktober, bertempat di Kamar Bedah RSPAD. Jelas mereka harus bekerja cepat, oleh karena dari berita-berita pers kita ketahui mayat-mayat itu baru bisa diangkat dari lubang sumur di Lubang Buaya (di mana para pembunuh telah melemparkannya) menjelang siang tanggal 4 Oktober, lebih 75 jam setelah pembunuhan terjadi. Dalam jangka waktu itu, dalam iklim tropis bisa diperkirakan mayat sudah sangat membusuk. Dan sesudah hari siang, Selasa tanggal 5 Oktober, mayat-mayat itu dimakamkan dengan upacara militer di Taman Pahlawan Kalibata. Satu hal yang pasti patut diperhatikan. Mengingat bahwa otopsi itu dilakukan atas perintah langsung Mayjen Suharto, maka kiranya tidak akan mungkin jika laporan para dokter tersebut tidak segera disampaikan kepadanya, segera setelah tugas dilaksanakan.
Tujuh buah laporan itu masing-masing disusun menurut bentuk yang sama:
1.   pernyataan adanya perintah Mayjen Suharto kepada lima orang ahli itu;
2.   identifikasi atas mayat;
3.   eskripsi tubuh, termasuk pakaian atau hiasan-hiasan badan;
4.   raian rinci tentang luka-luka;
5.   kesimpulan tentang waktu dan penyebab kematian;
6.   pernyataan di bawah sumpah dari kelima ahli itu,
7.   bahwa pemeriksaan telah dilaksanakan sepenuh-penuhnya dan sebagai-mana mestinya.
Karena gambaran umum tentang matinya tujuh tokok itu, kita, sebagaimana halnya masyarakat pembaca di Indonesia tahun 1965, harus banyak bersandar pada apa yang diberitakan oleh dua suratkabar tentara, yaitu Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, serta dinas informasi ABRI yang memasok suratkabar-suratkabar tersebut. Walaupun ada beberapa suratkabar non-militer yang tetap terbit, namun pers kiri telah ditindas pada petang hari tanggal 1 Oktober, sedangkan radio dan televisi yang dikuasai negara, dan telah ada di tangan militer sepenuhnya menjelang 1 Oktober, tidak mengudara. Karena itu perlu diperbandingkan berita-berita yang disajikan oleh suratkabar-suratkabar tentara tersebut, dengan ini laporan dari para ahli kedokteran yang ditunjuk militer yang selesai tersusun pada hari Selasa tanggal 5 Oktober, yang bisa kita simpulkan dari dokumen-dokumen lampiran itu.
Mengingat bahwasanya dua suratkabar tersebut adalah harian-harian pagi, sehingga edisi 5 Oktober mereka mungkin sudah "ditidurkan" sementara para dokter masih menyelesaikan pekerjaannya, maka tidak aneh bila pemberitaan mereka tentang hari itu barangkali tergesa-gesa, tanpa memanfaatkan informasi yang panjang lebar itu. Angkatan Bersenjata memuat beberapa buah foto kabur mayat-mayat yang telah membusuk, dan menggambarkan pembunuhan tersebut sebagai "perbuatan biadab berupa penganiayaan yang dilakukan di luar batas perikemanusiaan". Berita Yudha yang selalu lebih garang, mengatakan bahwa mayat-mayat itu penuh dengan bekas-bekas penyiksaan. "Bekas-bekas luka di sekujur tubuh akibat siksaan sebelum ditembak masih membalut tubuh-tubuh pahlawan kita." Mayjen Suharto sendiri dikutip menyatakan, "jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala (jenazah-jenazah itu), betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan 'Gerakan 30 September'". Suratkabar itu meneruskan dengan menggambarkan saat-saat terakhir kehidupan Jendral Yani, mengatakan bahwa sesudah ditembak rubuh di rumahnya, ia dilemparkan hidup-hidup ke dalam sebuah truk dan terus menerus disiksa sampai "penyiksaan terakhirnya di Lubang Buaya." Bukti-bukti tentang penyiksaan ini ditunjukkan dengan adanya luka-luka pada leher dan mukanya, dan kenyataan bahwa "anggota-anggota tubuhnya tidak sempurna lagi". Apa yang dimaksud oleh kata-kata yang agak kabur itu menjadi lebih jelas pada hari- hari berikut. Pada hari Kamis tanggal 7 Oktober, Angkatan Bersenjata menyatakan bahwa "matanya (Yani) dicungkil". Berita ini dikuatkan dua hari kemudian oleh Berita Yudha dengan menambahkan bahwa muka mayat itu ditemukan terbungkus dalam sehelai kain hitam.
Pada tanggal 7 Oktober itu juga Angkatan Bersenjata melukiskan lebih lanjut, tentang bagaimana Jendral Harjono dan Jendral Pandjaitan tewas oleh berondongan tembakan senjata api di rumah masing-masing, lalu mayat mereka dilempar ke dalam sebuah truk yang menghilang dalam kegelapan malam dengan "deru mesin-nya yang seperti harimau haus darah". Sementara itu Berita Yudha memberitakan tentang bekas-bekas siksaan pada kedua tangan Harjono.
Pada tanggal 9 Oktober Berita Yudha memberitakan, bahwa meskipun muka dan kepala Jendral Suprapto telah dihancurkan oleh "penteror-penteror biadab", namun ciri-cirinya masih bisa dikenali. Pada Letnan Tendean terdapat luka-luka pisau pada dada kiri dan perut, lehernya digorok, dan kedua bola matanya "dicungkil". Harian ini pada hari berikutnya mengutip saksi mata pengangkat mayat bulan Oktober itu, yang mengatakan bahwa di antara kurban beberapa ada yang matanya keluar, dan beberapa lainnya "ada yang dipotong kelaminnya dan banyak hal-hal lain yang sama sekali mengerikan dan di luar perikemanusiaan." Pada tanggal 11 Oktober Angkatan Bersenjata menulis panjang lebar tentang matinya Tendean, dengan menyatakan bahwa ia mengalami siksaan luar biasa di Lubang Buaya, sesudah diserahkan kepada para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Ia dijadikan benda "permainan jahat" perempuan- perempuan ini, digunakan sebagai "bulan-bulanan sasaran latihan menembak sukwati Gerwani."
Begitu suratkabar-suratkabar tentara memulai, maka yang lain pun segera serta merta mengikuti. Misalnya Api Pantjasila, orang partai IPKI yang bernaung di bawah militer, pada tanggal 20 Oktober memberitakan, bahwa "alat pencungkil" yang digunakan untuk jendral-jendral itu telah ditemukan oleh pemuda-pemuda anti komunis, ketika mereka menyerbu gedung-gedung Partai Komunis, di desa Haru-panggang di luar kota Garut. Walaupun tanpa diterangkan, mengapa partai tersebut memandang desa itu cocok untuk menyimpannya. Pada tanggal 25 Oktober suratkabar ini juga memuat pengakuan seseorang bernama Djamin, anggota organisasi pemuda Partai Komunis, Pemuda Rakyat, yang mengatakan telah menyaksikan bagaimana Jendral Suprapto telah disiksa "di luar batas kesusilaan" oleh anggota-anggota Gerwani. Pengakuan-pengakuan serupa itu dimuat berturut-turut, dan memuncak pada cerita menarik tentang Nyonya Djamilah, disiarkan pada tanggal 6 Oktober oleh Dinas Penerangan ABRI kepada seluruh kalangan pers. Nyonya Djamilah diceritakan sebagai hamil tiga bulan, pimpinan Gerwani dari Pacitan berumur lima belas tahun, mengaku bahwa ia dan kawan-kawannya di Lubang Buaya telah menerima pembagian pisau kecil serta silet dari anggota-anggota pasukan Gerakan 30 September. Lalu mereka, yang seluruhnya berjumlah seratus orang itu, mengikuti perintah orang- orang itu pula, mulai memotong dan menyayat-sayat kemaluan jendral-jendral yang telah mereka tangkap itu. ("Dibagi-bagikan pisau kecil dan pisau silet... menusuk-nusuk pisau pada kemaluan orang-orang itu. Api Pantjasila, 6 November 1965). Malahan tidak berhenti di situ saja. Antara yang telah dikuasai militer itu, pada tanggal 30 November melukiskan bagaimana orang-orang Gerwani itu dengan mudahnya telah menyerahkan tubuh mereka kepada para personel AURI yang ikut serta dalam Gerakan 30 September. Sementara itu pada tanggal 13 Desember Angkatan Bersenjata melukiskan mereka bertelanjang menarikan "Tarian Bunga Harum" di bawah pimpinan Ketua Partai Komunis Dipa Nusantara Aidit, sebelum terjun dalam pesta pora massal bersama para anggota Pemuda Rakyat.
Di dalam cerita-cerita yang memenuhi suratkabar selama bulan- bulan Oktober, November dan Desember ini -- sementara itu pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang yang berhubungan dengan Partai Komunis terus berjalan -- terkandung dua hal yang sangat menarik diperhatikan. Pertama, ditiup-tiupkan bahwa tujuh kurban itu mengalami siksaan yang mengerikan -- khususnya dicungkil mata dan dipotong kemaluan mereka; kedua, ditonjolkan bahwa pelaku-pelaku kejahatan adalah orang-orang sipil dari organisasi yang berafiliasi dengan komunis.
Apakah yang diberitakan kepada kita oleh laporan para ahli forensik pada tanggal 5 Oktober itu? Pertama, dan terutama, bahwa tidak ada satu biji mata pun dari para kurban yang telah dicungkil, dan bahwa semua kemaluan mereka pun masih utuh. Kepada kita bahkan diberitakan bahwa empat berkhitan dan tiga tidak berkhitan.
Kecuali itu, barangkali perlu kurban-kurban itu dibagi ke dalam dua golongan: mereka yang dengan sebagian besar bukti non-forensik menunjukkan telah dibunuh dengan ditembak selagi masih di rumah oleh para penculik mereka, yaitu Jendral Yani, Jendral Pandjaitan, dan Jendral Harjono; dan mereka yang dibunuh sesudah dibawa ke Lubang Buaya, yaitu Jendral Parman, Jendral Suprapto, dan Jendral Sutojo, serta Letnan Tendean.
Golongan I. Berita paling lengkap tentang kematian mereka terbit jauh sesudah peristiwa terjadi: tentang Yani dalam Berita Yudha tanggal 5 Desember; Pandjaitan dalam Kompas tanggal 25 Oktober; Berita Yudha Minggu tanggal 21 November, dan Berita Yudha tanggal 13 Desember; dan Harjono dalam Berita Yudha Minggu tanggal 28 November. Semua pemberitaan menunjukkan, bahwa jendral-jendral itu telah dibunuh dengan mendadak dan seketika di rumah dengan berondongan tembakan yang dilakukan oleh anggota-anggota Resimen Kawal Cakrabirawa, di bawah pimpinan operasi Lettu Doel Arief. Gambaran demikian hanya sebagian saja dibenarkan oleh laporan forensil. Para ahli forensik itu menyatakan bahwa luka-luka pada tubuh Yani sajalah yang merupakan sepuluh luka tembuk masuk dan tiga tembus. Pandjaitan mengalami tiga luka tembak pada kepala, serta luka robek kecil di tangan. Pada luka-luka yang dialami Harjono timbul tanda tanya, karena tidak disebut-sebut sebagai akibat tembakan. Penyebab kematiannya rupanya adalah torehan panjang dan dalam pada bagian perut, luka yang lebih mungkin disebabkan oleh bayonet ketimbang pisau lipat atau silet. Sebuah luka serupa yang tak mematikan terdapat pada punggung korban. Cedera lain satu-satunya digambarkan "pada tangan dan pergelangan tangan kiri, luka-luka disebabkan oleh barang tumpul." Tak ada cara lain yang lebih tepat untuk menafsirkan luka-luka ini kecuali harus mengatakan, bahwa luka-luka tesebut tidak mungkin karena siksaan -- jarang penyiksa memilih pergelangan kiri dalam melakukan pekerjaan mereka -- dan luka itu barangkali karena mayat itu dilempar ke dalam sumur di Lubang Buaya yang 36 kaki dalamnya.
Golongan II. Cerita lengkap tentang matinya korban-korban ini terdapat dalam suratkabar-suratkabar berikut: Parman, Berita Yudha, 17 Oktober dan juga Berita Yudha serta Angkatan Bersenjata tanggal 2 Desember; Soeprapto, Berita Yudha Minggu tanggal 5 Desember; Sutojo, Berita Yudha Minggu tanggal 21 November. Terhadap empat orang inilah berita-berita tentang siksaan biadab dan seksual paling banyak diberikan. Apa yang diungkapkan oleh laporan forensik adalah sebagai berikut:
1.        S. Parman mengalami lima luka tembak, termasuk dua yang mematikan pada kepala; dan, di samping itu, "robek dan patah tulang pada kepala, rahang, dan kaki kiri bawah, semuanya sebagai akibat benda tumpul dan keras -- popor bedil atau dinding dan lantai sumur -- tetapi jelas bukan luka-luka "siksaan", juga tidak sebagai akibat silet atau pisau lipat.
2.        Soeprapto mati oleh karena sebelas luka tembak pada berbagai bagian tubuhnya. Luka-luka lain berupa enam luka robek dan patah tulang sebagai akibat dari benda tumpul pada kepala dan muka; satu disebabkan oleh benda keras tumpul pada betis kanan; luka- luka dan patah tulang itu "akibat benda tumpul" yang sangat keras pada bagian pinggul dan pada paha kanan atas"; dan tiga sayatan yang, melihat pada ukuran dan kedalamannya, mungkin disebabkan oleh bayonet. Sekali lagi "benda tumpul" mempertunjukkan terjadinya benturan dengan benda-benda keras yang besar dan berbentuk tak menentu (popor bedil dan batu-batu sumur), dan bukannya silet atau pisau,
3.        Sutojo mengalami tiga luka tembak (termasuk satu yang fatal pada kepala), sedang "tangan kanan dan tempurung kepala retak sebagai akibat benda tumpul keras". Sekali lagi kombinasi ganjil antara tangan kanan, tulang tengkorak, dan benda pejal berat yang memberikan kesan popor bedil atau batu-batu sumur.
4.   Tendean mati akibat empat luka tembak. Kecuali itu para ahli tersebut menemukan luka gores pada dahi dan tangan kiri, demikian juga "tiga luka akibat trauma pejal pada kepala."
Tak terdapat sepatah kata pun di laporan-laporan ini tentang adanya siksaan yang tak tersangkal, dan tak ada juga bekas silet atau pisau kecil apapun. Bukan saja karena hampir semua luka-luka bukan tembak itu dilukiskan sebagai akibat dari benda pejal dan keras, tetapi karena pembagiannya secara jasmaniah pun "perge-langan kaki, tulang kering, pergelangan tangan, paha, pelipis dan lain-lain -- pada umumnya tampak sembarangan. Adalah sangat menarik, bahwa sasaran para penyiksa yang lazim yaitu pelir, dubur, mata, kuku, telinga, dan lidah tidak disebut-sebut. Maka dengan cukup meyakinkan bisa dikatakan bahwa enam orang dari korban-korban itu mati oleh tembakan senjata api (perihal Harjono yang mati di dalam rumahnya tetap membingungkan); dan jika tubuh mereka mengalami tindak kekerasan lain adalah akibat pemukulan dengan gagang bedil yang mematahkan peluru-peluru mematikan itu, atau cedera yang mungkin diakibatkan karena jatuh dari ketinggian 36 kaki -- yaitu kira-kira tiga tingkat lantai -- ke dalam sumur yang berdinding batu.
Perlu juga dikemukakan, bahwa dalam pidatonya tanggal 12 Desember 1965 kepada Kantor Berita Indonesia Antara, Presiden Soekarno mengutuk para wartawan yang telah membesar-besarkan pernyataan mereka, dan menegaskan bahwa dokter-dokter yang telah memeriksa mayat para kurban menyatakan, tentang tidak adanya perusakan mengerikan pada mata dan alat kelamin sepeti telah diberitakan dalam pers (Lihat Suara Islam, 13 Desember 1965, dan FBIS, 13 Desember 1965).
Sumber: Edi Cahyono
*********** 0 0 0 0 0 **********

Orde Baru Sebagai Boneka International Gangster Capitalism
Apakah orde baru adalah pemerintahan boneka buatan Amerika? Inilah pertanyaan yang muncul di benak saya ketika membaca buku yang ditulis oleh Geoff Simons berjudul Indonesia: The Long Oppression. (London: MacMillan/N.Y.: St. Martin, July 2000).
Sebagian besar dari uraian Simon tentang kekejaman regim militer dalam masa pemerintahan otoriter orde baru dalam buku setebal 304 halaman itu, bukanlah hal baru bagi masyarakat kita, yang secara dekat mengamati dan mengalami kekejaman system pemerintahan orde baru.
Sebagaimana terungkap dengan sangat jelas pada judul buku itu, uraian Simons membangkitkan kesadaran dunia internasional pada umumnya dan warga Indonesia pada khusunya akan sebuah bangsa yang membangun sejarahnya lewat suatu opresi yang sangat panjang. Sejarah nasional mencatat bahwa sejak Portugis mendarat di bumi pertiwi pada abad ke 16 hingga kejatuhan Soeharto pada akhir abad ke 20 ini, masyarakat kita hidup dalam situasi terjajah dari kekuatan opresif yang satu ke kekuatan opresif yang lain, dari kesadisan kolonialisme asing ke kesadisan kediktatoran penguasa bangsa sendiri (orde baru).
Orde baru memulai kekuasaannya dengan darah, menerapkan system kediktatoran-nya dengan darah, dan mengakhiri kekuasaannya juga dengan darah. Sampai pada akhirnya, orde baru menghantar kita pada babak baru sejarah yang Asvi Warman Adam (sejarahwan LIPI) sebut sebagai "sejarah korban" (Suara Pembaharuan, 3/11/2000).
Dibentengi oleh kekuatan penguasa asing, khususnya Amerika, Inggris, Australia dan Jepang, kelompok negara yang Simons sebut sebagai international gangster capitalism, penguasa orde baru terus menerapkan system opresi yang tak berperi-kemanusiaan atas rakyat bangsanya sendiri, demi interest imperialisme kooperatif gaya baru, yang beraksi atas nama agung "globalization".
Menghadapi berbagai aksi opresi tak berperikemanusiaan selama masa pemerin-tahan orde baru, kelompok negara yang tergabung dalam international gangster capitalism itu berusaha untuk menghadirkan diri sebagai pahlawan yang ingin menyelamatkan bangsa Indonesia melalui kritikan serta berbagai ancaman embargo dan lain sebagainya. Tapi siapa harus mengeritik siapa?
Simons melukiskan bahwa Amerika, Inggris, Australia dan Jepang memainkan peran sentral dalam melahirkan figure yang tampil sebagai penguasa yang kejam selama masa pemerintahan orde baru. Lewat coup d'etat, Amerika telah menghantar Soeharto ke pucuk pimpinan orde baru. Amerika juga telah membesarkan ABRI yang setelah kejatuhan Soeharto dituduh sebagai kambing hitam atas semua aksi pemerkosaan nilai kemanusiaan di negara ini.
Simons menampilkan perspektif baru penemuan sejarah hasil penelitiannya sendiri untuk melengkapi sekaligus mempertegas kemiripan berbagai warna sejarah yang muncul sebelum dan sesudah kejatuhan orde baru. Sebelum kejatuhan Soeharto, transparansi sejarah orde baru sudah diungkapkan oleh beberapa ilmuwan asing.
Dalan artikel berjudul Lessons of the 1965 Indonesian Coup (1991), Terry Cavanagh melukiskan penemuan historis serupa. Cavanagh menulis, Kudeta berdarah di Indonesia merupakan hasil dari niat imperialisme AS untuk mendapatkan kontrol mutlak atas kekayaan alam dan sumber-sumber strategis dari kepulauan yang sering dinamakan 'Permata Asia' (jewel of Asia). Amerika yang sejak awal abad ke 20 telah menguasai eksploitasi minyak bumi (Caltex di Sumatera) dan karet di negeri ini, pasti tidak mau kehilangan interest ekonominya ketika PKI berhasil menguasai massa dan kaum buruh untuk berjuang melawan eksploitasi kaum borjuis asing (termasuk Amerika) yang pada waktu itu menguasai sebagian besar kekayaan alam di negari ini.
Amerika menyadari bahwa ancaman kekuatan massa terhadap interest ekonomi dan politiknya di bumi pertiwi ini hanya bisa dipatahkan dan dikuasai lewat pembentukan pemeritahan dictator yang dipimpin oleh kaum militer. Untuk itu bantuan finansial, penyediaan perlengkapan perang dan latihan bagi kaum militer Indonesia merupakan langkah konkrit Amerika untuk mempersiapkan apa yang kita kenal sebagai peristiwa penganyangan PKI. Cavanagh menulis, Kudeta di Indonesia tanggal 1-2 Oktober 1965 adalah hasil dari sebuah operasi yang sudah lama direncanakan secara hati-hati oleh CIA dan komandan-komandan militer TNI yang dilatih oleh AS.
Tentu saja keberhasilan Soeharto dan pasukannya menjalankan amanat CIA untuk melaksanakan holocaust pada tahun 1965, serta memulai babak baru pemerintahan dictator orde baru merupakan kemenangan bagi Amerika untuk menguasai eksploitasi kekayaan alam di negari ini. Cavanagh membenarkan kenyataan ini dengan melukiskan bahwa setelah kudeta 1965, kegunaan kediktatoran Soeharto bagi kepentingan imperialisme AS telah tergaris bawahi dalam laporan Departemen Luar Negeri AS ke Konggres AS pada tahun 1975.
Sementara itu, berdasarkan dokumen CIA dan wawancara langsung dengan para diplomat Amerika, khususnya Marshal Green, duta besar Amerika yang sangat berpengaruh selama masa penganyangan PKI, Mike Head, dalam artikelnya berjudul US Orchestrated Suharto 1965-66 Slaughter in Indonesia , - artikel yang dibagi atas tiga bagian dan dipublikasikan oleh World Socialist Web Site (WSWS edisi 19, 20 da 21 July 1999), - secara tranparant melukiskan keterlibatan diplomat Amerika dan CIA (agen rahasia Amerika), dalam keseluruhan proses penganyangan PKI and perencanaan pembentukan pemerintahan militer dibawah komando Soeharto.
Warna baru penulisan sejarah dari para ilmuwan sejarah asing ini tentu saja bukanlah sesuatu yang begitu mudah untuk segera dipercaya oleh nurani polos anak bangsa yang selama 32 tahun diindroktinasikan oleh kebenaran sejarah ala orde baru. Selama 32 tahun, kita telah diyakinkan bahwa penguasa orde baru adalah pahlawan yang telah menyelamatkan bangsa ini dari pengaruh komunis.
Tapi situasi politik setelah kejatuhan orde baru menunjukkan indikasi yang sangat kontras. Kenyataan yang ada memperlihatkan bahwa fugur-figur yang sekian lama dianggap sebagai pahlawan dan penyelamat bangsa, kini tidak lebih dari cuma seorang pengkianat bangsa. Penyembahan atas kesakralannya berubah menjadi caci-maki atas pengkianatannya.
Dengan meragukan sejarah nasional versi orde baru dan mengungkapkan trans-paransi sejarah versi baru, Simons, Mike dan Cavanangh menantang kita untuk secara kritis meninjau kembali kebenaran sejarah nasional dan melihat siapa melakukan apa kepada siapa dalam sejarah bangsa kita. Karena sebuah bangsa yang kuat dan reformasi yang sesungguhnya tidak akan bertahan kalau dibangun di atas kepalsuan sejarah.
Karena itu, kebenaran sejarah nasional harus ditulis kembali oleh anak-anak negeri ini. Karena mengungkapkan kebenaran sejarah adalah bagian utama dari proses reformasi itu sendiri. Kalau kebenaran sejarah tidak diungkapkan, maka selalu ada kemungkinan bahwa kita akan kembali ke tapak sejarah yang sama. Berpedoman pada sejarah nasional yang kabur, seorang pengkianatpun bisa dimitoskan sebagai seorang pahlawan.
Tentu saja, usaha untuk mengungkapkan kebenaran sejarah yang sesungguhnya bukan hal yang sangat mudah. Tapi harus disadari bahwa pemalsuan sejarah oleh penguasa yang otoriter bukanlah pengalaman historis yang secara eksklusif hanya terjadi dalam sejarah bangsa kita. Kalau kita mau memberikan sebuah contoh, sejarah Jepang di bawah Kaisar Showa bisa diangkat sebagai suatu perbandingan.
Di bawah kaisar Showa Jepang juga mengalami situasi represif yang mirip dengan situasi opresif seperti yang kita alami di bawah pemerintah orde baru. Selama Kaiser Showa masih menduduki kursi kekaiseran di Jepang, tidak ada orang yang berani mengungkapkan kebenaran sejarah sekitar tragedy perang yang diprakarsai oleh kaisar Showa selama perang dunia II di Asia dari tahun 1931 sampai tahun 1945. Malah setelah kematian kaisar Showa, Jepang membutuhkan 11 tahun lamanya untuk mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya dari aksi kesadisan sejarah dan mental kolonial Kaisar Showa terhadap bangsa-bangsa di Asia.
Di tengah krisis masa transisi, dimana bangsa berjalan di atas hukum yang borok dan dikomando oleh pemimpin yang membingungkan dan lemah kredibilitasnya, agak sulit bagi kita untuk menentukan secara pasti berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menulis kembali kebenaran sejarah bangsa ini. Tapi kesadaran bahwa sejarah ala orde baru adalah sejarah yang rapuh, palsu dan eksploitatif, harus menjadi awal yang memotivasi kita untuk segera menulis kembali sejarah bangsa dan membangun konstruksi sejarah yang benar dan kukuh bagi generasi menda-tang.
Karena itu, warna baru dari transparansi sejarah orde baru yang kini ramai diungkapkan baik oleh sejarahwan dalam negeri maupun luar negeri, sebenarnya harus ditanggapi sebagai suara-suara kritis yang mengundang setiap manusia di negeri ini untuk membebaskan diri dari sikap terpaku pada kebanggaan hampa dan kekaguman murah atas kesadisan drama politik yang diperagakan oleh international gangster capitalism,yang telah mengunakan kediktatoran orde baru untuk mengem-bangkan imperialisme kooperatif gaya baru dan mengeksploitasi kekayaan alam di bumi berlabel Jewel of Asia ini. Suara ingin merdeka yang terus diperdengarkan hingga saat ini di Aceh and Irian jaya mungkin harus dipahami sebagai reaksi ingin merdeka dari penerapan sistem imperialisme kooperatif yang memeras rakyat dan mengeksloitasi kekayaan alam di daerah itu.
Dalam konteks kedasadaran ini, reformasi, khususnya reformasi historis, harus menjadi awal dari usaha kita untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa bangsa kita bukan cuma boneka berlabel permata Asia (jewel of Asia). Inilah PR yang harus kita jinjing bersama untuk mengarungi arus dasyat globalisasi abad ke 21.
(Steven Mere, Mahasiswa Universitas Nanzan, Nagoya, Jepang) 1

******************************
TIGA FAKTOR PENYEBAB G30S
oleh: A. Karim DP
KEJADIAN terpenting di tanahair kita dewasa ini ialah terpilihnya Gus Dur dan Mbak Mega menjadi presiden dan wakil presiden RI yang baru, yang menandai tumbangnya rezim otoriter yang memasung rakyat selama 34 tahun. Saya mengu-capkan selamat!
Sekarang, apa yang kita harapkan dari Gus Dur dan Mbak Mega? Yalah dikembalikannya kedaulatan ke tangan rakyat, dan diberdayakan untuk mengakhiri ketertindasannya selama 34 tahun. Kemudian, dalam hubungannya dengan sara-sehan kita hari ini, perkenankanlah saya mengingatkan tentang status sosial politik Bung Karno, ayahandanya Mbak Mega, yang telah memproklamasikan kemerdeka-an Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 itu. Mengutip keterangan seorang kawan saya yang sarjana hukum, Bung Karno sampai saat itu sesungguhnya masih dalam status sebagai tapol Belanda. Alasannya, masih menurut kawan saya itu, karena beliau ditinggalkan begitu saja di Padang oleh serdadu-serdadu Belanda yang mengawalnya dari Bengkulu (tempat pembuangannya yang terakhir), tanpa diberi Surat Pembebasan atau diberitahukan bahwa beliau sekarang dibebaskan. Itu berarti, bahwa Bung Karno telah membebaskan dirinya sendiri sebagai tawanan pemerintah Hindia Belanda. Kemudian, sesudah Hindia Belanda takluk kepada Jepang, pemerintah militer Jepang pun tidak pernah membebaskannya.
Problem ini saya kemukakan di sini, mungkin dengan demikian kita nanti akan mendapat penjelasan dari pakar hukum tata negara, yaitu Prof. Loebby Luqman SH dan Pieter Kasenda. Beliau berdua yang hadir di sini, juga akan tampil ke mimbar sesudah saya.
Bagi Pakorba kejelasan ini penting untuk penulisan ulang sejarah. Karena sesudah Jenderal Suharto menggulingkan Bung Karno, kembali Bung Karno dijadikannya tapol. Malah status Bung Karno sebagai tapol Orba itu disandangnya terus, sampai beliau meninggal di dalam tahanan tanpa pernah dibuktikan kesalahannya. Saya pikir, beliau sangat patut kita angkat menjadi anggota Pakorba anumerta.
Saya ingin mengingat kembali tentang dua tokoh Presiden RI itu. Ketika Bung Karno berjuang hidup-mati untuk kemerdekaan Tanahairnya, Jendral Suharto yang telah menapolkan Panglima Tertingginya itu, adalah Kopral KNIL dari Tentara Kerajaan Belanda. Ia menerima latihan kemiliterannya di Gombong, dan kemudian dipindah ke Malang setelah pangkatnya dinaikkan menjadi Sersan. Semua kita mengerti bahwa tugas pokok serdadu KNIL yalah menghancurkan gerakan kemerdekaan. Bukan berperang melawan musuh dari luar!
Dalam otobiografinya yang ditulis oleh G.Dwipayana dan Ramadan K.H, Suharto mengatakan bahwa ia menemukan kesenangan dan tertarik untuk benar-benar bisa hidup dari pekerjaannya sebagai kopral KNIL. Apalagi lima tahun kemudian, setelah pangkatnya naik menjadi sersan.
Sesudah Jenderal Suharto berhasil menggulingkan Presiden Sukarno pada tahun 1966 dengan menuduhnya sebagai dalang G30S-PKI, beliau lalu dijadikannya sebagai tapol sampai meninggal di dalam tahanan. Seperti sudah saya kemukakan di atas, tanpa bisa dan tanpa pernah dibuktikan kesalahannya. Sesudah Bung Karno meninggal, barulah Jenderal Suharto mengatakan: " Kecurigaan bahwa beliau terlibat dalam G30S-PKI sudah bisa dikesampingkan, karena hal itu belum bisa dibuktikan." ( Suharto, Otobiografi, halaman 245).
Jadi, TAP MPRS no.XXXIII/1967 yang direkayasa oleh Ketua MPRS Jenderal A.H. Nasution untuk menggulingkan Presiden Sukarno, sepenuhnya berlandaskan kepalsuan semata-mata. Karena ternyata setelah meninggalnya, Bung Karno diakui tidak terbukti terlibat G30S-PKI. Mula-mula dikatakan G30S adalah gerakan yang hendak mengkudeta Presiden Sukarno. Setelah tindakan kudeta ternyata tidak ada, kasusnya dibalik dengan mengatakan Bung Karno adalah G30S-PKI Agung. Gestapu Agung, kata mereka.
Seminggu sebelum Bung Karno meninggal, yaitu tanggal 15 Juni 1970, Bung Hatta menulis surat kepada Jenderal Suharto yang menyesali sikapnya, karena setelah tiga tahun "mengusut kasus Bung Karno", belum juga menghadapkan yang bersang-kutan ke pengadilan. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kata Bung Hatta dalam suratnya, banyak orang percaya bahwa Sukarno tidak bersalah, dan bahwa peristiwa G30S-PKI hanya dipergunakan untuk menjatuhkan Sukarno. Bung Hatta menambah-kan, bila Sukarno meninggal tanpa dibawa ke pengadilan, ia khawatir para pengikutnya bisa menuduh pemerintah "sengaja membunuh dia". Baca: Moh, Hatta, Otobiografi Politik, hal. 701-702).
Bukankah Bung Karno memang telah dengan sengaja dibunuh, seperti yang dikhawatirkan Bung Hatta itu?
Bung Karno telah gugur bersama tiga juta rakyat Indonesia yang dibantai oleh rezim Suharto, seperti diakui oleh Jenderal Sarwo Edhie Wibowo (sebelum ia meninggal) kepada Bapak Permadi SH, yang juga anggota pengurus Pakorba dan anggota DPR/MPR Fraksi PDI-Perjuangan. Sebetulnya Bapak Permadi SH hanya ingin me-nanyakan, apakah benar orang-orang G30S yang terbunuh berjumlah dua juta orang seperti yang dikatakan oleh Ibu Ratnasari Dewi, istri Bung Karno yang orang Jepang itu. Sarwo Edhie menjawab, bukan dua juta tapi tiga juta.
Jika angka yang disebut Jenderal Sarwo Edhie dianggap terlalu banyak, ada angka lain yang lebih sedikit. Yaitu angka dari Panitia Amnesti Internasional yang berpusat di London, yang menurutnya hanya satu juta saja. Ada lagi angka lain yang menarik, yaitu dari K.H. Abdurahman Wahid alias Gus Dur yang sekarang Presiden kita. Dalam wawancaranya dengan wartawan mingguan "Editor" (No. 49, Th. VI, 4 Sep 1993), Gus Dur menegaskan bahwa "orang Islam membantai 500.000 eks PKI. Tentu masih ada lagi yang dibunuh oleh mereka yang tidak termasuk orang Islam", kata Gus Dur.
Pembantaian besar-besaran inilah yang dikenal di dunia sebagai tindakan pemus-nahan umat manusia yang dibenarkan. Apa sebab dikatakan sebagai pemusnahan umat manusia yang dibenarkan? Sebab, sesudah 34 tahun peristiwa itu berlalu, belum pernah ada komisi resmi yang meneliti kejadian ini. Seolah-olah masalahnya dianggap telah liwat begitu saja, tanpa perlu pertanggungjawaban dari para pelakunya.
Tetapi saya dengar sekarang di Eropa, Amerika Serikat dan Amerika Latin sudah ada gerakan-gerakan yang bekerja untuk menghimpun data dari kejahatan penumpasan G30S di Indonesia. Malah saya baca dalam notulen rapat pengurus Pakorba tanggal 30 Sep 1999 yang lalu, adanya ajakan kerjasama dari satu kelompok di Perancis yang dipimpin oleh istri bekas Presiden Perancis. Mereka ini ternyata malah sudah mempunyai data-data kejahatan Suharto, yang bisa dijadikan dasar untuk menggugatnya di muka tribunal internasional.
"Pembantaian yang dilakukan oleh massa anti-PKI di Indonesia, merupakan salah satu yang terburuk dalam jajaran pembantaian massa dari abad XX", tulis Helen Louise Hunter, seorang peneliti dari CIA. Atau perhatikanlah angka perbandingan yang dikemukakan oleh Bertrand Russel. Ia mengatakan bahwa dalam empat bulan pembantaian di Indonesia, jumlah orang yang mati sudah sebanyak lima kali lebih besar dibanding dengan jumlah korban mati selama tahun peperangan di Vietnam.
Apakah G30S itu?
Bung Karno dalam sidang Kabinet Dwikora di Istana Bogor 6 Okt 1965, yang dihadiri juga oleh Nyoto, seorang anggota Politbiro dan Wakil Ketua PKI yang menjabat Menteri Negara diperbantukan pada Sekretariat Negara, mengatakan bahwa G30S terjadi karena adanya tiga faktor. Penilaiannya ini diulangi lagi dalam pidato Peleng-kap Nawaksara di depan Sidang MPRS pada 19 Jan 1967.
Ketiga faktor dimaksud yalah:
1.   Keblingernya pemimpin-pemimpin PKI.
2.   Lihainya Nekolim.
3.   Adanya oknum yang tidak beres dalam tubuh kita sendiri.
Sebelum menguraikan tiga faktor yang disebutkan Bung Karno di atas, sebaiknya kita ketahui dulu penilaian Jenderal Suharto dengan Orde Baru-nya mengenai G30S. Menurut Suharto, dipandang dari sudut mana pun, G30S sama dengan PKI. Itulah sebabnya di belakang nama G30S ditambahkan "PKI", sehingga menjadi G30S-PKI. Tentang hal ini diuraikannya panjang lebar di dalam Buku Putih "Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia", yang diterbitkan oleh Sekre-tariat Negara pada tanggal 1 Okt 1994. Yang mengherankan, Buku Putih ini sulit sekali diperoleh, entah disembunyikan di mana. Jangan-jangan karena mutunya di-anggap oleh Suharto sama saja dengan film G30S-PKI, yang tadinya harus ditayangkan di semua TV setiap tahun, tapi kemudian ditarik dari peredaran, karena banyak kepalsuan di dalamnya.
Ketika membaca Buku Putih yang tebalnya tiga ratus halaman itu, saya benar-benar dapat menikmatinya seperti membaca sebuah buku komik yang mengasyikkan. Apa lagi nama saya, A.Karim DP, ikut diserempet-serempet di dalamnya.
Saya ditahan empat belas tahun dua belas hari di penjara Salemba. Dan di situlah saya bertemu dengan para pelaku Gerakan 30 September. Saya bertemu dengan Letnan Kolonel Untung Samsuri, Kolonel Latief, Nyono (tokoh pertama PKI Jakarta Raya). Noorsuhud (anggota CC-PKI), semua komandan regu dan anggota-anggota-nya yang mengambil enam jenderal, yang kemudian menjadi "Pahlawan Revolusi" di Lubang Buaya. Saya bisa bertemu dan bergaul dengan mereka karena saya diklasifikasikan sama seperti mereka. Jadi saya dimasukkan sel tahanan yang paling berat sama dengan mereka. Konsinyesnya kami tidak boleh berbicara satu sama lain, dikunci di selnya sendiri-sendiri. Tapi dalam kenyataannya, selama empat tahun saya berada satu blok dengan mereka, yaitu di Blok "N" yang juga dikenal sebagai Blok Neraka. Saya berhasil mewawancarai semua mereka, dan rekaman hasil wawancara itu sampai sekarang masih tersimpan dengan baik dalam ingatan saya.
Untuk ilustrasi, baik saya gambarkan sedikit lokasi Blok "N" yang mengerikan itu. Untuk sampai ke sel kami harus melewati delapan pintu yang semuanya dikunci. Petugas yang memanggil kami jika akan diperiksa, harus membawa serenteng kunci untuk membukai pintu-pintu besi, dan mengeluarkan kami dari sel yang kemudian segera menguncinya kembali. Karena itu sampai ada sesama tapol yang berseloroh mengatakan: Makhluk setingkat iblis dan setan pun tidak akan mampu menembus delapan pintu besi yang selalu terkunci dan menggoda kami. Itulah sebabnya, kami semua aman dari gangguan setan dan iblis. Tema dari sarasehan kita sekarang ini ialah untuk menjernihkan sejarah yang selama ini telah dibikin keruh oleh film G30S-PKI dan Buku Putih Sekretariat Negara. Dalam hubungan ini ada kejadian yang menarik ingin saya tuturkan.
Pada tanggal 9 November 1998, di Universitas Indonesia Depok, diselenggarakan Seminar dengan tema "Meluruskan Sejarah". Kebetulan saya mendampingi Bapak Manai Sophiaan yang telah berusia 84 tahun dan fisiknya sudah lemah, yang diminta menyampaikan makalah. Makalah itu tebalnya 17 halaman, dengan judul "G30S sebuah holokaus yang diterima sesudah Perang Dunia II". Bapak Manai Sophiaan menyebutkan arti holokaus, menurut kamus Inggeris, ialah "a complete desruction of human lives". Mengerikan sekali!
Waktu moderator membuka kesempatan kepada floor untuk mengajukan tanggapan, seorang peserta bertanya: "Siapa sebetulnya yang membuat G30S itu"? Bapak Manai Sophiaan menjawab dengan lantang: "Jenderal Suharto!"
Alasannya sudah disebutkan dalam makalah. Tanggal 21 September 1965 Jenderal Suharto selaku Panglima KOSTRAD, dengan radiogram no. Rdg. T 293/9/1965 memerintahkan kepada Batalyon 454/Diponegoro, 530/Brawijaya, 328/Siliwangi dan Kesatuan Artileri dari Cimahi supaya datang ke Jakarta selambat-lambatnya 23 September 1965, dengan membawa perlengkapan tempur GARIS SATU. Bapak Manai Sophiaan juga mengutip keterangan Kol. Latief di muka sidang MAHMILTI II Jawa Bagian Barat (tidak disebutkan tanggalnya) yang mengatakan, bahwa Jenderal Suharto bermuka dua, dengan sebelah kakinya ada di Dewan Jenderal dan sebelah yang lain ada di G30S. Kolonel Latief memastikan bahwa keterlibatan Suharto dalam gerak ini sudah sejak permulaan sekali. Dua minggu sebelum meletusnya peristiwa G30S, Kol. Latief menghadap Jenderal Suharto mempersoal-kan adanya kegiatan Dewan Jenderal yang merencanakan coup d'etat terhadap Presiden Sukarno. Dua hari sebelum operasi pengambilan enam Jenderal, ia menemui Suharto lagi. Pertemuan Latief terakhir dengan Suharto terjadi di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat "Gatot Subroto", 30 September 1965 pukul 23:00 selama 30 menit. Suharto berada di RSPAD Gatot Subroto, menunggui anaknya Tomy yang sedang dirawat karena tersiram sup panas.
Oleh karena itu untuk menyingkap kabut 1 Oktober 1965 seperti yang dimaksud oleh tema sarasehan ini, saya mencoba bertolak dari penilaian Bung Karno seperti yang saya kutip di atas tadi. Berikut ini pengalaman dan pengetahuan saya mencermati tiga faktor yang disebut oleh Bung Karno sebagai penyebab terjadinya G30S.
1. Keblingernya pemimpin-pemimpin PKI
Pada tanggal 23 Juni 1965 delegasi Indonesia Ke Konperensi Asia-Afrika II di Aljazair, yang dipimpin sendiri oleh Presiden Sukarno, berangkat dari Jakarta. Seperti biasa, anggota delegasi diperkuat dengan ikut sertanya wakil-wakil NASA-KOM. Wakil PKI adalah D.N. Aidit sendiri. Saya ikut dalam rombongan ini sebagai wartawan.
Konperensi gagal diselenggarakan karena gedung konperensi yang dibangun oleh Uni Soviet, telah diledakkan oleh satu komplotan yang tidak jelas waktu itu. Delegasi Bung Karno berhenti di Kairo. Di sini diselenggarakan KTT Kecil empat negara, yaitu: Indonesia, Mesir, Pakistan, dan RRT, yang memutuskan menunda konperensi enam bulan, dan tetap akan diadakan di Aljazair.
Sesudah itu Bung Karno dan rombongan meneruskan perjalanan ke Paris. Di sini para Duta Besar kita di Eropa Barat, Eropa Timur dan Amerika Serikat dikumpulkan untuk mendapat penjelasan dari Bung Karno mengenai penundaan KAA II tersebut.
Aidit juga ikut ke Paris, tapi dari sana ia meneruskan perjalanannya sendiri ke Moskow. Kesempatan selama berada di Paris, ia gunakan untuk mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin Partai Komunis Perancis. Kebetulan ketika itu juga sedang berada di sana enam kamerad mereka dari Aljazair, yang melarikan diri dari negeri mereka karena takut ditangkap oleh Kolonel Boumedienne, yang telah berhasil menggulingkan dan merebut kekuasaan Presiden Ben Bella.
Sekembali Aidit dari pertemuan tersebut, yang katanya diselenggarakan di kantor organ Partai Komunis Perancis L'Humanite, saya mencegatnya di hotel tempatnya menginap. Saya tanyakan kepadanya mengenai hasil pertemuannya dengan kamerad-kameradnya itu. Pertama-tama dikatakannya, bahwa ia sudah minta kepada enam kameradnya dari Aljazair supaya mereka segera kembali ke negeri mereka, dan memberikan dukungan kepada Boumedienne. Dalam diskusi yang mereka lakukan, kata Aidit, berdasarkan bahan-bahan yang disampaikan oleh kamerad-kamerad dari Aljazair, karakter coup d'etat Boumediene dapat dikategori-kan sebagai coup d'etat yang progresif. Oleh karenanya patut didukung oleh rakyat. Jika 30% dari rakyat mendukungnya, maka coup d'etat itu bisa diubah sifatnya menjadi revolusi rakyat yang akan menguntungkan perjuangan rakyat Aljazair. Begitu kata Aidit. Ia menjanjikan akan menjelaskan teorinya ini nanti di tanahair, karena waktu itu ia terburu-buru harus segera berangkat ke lapangan terbang untuk meneruskan perjalanannya ke Moskow.
Aidit mengatakan kepada saya, bahwa di Indonesia sudah diketahui adanya rencana coup d'etat yang akan dilancarkan oleh Dewan Jenderal untuk menggulingkan Presiden Sukarno. Coup d'etat yang hendak dilancarkan Dewan Jenderal itu, adalah coup d'etat yang reaksioner, berbeda dengan yang telah terjadi di Aljazair.
Saya mendengar dari seorang kader PKI yang ikut bergerak pada tanggal 1 Oktober 1965, Aidit memerintahkan kepada Ketua Biro Khusus PKI Syam Kamaruzzaman, supaya bergabung dengan perwira-perwira maju yang akan menggagalkan coup d'etat Dewan Jenderal. Selama di dalam tahanan kebetulan saya juga bertemu dengan beberapa anggota perwira yang disebut sebagai maju. Mereka mencerita-kan, bahwa rapat-rapat persiapan gerakan yang tempatnya berpindah-pindah itu selalu dipimpin oleh Kamaruzzaman. Adit atau tokoh-tokoh PKI lainnya tidak pernah hadir dalam rapat-rapat ini. Kamaruzzaman mula pertama dibawa oleh Untung, dan diperkenalkan sebagai intelnya pribadi.
Banyak tokoh-tokoh PKI yang ditahan di Salemba menolak jika dikatakan PKI terlibat dalam G30S. Kamaruzzaman tidak bisa dikatakan mewakili PKI, karena oleh PKI sendiri kemudian tokoh ini dianggap misterius. Ia bahkan diduga agen CIA yang ber-hasil diselundupkan ke dalam tubuh PKI dan berhasil pula mengibuli Aidit.
Nyono sebagai Sekretaris PKI Komite Daerah Besar Jakarta Raya yang dihadapkan ke sidang Mahmilub, tidak berhasil menghindarkan tuduhan keterlibatan PKI. Sehingga oleh karenanya ia dijatuhi hukuman mati.
Belum sampai coup d'etat Dewan Jenderal menjadi kenyataan, sudah didahului oleh Gerakan 30 September yang secara tidak profesional membuat pernyataan men-demisionerkan Kabinet Dwikora. Tetapi pendemisioneran itu sama sekali tidak efektif. Bahkan para anggota Dewan Revolusi, yang ditugasi mengambil alih kekuasaan, tidak seorang pun berfungsi. Karena mereka semua hanya diumumkan begitu saja, tanpa persetujuan atau dikonsultasikan dengan yang bersangkutan. Saya sendiri mereka angkat sebagai anggota Dewan Revolusi nomor 45. Tapi begitu diumumkan, langsung saya keluarkan pernyataan penolakan saya terhadap pengkatan itu, yang segera pula disiarkan oleh KB "Antara" dan RRI. Menurut keterangan rekan-rekan di KB "Antara", saya adalah orang pertama yang menyatakan menolak pengangkatan Dewan Revolusi. Lain-lainnya seperti Jenderal Amir Mahmud, Jenderal Umar Wirahadikusumah, KSAL Laksamana Martadinata dll, baru mengeluarkan pernyataan menolak dua atau tiga hari kemudian. Dari PNI ada enam nama yang dimasukkan sebagai anggota Dewan Revolusi, antara lain saya dan Ibu Supeni.
Walhasil, G30S yang dipimpin oleh Untung Samsuri, hasilnya hanya membunuh enam jenderal. Dan sesudah itu seluruhnya dihancurkan oleh Suharto pada tanggal 1 Oktober 1965 malam.
II. Lihainya Nekolim
Menjelang meletusnya G30S Bung Karno sangat mencurigai seorang diplomat AS, Marshall Green, yang dicalonkan oleh State Department untuk menggantikan Howard Jones sebagai Dubes AS di Jakarta. Karena diplomat itu, diketahui oleh Bung Karno, selalu membuat keonaran dengan mencampuri urusan dalam negeri negara-negara di mana dia ditempatkan.
Oleh karenanya, pada suatu hari sesudah sidang kabinet inti, Presiden memanggil saya menghadap dan memerintahkan supaya mengadakan kampanye nasional menolak Marshall Green. Saya diperintahkan saat itu juga mempelajari konduite Marshal Green yang ada di dalam bundel Menlu Dr. Subandrio. Bersama Subandrio saya menuju ke kantornya. Di sana salah seorang pegawainya memberikan kepada saya sebuah map yang berisi dokumen mengenai Marshall Green.
Rupanya ada ketidaksengajaan dari petugas yang memberikan map kepada saya itu. Dalam map itu terdapat juga konsep Surat Persetujuan dari Pemerintah RI mengenai penempatan Marshall Green di Indonesia yang sudah dalam keadaan terketik. Tentu saja saya terkejut setelah membacanya. Karena untuk apa mengadakan kampanye nasional menolak Green, jika Surat Persetujuan-nya sudah disiapkan? Saya pura-pura tidak tahu tentang konsep surat ini. Dan setelah membaca semua isi map, saya mengembalikannya lagi kepada petugas yang telah menyerahkannya kepada saya itu.
Sesudah saya katakan kepada Subandrio bahwa konduite Green sudah saya pelajari, ia lalu bertanya: Jadi, sekarang apa yang akan engkau kerjakan? Saja jawab: Melaksanakan perintah Presiden. Yaitu segera mengeluarkan instruksi kepada semua penerbitan pers di seluruh Indonesia untuk melakukan kampanye menolak Green.
Tiba-tiba Subandrio mengatakan: Apakah engkau bersedia bertanggung jawab jika, sebagai akibat dari kampanye nasional itu, Armada VII AS memasuki Teluk Jakarta dan mengancam kita?
Dr. Subandrio tidak setuju diadakan kampanye menolak Green. Karena itu saya katakan kepadanya, segera akan menemui Bung Karno lagi dan menyampaikan sikap Menlu. Subandrio mencegah saya pergi ke istana menemui Bung Karno dan mengatakan, ia sendiri yang akan menyelesaikannya dengan Presiden. Beberapa hari kemudian muncullah berita di surat-surat kabar, bahwa Marshall Green segera akan menduduki posnya yang baru di Jakarta.
Tanggal 26 Juni 1965 Dubes AS Green menyerahkan surat kepercayaannya kepada Presiden Sukarno di Istana Merdeka. Agaknya Bung Karno tidak bisa menahan emosinya. Dalam pidato jawaban setelah menerima surat kepercayaan itu, Bung Karno menyerang kebijaksanaan luar negeri AS. Green menulis dalam memoarnya, bahwa hampir saja ia meninggalkan ruangan upacara setelah mendengar serangan Bung Karno. Tapi, katanya, tidak ada pilihan lain kecuali tetap berdiri sampai acara selesai. Kalau ia meninggalkan acara, ia khawatir akan menyebabkan Sukarno lebih marah dan mempersona-non-gratakannya. Green tentu tak mau diusir dari Indonesia oleh sikapnya melanggar tatacara protokol, karena ia sangat berkepentingan men-jalankan misinya, yaitu membantu mencetuskan G30S.
Marshall Green berhasil sepenuhnya, di mana AS|membantu Jenderal Suharto meng-gulingkan Sukarno.
Pada Mei 1990 Nona Kathy Kadane dari Universitas Columbia di AS, menyiarkan tulisannya mengenai Indonesia yang dimuat dalam berbagai media cetak. Dalam tulisannya itu ia mengemukakan, bahwa "pemerintah AS memainkan peranan penting dalam satu usaha pembantaian terburuk di abad ini, dengan menyediakan nama-nama ribuan pemimpin dan kader PKI kepada tentara untuk dibunuh atau ditangkap."
Kathy Kadane mengatakan, ada enam orang eksper pada Biro Intelijen dan Riset Departemen Luar Negeri AS, yang beroperasi di Jakarta, dikepalai oleh Dubes Marshall Green.
Catatan di atas salah satu contoh saja dari sekian banyak bentuk kerja nekolim di Indonesia.
III. Ketidakberesan dalam tubuh kita sendiri
Sebelum berangkat ke KAA II di Aljazair, sementara Kolonel Boumedienne baru saja melakukan coup d'etat terhadap Presiden Ben Bella, seperti diuraikan di atas, di Jakarta sudah beredar desas-desus tentang adanya Dewan Jenderal yang akan merombak personalia Kabinet Dwikora. Menurutnya personalia itu akan mem-prioritaskan para jenderal dan tokoh-tokoh sipil yang antikomunis sebagai menteri.
Sebagai wartawan saya berusaha mencari kejelasan mengenai desas-desus ini. Pertama-tama saya bertanya kepada Kepala Pusat Penerangan AD Brigjen Ibnu Subroto, yang saya kenal baik. Pada suatu malam saya diundangnya makan malam di rumahnya di kawasan Banteng. Sambil makan malam ia menjelaskan versi AD mengenai Dewan Jenderal kepada saya.
Ia meyakinkan saya, bahwa Dewan Jenderal yang dimaksud hanyalah dewan kepangkatan yang memproses kenaikan pangkat para jenderal. Dibantahnya dengan keras desas-desus bahwa Dewan Jenderal hendak melakukan coup d'etat.
Tapi karena makin lama desas-desus makin keras gaungnya, saya pun berusaha menanyakannya kepada Kepala Staf Biro Pusat Intelijen (BPI), Jenderal (Pol) Sutarto. Dia membenarkan berita itu, tapi minta kepada saya agar jangan diumumkan. Belakangan saya mendapat keterangan lagi dari Jaksa Agung Muda Brigjen Sunario dengan penjelasan yang sama.
Menjelang meletusnya G30S, di PWI masuk laporan tentang rencana susunan Kabinet Dewan Jenderal tapi belum lengkap. Dalam susunan itu terdapat nama Dr. Ruslan Abdulgani. Karena Ruslan Abdulgani adalah salah satu Ketua DPP PNI, sedang saya anggota Badan Pekerja Kongres PNI, maka buru-buru berita ini saya sampaikan kepada Pak Ruslan di rumahnya. Tapi dengan tegas Pak Ruslan mem-bantahnya, dan minta kepada saya untuk melaporkan lagi jika ada berita baru menyangkut perkembangan tersebut. Hal ini saya tanyakan juga kepada Wakil PM III Dr Chaerul Saleh, karena namanya pun disebut-sebut. Pak Chaerul membantah dengan keras. Waktu itu ia sedang bersiap-siap hendak berangkat ke Beijing, memimpin delegasi MPRS yang diundang RRT untuk menghadiri peringatan ulang tahun berdirinya RRT, tanggal 1 Oktober. Agak mengejutkan saya karena, meskipun saya termasuk juga sebagai anggota MPRS, namun nama saya tidak terdapat dalam susunan delegasi. Ia sebagai Ketua MPRS minta supaya saya ikut bersamanya dalam delegasi. Waktu masih ada untuk mengurusnya, katanya.
Tapi saya minta maaf, bahwa saya tidak bisa ikut. Alasan saya, karena baru saja kembali dari luar negeri, dan memang banyak pekerjaan yang harus saya selesai-kan.
Meskipun tentang susunan Kabinet Dewan Jenderal masih sangat saya ragukan. Berita ini telah dibantah juga oleh Menpangad Jenderal A.Yani, ketika ia ditanya oleh Presiden. Tapi lama-kelamaan desas-desus ini menjadi fakta politik yang beredar di kalangan masyarakat terbatas.
Baru sesudah sidang Mahmilub dibuka, Letkol Untung membeberkan susunan Kabinet Dewan Jenderal yang menyebabkan kelompok perwira-perwira maju melancarkan operasi menangkap para calon menteri Kabinet Dewan Jenderal.
Mereka itu ialah:
1.   Perdana Menteri: Jenderal A.H. Nasution
2.   WPM/Hankam/Kasab: Jenderal A.Yani
3.   WPM/Pembina Jiwa Revolusi/Penerangan: Jenderal (Tit.) Dr. Ruslan Abdulgani
4.   Menteri Dalam Negeri: Jenderal Suprapto
5.   Menteri Luar Negeri: Jenderal Haryono
6.   Menteri Kehakiman: Jenderal Sutoyo
7.   Menteri Jaksa Agung: Jenderal Suparman
Menteri-Menteri lainnya tidak disebutkan.
Susunan Kabinet Dewan Jenderal ini diungkapkan oleh Nyono, yang diadili kemudian. Dia katakan bahwa susunan tersebut telah disahkan oleh rapat pleno Dewan Jenderal tanggal 21 September 1965 di Gedung Akademi Hukum Militer, Jalan Dr. Abdulrahman Saleh, di mana disebut-sebut bahwa anggota Dewan Jenderal seluruhnya berjumlah 40 orang. Tapi yang aktif 25 orang, dengan tokoh utamanya tujuh orang, yaitu: A.H. Nasution, A.Yani, Suparman, Haryono, Suprapto, Sutoyo dan Sukendro. Rapat pleno yang mengesahkan susunan Kabinet Dewan Jenderal itu, kata Nyono, dipimpin oleh Suparman dan Haryono karena A.H. Nasution dan A. Yani berhalangan hadir.
Rapat ini juga memutuskan akan melaksanakan coup d'etat tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan peringatan Hari Angkatan Perang (baca: G30S di Hadapan Mahmilub - perkara Nyono - diterbitkan Pusat Pendidikan Kehakiman AD, hal. 276).
Juga Buku Putih "Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia", penerbitan Sekretariat Negara (1994), pada hal. 63 menulis, bahwa pada awal September 1965, PKI melancarkan isu Dewan Jenderal yang akan merebut kekuasaan pada 5 Oktober 1965. Susunan Kabinet Dewan Jenderal yang dicatat dalam Buku Putih itu hampir sama dengan yang diungkapkan Untung dan Nyono, kecuali mengenai tiga portofolio. Yaitu untuk Dalam Negeri disebutkan akan dipegang oleh Hadisubeno, Luar Negeri oleh Dr. Ruslan Abdulgani, dan Hubungan Dagang Luar Negeri dipegang oleh Brigjen Sukendro.

Music man 16 May, 2011


--
Source: http://krisnahomerecord.blogspot.com/2011/05/menguak-misteri-1-oktober-1965.html
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar